Kesenian tayub memang sudah tidak asing, terlebih bagi warga di daerah Blora, Rembang, Pati, Grobogan, Sragen. Tayub adalah seni pertunjukan yang dianggap sebagai kesenian rakyat yang muncul dari masyarakat petani di pedesaan. Tayub berbeda dengan tarian klasik keraton macam bedaya. Pertunjukan tayub ini biasa dilaksanakan warga untuk memeriahkan acara sunatan, pernikahan, bahkan peringatan 17-an pun dengan nanggap tayub.
Tayub pada mulanya merupakan ungkapan kegembiraan menyambut kedatangan tamu dan bagian dari pesta rakyat. Kesenian ini berupa pertunjukan yang berbentuk tari berpasangan antara tledhek atau joged dengan penari lelaki sebagai penayub. Tentang istilah tayub sendiri ada beberapa pendapat. Ada yang menyebut berasal dari kata ditata cikben guyub (ditata biar kompak). Sukarno SH, Ketua Pepadi Blora menyebut tatanan sing guyub, yang maknanya tingkah dan gerak harus kompak lahir batin. Kompak antara penari waranggana dengan penari pria dan penabuh gamelan. "Sebenarnya semuanya cuma perlambang, bahwa semua dalam bekerja harus kompak," tambah Sukarno.
Sementara Warsit SPd, SH, MM yang juga Ketua DPRD Blora menyatakan, kata itu berasal dari bahasa Arab toyibah yang artinya mengajak. Kemudian penari membawa sampur (selendang). "Maknanya mengajak menuju kasampurnaning urip atau kesempurnaan hidup," ujar Warsit.
Tayub memang bukan kesenian keraton, ia adalah kesenian rakyat. Tetapi Warsit menyebut tayub sebagai kesenian adiluhung, karena pada mulanya merupakan tarian yang disuguhkan kepada para tamu penting. Tetapi pada masa penjajahan Belanda disalahgunakan. Dalam tarian tersebut dimasukkan minuman keras, tujuannya agar mengacaukan rasa persatuan. Dengan mabuk, orang kemudian bisa gampang tersinggung, bertengkar, dan sebagainya. "Sejak saat itulah penilaian terhadap tayub menjadi negatif," katanya.
ImageTak cuma minuman keras, terlebih lagi dengan adanya anggapan bahwa tledhek atau penari bisa diajak tidur oleh siapa pun. Memang, senyatanya ada para penari yang bersedia melayani para lelaki. "Tetapi jangan digebyah uyah," kata Jaenah (34), penari tayub rekan Juwariyanti.
Yang menjadikan citra tayub buruk, antara lain juga ulah para penari pria atau penonton. Dulu, para penari ini biasa memberi sawer dengan cara memasukkannya ke kemben atau kain penutup dada. Dengan demikian muncul kesan bahwa penayub itu "murahan". Tetapi, sekarang hal semacam itu sudah amat jarang terjadi.
Kesan miring itu
Kesan miring bagi penari tayub memang masih terasa benar. Seperti diungkapkan tokoh pemuda Blora, Pudiyatmo SE, MM, bahwa ketika tledhek mengalungkan sampur kepada tamu untuk diajak menari, sang tamu tidak serta-merta berdiri. "Karena kalau kebetulan mengajak istri, tentu akan rikuh. Sang istri bisa saja berpikir, ada istrinya saja tledhek berani apalagi kalau tidak," ujar Ketua Umum Generasi Muda Kosgoro Blora ini.
Hal yang lain lagi, terkait dengan organisasi atau paguyuban tayub. Menurut Pudiyatmo, sulit bagi seorang tokoh masyarakat atau pejabat menjadi ketua paguyuban tayub. "Paling tidak, pertama kali istrinya umumnya keberatan. Orang yang akan duduk di sana pun pasti akan kikuk, karena tayub masih dianggap bercitra miring," katanya yang menyatakan bersedia menjadi ketua paguyuban tayub kalau dibutuhkan.
Image Begitu pula dengan Ketua PW NU Blora Abu Nafi. "Kesan lama sebagai seni yang dinilai negatif masih terus melekat dan sulit dihapus. Walaupun katakanlah diberi pakaian yang sopan, misalnya, tetapi di Islam, wanita mempertontonkan dirinya itu memang tidak boleh," kata Abu Nadfi. Kesan lama sebagai seni yang dinilai negatif masih terus melekat dan sulit dihapus. Walaupun katakanlah diberi pakaian yang sopan, misalnya, tetapi di Islam, wanita mempertontonkan dirinya itu memang tidak boleh
Kesenian ini bisa terus berkembang, tetapi harus dengan aturan-aturan. Misalnya jarak antara tledhek dengan penayub, kemudian haruskah dengan minuman keras, dan sebagainya.
Versus Kucing Garong
Anggapan yang serba negatif ini memang dikeluhkan Juwariyanti atau Jaenah, penari tayub. Sementara para penyanyi dangdut atau campursari dengan menyanyikan lagu Kucing Garong dan pakainnya yang serba seksi tidak dipermasalahkan. Sedangkan tayub yang rapet selalu dianggap negatif. "Kami ingin ada yang memperhatikan tayub, perhatian pemerintah pun kini jauh berkurang. Kesenian lain yang diutamakan," katanya.
Tetapi anggapan ini ditolak oleh Warsit. "Kami plot anggaran untuk semua kesenian, kami tidak membeda-bedakan," katanya. Soal citra miring, Warsit meminta agar Pemkab Blora mendirikan banyak sangar tari, jarak penari dibatasi, dan jangan berpakaian minim.
Ya, itu memang kondisi yang menimpa seni tayub. Terlahir oleh kondisi yang demikian. Menjadi kebanggaan, tetapi sekaligus menjadi cibiran. Desantara