Menjadi Diri Sendiri

Telaah kritis atas tulisan Hebdige. Kalau kita melihat proses ngaben di Bali, dan lukisan di galeri seni yang diperjual-belikan, kira-kira pertanyaan apa yang ada di benak kita? Dan untuk memfokuskan pertanyaan, ketika keduanya dipandang sebagai kebudayaan, pertanyaan apa yang anda andaikan? Saya sendiri menganggap yang pertama kebudayaan sebagai proses, sedangkan yang kedua kebudayaan lebih dipandang sebagai produk. Ngaben merupakan kebudayaan yang dipandang sebagai proses penyembahan kepada Sang Hyang Widi. Sedangkan contoh lukisan yang ada di galeri seni kebudayaan telah menjadi komoditi (produk). Konsukuensi dari pandangan yang pertama berwatak kreatif, humanis, dan memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang suci, sedangkan konsukuensi dari yang kedua berwatak masif, mekanis, dan memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang tidak suci lagi. Kebudayaan kemudian menjadi sesuatu yang dapat diperjualbelikan.

Berkaitan dengan silogisme di atas, ada cerita menarik dari seorang kawan (tidak usah disebutkan namanya) yang kerjanya melukis. Suatu waktu hasil lukisannya di pajang di sebuah galeri. Galeri merupakan tempat untuk mempertontonkan dan mempromosikan sekaligus tempat untuk mengkomersilkan hasil sebuah karya yakni karya lukisan. Ketika di pajang, ada orang kaya yang berduit tertarik dan bersedia untuk menjual lukisannya. Akhir cerita disetujuilah sebuah kontrak yang berisi perjanjian bahwa pelukis itu akan menyanggupi permintaan lukisan dengan jumlah besar.

Orang kaya tadi kemudian mempromosikan lukisan kawan itu ke luar negri dan ternyata permintaan akan lukisan itu membludak. Karena permintaan membludak kawan pelukis itu harus melukis siang malam tanpa lelah demi mengejar sebuah target, yakni target penjualan lukisan dalam jumlah besar. Namun apa yang terjadi? Karena harus melukis dalam jumlah besar sedangkan waktu yang tersedia hanya satu bulan maka lukisan yang dihasilkannya menjadi acak-acakan dan asal jadi. Karena untuk mendapatkan hasil yang memuaskan, kawan itu minimal butuh waktu dua bulan untuk satu lukisan.

Pertanyaannya, apa hubungan cerita ini dengan tulisan yang akan dipaparkan? Hubungannya adalah sama-sama pernah terjadi pergeseran makna atas kebudayaan itu sendiri. Dengan berpijak kepada tulisan Hebdige, from culture to hegemony, saya mencoba untuk membaca ulang dengan sedikit percobaan saya untuk sedapat mungkin menghubungkan dengan contoh yang relevan.

Konsep kebudayaan ala Hebdige.

Hebdige mengatakan bahwa kebudayaan jika dikaitkan dengan terminologi ilmu pengetahuan (sciense) mengacu akan dua hal. Yang pertama mengacu kepada proses. Konsukuensi dari pandangan ini adalah kebudayaan menjadi ajang untuk sebuah proses. Proses itu bisa jadi proses kreatifitas maupun proses menuju kesempurnaan hidup manusia. Dan bukanlah merupakan hal yang penting apakah kebudayaan itu menjadi komoditi atau tidak. Sedang makna yang kedua mengacu kepada hasil (produk). Konsukuensi dari kebudayaan sebagai produk adalah kebudayaan kemudian menjadi komoditi untuk diperdagangkan. Kebudayaan menjadi paket yang bisa dinilai dengan materi. Hal ini terjadi juga di Bali, Indonesia, pada masa kolonial hingga sekarang. Kasus Baliseering merupakan contoh kasus yang sangat menarik untuk dijadikan acuan. Kebudayaan bukan lagi sebuah karya otentik masyarakat Baliinvetion) demi kepentingan ekonomi. Karya seni sebagai kebudayaan yang merupakan ekspresi dalam rangka pengabdian kepada sang Hyang Widi menjadi komoditi yang harus diproduksi secara massif demi kepentingan ekonomi, yakni sebagai komoditi untuk diperdangkan dan ditukar dengan uang. (baca; majalah Desantara edisi 03-hal, 48) melainkan telah menjadi sebuah rekayasa pemerintah kolonial (

Namun akhir abad 18, istilah kebudayaan mengalami pergeseran makna. Karena masyarakat organis pada waktu itu telah muak dengan mekanisasi kehidupan manusia. Dan ini juga didukung oleh kemunculan “tradisi intelektual” yang berasal dari kalangan bawah (pekerja) yang menaruh minat besar terhadap kebudayaan. Tokoh yang muncul waktu itu adalah Raymond William, Richard Hoggart, Stuart Hall. Mereka dikenal sebagai kulturalisme. Karena benang merah yang menghubungkan ketiganya adalah perhatian mereka kepada wacana kebudayaan meskipun pertentangan di antara mereka tak terelakkan.

