Berangkat dari persoalan-persoalan ekologis yang mengemuka dalam pertemuan Jaringan Desantara yang diadakan pertengahan Maret lalu di Jogjakarta, Desantara mengangkat tema “Komunitas Lokal dan Masa Depan Bumi: Krisis Ekologi dalam Perspektif Kebudayaan” dalam diskusi Rabu sore, 25 Mei kemarin.
Dari cerita yang terkumpul dalam pertemuan Jaringan, Desantara memandang perlu untuk memberi perhatian lebih pada isu-isu lingkungan sebagai bagian tak terpisah dari isu komunitas local yang selama ini menjadi focus penelitian dan advokasi Desantara. Karena bagaimanapun, sebuah komunitas dan kebudayaan sangat berkaitan erat dengan lingkungan, baik lingkungan fisik, letak geografis maupun kondisi social politik yang melingkupinya. Perubahan di salah satu aspek akan memberi pengaruh tak terhindar terhadap aspek lainnya. Lalu bagaimana relasi antara semua itu, dan bagaimana perspektif kebudayaan memandang persoalan-persoalan lingkungan yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia, hal-hal tersebut yang diperbincangkan para peserta diskusi.
Mengundang Bisri Effendy, seorang antropolog yang pernah menjadi peneliti LIPI dan merupakan salah satu pendiri Desantara Foundation sebagai pemicu awal diskusi, membawa beberapa cerita menarik seputar isu lingkungan ke dalam diskusi hangat sore itu. Politik karbon, menjadi pembuka cerita. Kalimantan Tengah, disebut sebagai tempat yang paling serius diperhatikan dalam konteks global Politik Karbon. Ada dana internasional yang begitu besar yang masuk ke sana melalui pintu Carbon Trading ini. Pertanyaan menarik yang dikemukakan pembicara adalah, “Mengapa dunia internasional seakan berlomba-lomba memasukkan dana besar ke sana?”. Sedangkan jika kita lihat fakta, persoalan karbon, seharusnya bukan merupakan persoalan negara agraris seperti Indonesia. Jika pembakaran dan kerusakan hutan Kalimantan dianggap sebagai jawaban pertanyaan di atas, ini juga tak tepat benar. Karena menurut Bisri Effendy, kebakaran hutan “hanya” menyumbang sekitar 20% emisi carbon, sedangkan 80% sisanya dihasilkan oleh industri. Jika dili
at dari siapa produsen emisi karbon terbesar, tentu, negara industri. Angka 20% jika dibawa ke lingkup Indonesia, mungkin kurang dari 5%. Persentasi semakin berkurang jika itu dilihat dari lingkup Kalimantan saja. Lalu apa yang ada di balik perlombaan internasional di Kalimantan?
Hal penting lain yang harus diperhatikan dari isu Politik Karbon, adalah impact serius di tingkat masyarakat lokal di sana. Lebih parah lagi, menurut pembicara, persoalan Human dan Social, tidak masuk dalam agenda politik karbon. Apa yang harus dibayar oleh masyarakat dan apa yang akan didapat oleh mereka, bukan menjadi persoalan penting bagi investor dan para eksekutif daerah. Dari dialog yang dilakukan pembicara dengan masyarakat di sana, diketahui bahwa mereka merasa tidak mendapat manfaat apa-apa dari “bisnis karbon “ , paling-paling sebagai tenaga kerja saja.
Hal itu, sebetulnya jamak terjadi dalam pola investasi (corporate & negara) dengan masyarakat lokal, dimana penduduk setempat hanya mendapatkan manfaat lapangan kerja dan menjadikan mereka buruh di tanah mereka sendiri. Sesuatu yang tidak sebanding dengan harga yang harus dibayar oleh masyarakat, seperti lingkungan alami yang rusak, bencana-bencana yang diakibatkannya dan tercabutnya warga lokal dari alam habitat mereka. Seperti cerita kawan Desantara dari Kalimantan Timur yang disampaikan Ari Ujianto, Direktur Eksekutif Desantara. Kini kota Samarinda secara rutin dilanda banjir akibat kerusakan lingkungan yang terjadi sebagai dampak dari Tata Ruang dan Tata Wilayah yang dipenetrasi perusahaan/investor. Kepentingan mendasar dan jangka panjang bagi masyarakat lokal, seringkali lepas dari pertimbangan para pemimpin daerah. Karena Pemda pada umumnya mengukur keberhasilan mengundang investor, sebagai nilai kesuksesan kerja mereka.
Argumen dan pola yang sama juga terjadi di Pati. Menurut Sobirin, salah satu peserta diskusi, di Pati, sejak otonomi daerah diberlakukan, Pemda membuka pintu lebar-lebar bagi investor untuk masuk. Argumen pembenar yang dikonstruksi ke masyarakat, adalah keuntungan ekonomi daerah dan lapangan pekerjaan bagi warga. Hal yang awalnya didiamkan, menurut Sobirin, kini memunculkan gelombang penolakan. Dan ada pula upaya untuk menemukan solusi alternative, seperti Rembug Warga yang belum lama ini dilakukan di Pati.
Cerita yang sama terjadi di Tasikmalaya. Penambangan besi disana memunculkan persoalan juga. “Muncul perdebatan seputar itu”, ungkap Ahmad Ibrahim, yang kemudian menambahkan penekanan pada pentingnya problem solving dalam advokasi masyarakat lokal terkait isu lingkungan. Salah satu alternative menurutnya, adalah bisnis sosial. Seperti pemanfaatan lingkungan untuk eko-wisata. Tawaran bisnis sosial itu kemudian memunculkan pembicaraan dan perdebatan lebih jauh tentang konsep yang tepat, karena ada banyak pengalaman kegagalan dalam upaya membangun bisnis sosial ketika harus berhadapan dengan kekuatan pasar.
Selain hal-hal di atas, dalam diskusi tersebut, disinggung pula konsep Hutan Sosial/Social Forestry, Ideologi Aspal yaitu kepentingan atau logika dibalik pembangunan jalan raya/tol, dan isu-isu menarik lainnya. Dari semua hal tersebut, terbaca kenyataan , betapa politik dan kebijakan semena-mena masih banyak dilakukan oleh Negara/Pengusaha. Dan perjuangan melawan kesemena-menaan itu, menurut Bisri Effendy, adalah bagian dari persoalan budaya.
Lepas dari persoalan lingkungan dan krisis ekologis, yang memang penting untuk diperhatikan, Hikmat Budiman yang turut hadir dalam diskusi, mengingatkan akan pentingnya sikap kritis dalam memandang problem dan isu ekologis, sebagai bagian dari perang discourse yang lebih luas. “Yang terpenting adalah bagaimana merumuskan persoalan ekologis dengan masyarakat lokal itu sendiri”, tegasnya. Menambahkan hal tersebut, Bisri Effendy menekankan pentingnya riset serius dan kontinu sebagai landasan aksi dan program strategis ke depan. Penelitian serius dan strategis yang berkesinambungan, akan menghindari kita dari permainan wacana dan sikap latah dalam merespon persoalan.
Adee Dwi S