(Bagian Pertama Catatan Workshop Video Desantara 2011). Televisi seringkali dijuluki sebagai kotak ajaib. Bagi saya sebutan ini bukan mengada-ada jika mengingat bagaimana dahsyatnya TV menyihir puluhan pasang mata tetangga saya dulu ketika “nonton TV’ di rumah Pak RT. Aktivitas nonton biasanya dimulai sehabis Isya di depan Rumah Pak RT. Sambil menunggu selesainya siaran berita nasional, anak-anak bermain petak umpet atau gambar “umbul’ sedangkan orang-orang tua lebih asyik membincangkan urusan sawah atau pekerjaan yang lain. “Beritanya sudah selesai” begitu seseorang memberi pengumuman dari dalam rumah. Beberapa saat kemudian halaman rumah berlantai tanah itu telah sepi. Film-film seri macam Hunter, Friday the 13th, atau O’Hara menjadi tontonan mewah bagi warga kampung saya saat itu. Tak ketinggalan juga siaran ketoprak yang selalu ditunggu, terutama oleh orang-orang tua. Pada waktu itu, sekitar akhir 1980-an, “nonton TV” menjadi sebuah aktivitas yang mewah bagi penduduk kampung saya yang terletak di pegunungan kapur di tengah pulau Jawa.
Nonton TV juga dapat beralih menjadi satu momen yang mencekam dan traumatis. Pada masa Orde Baru kita tentu ingat dengan film “wajib” yang harus ditonton, G 30 S/PKI. Kengerian, rasa khawatir akan penyebaran komunisme, pemujaan terhadap kepahlawanan Soeharto menjadi sensasi yang dirasakan oleh bocah usia SD seperti Saya waktu itu. Menonton menjadi sama menyeramkannya dengan pergi ke kuburan atau tempat seram lainnya dan kemudian pada akhir film bisa menarik napas karena penjahat telah berhasil dikalahkan. Pada tahapan ini aktivitas menonton TV telah bermetamorfosa menjadi proses ideologisasi yang terstruktur dengan memanfaatkan segala piranti social politik yang didominasi oleh ideology mainstream Orde Baru. Saya masih ingat ketika setiap tanggal 29 September, guru Saya selalu mengingatkan untuk nonton film “wajib’ itu. Belakangan saya juga mendengar cerita tentang sekolah-sekolah di kota Blitar yang diwajibkan untuk nonton dan harus membeli karcis yang hanya dijual di Kodim setempat.
Orde Baru tidak main-main dengan proyek ideologisasi melalui televisi. Pendirian TVRI sebagai televise pemrintah menandai sebuah era pembentukan imajinasi tentang Indonesia. TVRI memainkan peran sentral dalam memvisualisasikan ide-ide modernisasi yang dikembangkan oleh Negara. Piranti macam satelit, yang tergolong canggih pada tahun 1970-an pun diluncurkan. Seperti yang dituliskan oleh Khrishna Sen bahwa peluncuran satelit Palapa pada tahun 1976 menjadi cetak tebal pengukuhan dominasi Jakarta sebagai pusat terhadap daerah.
….the creation of Indonesian nation is signified not through the symbolism of union that always already existed, but as an achieved state—the conquest of the periphery by the centre. If Palapa was indeed a tool to create a nation the nation was not a representative collection of Indonesia’s cultural diversities but one created by televisual chains of command, connecting each region to Jakarta.
TV yang menjadi media penyiaran popular sebelum masa internet menjadi piranti ideologisasi yang begitu massif bagi kepentingan industrialisasi yang dimotori oleh Negara.
Selain memastikan keseragaman ideologi rakyatnya, Orde Baru memastikan juga bagaimana seharusnya perilaku warga Negara Indonesia. Selain dengan mencitrakan manusia modern Indonesia sebagai yang melek teknologi lewat program alih teknologi, televisi juga menggambarkan citra masyarakat yang tertinggal yaitu masyarakat pedesaan. Masih ingat dengan program Siaran Pedesaan? Program yang bisa dikatakan satu “paket” dengan program-program macam “Kelompencapir” dan “Bincang-bincang” ini ingin menyampaikan bahwa desa menjadi satu entitas geografis yang tertinggal dan pemerintah telah berhasil merubahnya menjadi lebih modern. Bungkusan stigma sebagai yang tertinggal juga tak luput diberikan pada tayangan mengenai komunitas adat atau mereka yang memiliki identitas lain dari yang digariskan oleh Negara.