Adapun yang menjadi impian masyakat organis waktu itu adalah kebudayaan betul menjadi sesuatu yang suci. Kebudayaan bisa menjadi perekat antara satu kelompok dengan kelompok yang lain, baik kelompok itu berskala kecil maupun kelompok itu bersekala besar. Perbedaan suku, warna kulit maupun ras sudah tidak ada lagi dan tidak ada istilah pekerja dan tuan antara buruh dan majikan.

Seiring dengan lahirnya tradisi intelektual kritis itu, muncul pula dua konsep dasar tentang kebudayaan. Yang pertama kebudayaan dipandang sebagai standar kualitas kebaikan hidup. Yang kedua kebudayaan dipandang sebagai cara hidup. Perbedaan keduanya terletak dari cara mendapatkannya. Kebudayaan dipandang sebagai standar kualitas kebaikan hidup hanya bisa didapatkan dengan mengapresiasi karya sastra klasik seperti ballet, opera, dan novel. Dan hal ini hanya bisa dijangkau oleh kalangan tertentu. Sedangkan kebudayaan dipandang sebagai cara hidup bisa diperoleh dengan apresiasi terhadap kehidupan sehari-hari. Dan siapapun bisa mendapatkannya karena bisa diapresiasi dari kehidupan sehari-hari.

Adapun tujuan dari cara pandang di atas adalah memahami masyarakat khsususnya dalam wacana cultural studies. Karena wacana yang berkembang waktu itu adalah wacana cultural studies. Nilai-nilai apa yang terkandung dalam fenomena masyarakat khususnya kebudayaan masyarakat itu? untuk menjawab pertanyaan ini, Hoggart (1966) mengeluarkan pernyataan yang terkenal yang menjadi pendasaran bagi cultural studies;

Pertama, untuk memahami hakikat masyarakat seseorang harus memahami karya sastra dengan baik. Kedua, karya sastra bisa digunakan sebagai analisis fenomena sosial yang lain untuk mengeluarkan makna baik dalam wilayah individu maupun wilayah sosial kemasyarakatan. (Hoggart,1966)

Dan untuk menganalisis makna fenomena kebudayaan ini, Hebdige memakai teori Rolland Barthes tentang konsep tanda dan mitologi.

Rolland Barthes; Semiotik dan mitologi

Rolland Barthes dalam metode analisisnya banyak dipengaruhi oleh Saussure. Saussure sendiri merupakan pelopor yang memberi “pemaknaan baru” mengenahi bahasa. Saussure menciptakan ilmu khusus yang mengkaji tentang bahasa dan ilmu itu dinamakan dengan semiotik. Namun Rolland Barthes mengembangkan metode Saussure ini lebih jauh hingga realitas di luar bahasa seperti film, makanan dan fashion. Pengembangan yang dilakukan Barthes banyak menyumbangkan pemikiran baru bagi kajian-kajian cultural studies. Namun hal ini bukan berarti bahwa semiotik bisa disamakan dengan cultural studies melainkan memberikan kemungkinan lebih banyak bagi kajian cultural studies dalam hal metode untuk melakukan kajian-kajian sosiologis.

Dalam pengembangannya lebih lanjut, semiotik dipandang sebagai ilmu yang mengkaji tentang tanda. Kenapa tanda? Pertama, tanda adalah sesuatu yang paling mudah dikenal. Kedua, tanda mewakili sesuatu di luar dirinya. Ketiga, manusia dalam berinteraksi hanyalah sebuah proses penandaan dan penafsiran dari tanda itu sendiri. Keempat, tanda menjadi satu-satunya hal yang dipercayai oleh orang-orang sebagai bukti dalam hal melakukan hubungan antara satu dengan yang lainnya. Tanda menjadi sesuatu yang punya eksistensi. Hal ini bisa dibuktikan dalam perdagangan atau bisnis. Tanda tangan dalam perjanjian mempunyai bukti yang lebih kuat dari keberadaan orang itu sendiri. Juga dalam hal pedagangan uang atau valuta asing, uang secara material tidak ada di depan kita, yang ada hanyalah angka-angka atau “tanda”. Dan semua itu adalah fenomena yang terjadi di masyarakat kita sekarang ini.

Adapun tujuan dari semiotik ini adalah mengungkapkan makna tersembunyi dari fenomena kebudayaan tersebut. Apa makna yang dikandungnya? Karena menurut Barthes, segala sesuatu yang dilakukan oleh orang-orang Perancis yang meliputi cara berpakaian, gaya rambut, maupun membangun rumah bergantung kepada representasi orang-orang borjuis. Semua yang kita lakukan mengandung ideologi yang tak punya nama (anymous ideology). Dan Barthes mengambil contoh orang-orang Perancis karena memang dia dilahirkan di Perancis.

Sedangkan metode yang digunakan oleh Barthes ini adalah metode diadik (dibagi dua). Hal ini disebabkan pengaruh Sasussure yang begitu dalam pada dirinya. Barthes melakukan pengembangan terhadap teori Saussure. Kalau Saussure terkenal dengan konsep penanda (signifiant) dan petandanya (signifie), Barthes lebih dikenal dengan teori konotasi dan metabahasanya. Ia mengembangkan istilah signifiant menjadi ekspresi (E) dan siginifie menjadi isi (C). Dan lebih lanjut Barthes mengatakan bahwa tanda dapat terbentuk menjadi sebuah tanda (Sign) jika ada hubungan (R) antara E dan C. Dengan adanya relasi
(R) ini memungkinkan bagi teori tanda ini lebih berkembang. Karena R itu ditetapkan oleh pemakai tanda. E itu bisa berkembang menjadi tanda baru, begitu pula C. Pengembangan ini disebut sebagai gejala metabahasa. Setiap tanda selalu memperoleh pemaknaan awal yang disebut dengan makna denotasi dan dikenal secara umum. Barthes menyebut sebagai sistem primer. Sedangkan pengembangannya disebut dengan sistem sekunder. Pengembangan makna yang mengarah kepada E disebut dengan metabahasa Sedangkan pengembangan makna sekunder yang mengarah kepada C disebut dengan gejala konotasi.

Barthes dalam hal ini mengambil contoh foto tentara negro hitam yang memberi hormat kepada bendera perancis. Siapapun yang melihat foto tersebut akan melihat foto itu sebagai sebuah tanda kalau ia melihat relasi antara “konsep” bendera perancis itu (E) dengan “makna penghormatan” tentara negro yang memberi hormat kepada bendera itu (C). Penghormatan itu bisa berarti kesetiaan dari seorang tentara sebagai makna primer dari isi (C). Sedangkan pengembangan makna sekunder yang mengarah kepada C yakni penghormatan sebagai kesetiaan, bisa bermakna bahwa Perancis merupakan kerajaan yang besar sehingga siapapun tanpa membedakan warna kulit harus memberi penghormatan kepadanya. Pengembangan makna yang mengarah kepada isi (penghormatan sebagai kesetiaan) disebut dengan gejala konotasi. Pengembangan ini pun bisa menjadi tanda baru dan begitu seterusnya. Dan pemaknaannya bisa sangat arbitrer (mana suka). Karena pengembangan makna (gejala konotasi) itu tidak hanya tergantung kepada paham kognisi saja, melainkan juga paham pragmatik (yakni pemakai tanda dan situasi pemahamannya).

Di samping konsep semiotik yang digunakannya, Barthes juga menggunakan teori mitologinya untuk membaca masyarakat. Barthes mengatakan bahwa mitos adalah type of speech (bentuk-bentuk wicara). Lalu apa perbedaannya dengan wacana atau dikursus. Kalau diskursus sudah ada “problematisasi” dan “tematisasi” sedangkan pembicaraan atau bahasa dalam istilah Saussure tidak terdapat interaksi dengan yang lain atau “problematisasi”, sehingga ia menjadi pengembangan pemaknaan dari suatu tanda yang kemudian digunakan sebagai alat untuk kepentingan pencitraan. Sehingga fenomena yang awalnya dibuat dan direkayasa menjadi sesuatu yang sangat alamiah.

Setelah makna suatu tanda terungkap maka dengan segera seseorang akan menemukan makna dan maksud yang tersembunyi dari yang tak terkatakan. Makna dan maksud yang tersembunyi itu seringkali disebut dengan ideologi. Barthes menyebutnya sebagai ideologi yang tak punya nama. Lalu apa yang dimaksud dengan ideologi itu sendiri? Pertanyaan ini membawa Hebdige untuk membincangkan ideologi dan perdebatan seputar ideologi.