Kini, ketika kepemilikan televisi sudah lebih merata, ideologisasi yang dilakukan oleh media-media mainstream tidak banyak mengalami perubahan. Televisi milik pemerintah masih tenggelam dalam romantisme ketentraman a la Orde Baru, sedangkan televisi swasta besar sedang nyaman dengan ide komersialisasi dan eksploitasi keliyanan yang “baru” mereka temukan. Tentu saja penemuan ini mereka klaim berbeda dengan eksploitasi ideologis yang dilakukan oleh televisi pemerintah pada masa sebelumnya. Klaim acara yang bersinggungan dengan entitas “liyan” yang seringkali dicitrakan sebagai yang ‘tradisional”, adalah mereka tidak masuk terlalu jauh dalam persoalan komunitas yang difilmkan karena mereka hanya “jalan-jalan”. Karena hanya sekedar “jalan-jalan” maka tentunya pelibatan komunitas dalam materi siaran atau distribusi produk audio-visual yang dihasilkan tak perlu terlalu serius.
Mungkin tidak semua produser berpikiran sedangkal itu tetapi jika melihat karakter industry media saat ini boleh jadi hal itulah yang “harus” mereka lakukan. Industri media tak ubahnya seperti pabrik tayangan yang membutuhkan stok yang terus up to date tidak memungkina pembuat tayangan terus menjalin relasi dengan komunitas secara setara. Para produser tayangan ini mereka membutuhkan sesuatu yang unik, sesuatu yang khas dan yang pasti “nggak bikin pusing” penonton. Kepentingan ini jelas berbeda dengan kepentingan yang menjadi agenda sebuah komunitas ketika mendapat kesempatan untuk tayang di televisi. “Semoga dengan tayang di televise, persoalannya yang ada dapat terurai”, begitu komentar seorang pegiat komunitas yang pernah Saya temui. Berangkat dari dua kepentingan inilah kemudian terjadi negosiasi antara media-media besar dengan komunitas. Bisa jadi negosiasi ini berjalan lancar tetapi tak jarang juga memunculkan persoalan dan ketidakpuasan terkait dengan materi siaran, editing sampai dengan distribusi media. Lalu mengapa komunitas tidak membuat content atau media sendiri?
Pertanyaan ini yang kemudian mengusik Desantara selama beberapa tahun terakhir ini. Beberapa pelatihan riset, penulisan dan pembuatan media foto serta audio visual coba dikembangkan untuk mendekatkan komunitas dengan media yang menjadi representasi identitasnya. Konsep media yang berarti juga penghubung coba dikembalikan lagi melalui proses kolaborasi antara model pendekatan partisipatif dan pencarian bentuk-bentuk representasi yang kontekstual. Blitar, Pati dan Lombok menjadi lokasi diadakannya putaran pelatihan audio-visual dengan tajuk Workshop Video Desantara 2011. Dalam tulisan ini Saya akan menceritakan secara singkat bagaimana workshop di masing-masing kota ini berlangsung tetapi saya juga berencana untuk menuliskannya dalam tulisan lain yang lebih panjang.
Kota Blitar mengawali putaran workshop pada tahun ini. Bertempat di pesantren Bustanul Muta’allimin, delapan orang peserta yang berasal dari Blitar, Kediri dan Tulungagung berproses untuk menerjemahkan ide dan rangkuman pengamatan mereka menjadi sebuah video. Selain mengenai sejarah media, peserta juga diajak untuk memahami bagaimana logika kamera bekerja dalam merekam sebuah realita di depannya. Pemahaman teknis ini menjadi penting untuk memahami bagaimana bahasa gambar mampu menerjemahkan sebuah ide dari pembuat video. Ketelitian menggunakan stok gambar dan kejelian pemilihan sudut pengambilan gambar menjadi pengalaman baru yang didapatkan oleh peserta kali ini. Pemahaman singkat tentang bagaimana sejarah dan teknis pembuatan video documenter menjadi bekal peserta untuk memasuki proses selanjutnya, menemukan ide dan memproduksi video documenter. Akhirnya setelah menjalani proses pelatihan dan editing selama sekitar satu bulan, empat film dengan judul Kampung Seng, Kosong, Wajah, dan Anak Koar selesai diproduksi.
Selang beberapa bulan kemudian, tepatnya pada bulan Juli 2011 digelar kembali workshop putaran kedua yang berlangsung di Angkruk Kenanti, Kecamatan Dukuhseti Kabupaten Pati. Bekerjasama dengan Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK) dan Jaringan Masyarakat Peduli Pati Utara (JM-PPU), isu-isu tentang konflik sumber daya dan potret social ekonomi masyarakat pesisir coba didiskusikan secara kritis. Workshop yang diikuti remaja dari beberapa komunitas seperti JMPPU, JM-PPK, nelayan dan pesantren ini memberi gambaran bagaimana pengelolaan sumber daya di daerah pesisir menjadi hal yang masih asing bagi warganya sendiri. Dari problem ini mereka mencoba untuk menjadikan video documenter sebagai media yang mendekatkan kembali komunitas pesisir dengan isu-isu yang seharusnya menjadi perhatian mereka. Setelah melalui proses panjang selama hampir satu bulan, tiga film berhasil diproduksi dengan judul “Kebal Kebul”, “Dengan Gielang Kubertahan”, dan “Ini Budi”
Rangkain Workshop Video Desantara 2011 ini berakhir di Pulau Seribu Masjid, Lombok. Mengikutsertakan tujuh orang peserta dari beberapa organisasi mahasiswa yang ada di Kota Lombok, workshop hasil kerjasama Desantara dengan YPKM NTB ini mengusung multikulturalitas Lombok sebagai isu utama. Keragaman, ketegangan dan kontestasi antara komunitas yang mendiami pulau Lombok menjadi satu bidang kajian yang tak aka nada habisnya. Media besar acapkali hanya melihat dua hal dari kompelsitas pulau di timur Bali ini, yaitu keindahan wisata alam dan konflik antar kampong. Dua hal yang sangat tidak mencukupi untuk mendefinisikan identitas Pulau Lombok.
Berbekal pemahaman akan timpangnya pandangan media terhadap keragaman ini, peserta mulai memetakan hal apa saja yang menjadi potensi yang ada di Pulau Lombok, baik potensi ekonomi, sumber daya alam, potensi social budaya hingga potensi sumber daya manusia. Hasilnya sungguh mengagumkan karena mereka dapat menjabarkan berbagai hal yang selama ini luput dari pandangan media. Aktivitas ini kemudian dilanjutkan dengan pemetaan persoalan yang terkait dengan pengelolaan potensi yang ada di Lombok.
Setelah melalui diskusi dan kerja kreatif lainnya, hasilnya tiga film yang menggambarkan bagaimana kondisi warga kampong pinggiran di Mataram yang tak tersentuh oleh hingar binger pariwisata Pulau Lombok. Film kedua berkisah tentang konflik Ahmadiyah yang menjadi isu ‘langganan” Pulau Lombok. Kemudian film ketiga bercerita tentang konflik antar kampong di wilayah Lombok Tengah. Tiga film yang mencoba memotret Pulau Lombok dari beberapa sisi.
Workshop tahun ini menjadi awal bagi Desantara untuk mengembangkan sebuah pelatihan video multicultural yang ingin memerdekakan komunitas dalam mendefinisikan dirinya. Media yang khittahnya sebagai medium penghubung seharunya mendekatkan komunitas dengan produk media yang dihasilkan, baik dalam hal substansi maupun distribusi karya. Sebuah pekerjaan yang tentunya tidak mudah jika hanya diangankan dan didiskusikan dalam forum-forum akademik karena dibutuhkan akumulasi pengalaman dan pemahaman akan semangat komunitas untuk memerdekakan dirinya dari belenggu dominasi media-media besar. Merdeka!