Ideologi

Perdebatan tentang ideologi yang ditampilkan Hebdige lebih menitikberatkan kepada tempat bersemayamnya ideologi itu sendiri. Apakah ideologi itu terletak di alam kesadaran manusia atau terletak di luar kesadaran manusia (nirsadar)?

Untuk menjawab pertanyaan ini Hebdige mengutip pendapat Karl Marx yang mengatakan bahwa ideologi sebenarnya terletak di luar kesadaran agent produksi. Konsukuensinya adalah adalah sesuatu yang kita ucapkan, yang kita lakukan didorong dan selalu dikontrol oleh ideologi tertentu yang tidak kita sadari keberadaannya. Bahkan seseorang yang menolak suatu ideologi tertentu dengan sendirinya sudah sangat ideologis; artinya menganut ideologi yang lain.

Stuart Hall juga mengatakan demikian bahwa ideologi itu terletak di luar kesadaran manusia. Ideologi merupakan kualitas yang spontan, tersembunyi dan susah untuk diuji premis-premisnya. Ideologi juga resistensi terhadap perubahan. Premis-premis yang mengandung muatan ideologis didasarkan kepada sesuatu yang tidak kelihatan, demikianlah ungkapan Stuart Hall. Althusser juga mengatakan bahwa ideologi hanya sedikit sekali yang berkaitan dengan kesadaran. Ia lebih banyak berkaitan dengan alam ketidak sadaran.

Namun pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah; apa sesungguhnya ideologi itu? Althusser menyebut ideologi sebagai sistem representasi. Sistem kalau merujuk kepada definisi strukturalis adalah hubungan atau relasi antara satu unsur yang satu dengan yang lain. Baik unsur itu dalam satu komponen maupun unsur di luar komponen dirinya. Sistem representasi bisa diartikan dengan hubungan antar representasi yang satu dengan representasi yang lainnya.

Althusser menambahkan bahwa dalam banyak kasus suatu representasi itu terkadang hanyalah sebuah image bahkan hanya sebuah konsep. Dengan demikian, maka sistem representasi adalah hubungan image yang satu dengan image yang lain atau hubungan konsep satu dengan konsep yang lainnya. Dan yang lebih penting lagi menurut Althusser adalah bahwa ada struktur yang mengendalikan atas semua itu yakni keluarga, institusi dan kebudayaan.

Walaupun Althusser mengacu kepada struktur yang abtraks seperti keluarga, institusi, dan kebudayaan, namun Hebdige sendiri mengambil contoh struktur fisik seperti bangunan universitas. Gedung fakultas tehnik akan sangat berbeda dengan gedung fakultas sastra. Demikian pula bentuk batu bata merah yang digunakan sebagai bahan bangunan itu. Bangunan universitas yang berbeda-beda menentukan prilaku penghuninya. Menurut Hebdige struktur fisik representasi dari sebuah struktuk ideologi.

Lalu apa tujuan dari semua itu? Tujuan yang paling dominan adalah dominasi atau hegemoni.

Hegemoni

Term hegemoni mengacu kepada suatu situasi dan di dalam situasi itu berbagai aliansi dari kelompok-kelompok sosial dapat mendesak otoritas sosial yang lebih dominan untuk menekan kelompok sosial lain yang subordinat. Namun hal itu bukan berarti pembebanan langsung ide-ide melainkan persetujuan dari kelas dominan untuk menciptakan kondisi bagi kelompok sosial yang beraliansi untuk mendeskriditkan kelompok subordinat. Dengan demikian kelompok yang beraliansi lebih punya kekuasaan yang legitimate dan terkesan alami (natural). Dan orang lain akan menganggap bahwa hal yang demikian bukan suatu rekayasa tapi memang seharusnya terjadi. Dan ini bisa terjadi pada kelompok maupun individu.

Kasus yang terjadi pada kelompok bisa dilihat dari perpolitikan di Indonesia. Partai A beraliansi dengan partai B. Partai C adalah kelompok subordinat. Pemerintah merupakan institusi yang punya otoritas kewenangan untuk mengatur. Aliansi partai A dan B mendesak pemerintah untuk menciptakan kondisi yang menguntungkan partai A dan B. Atas desakan itu, pemerintah kemudian memberi kewenangan yang dapat menciptakan suatu kondisi yang bisa menguntungkan partai A dan B dan dapat menekan partai C sebagai kelompok subordinat. Dengan demikian partai A dan B itu mampu menghegemoni pemerintah sekaligus menguasai partai C. Dengan demikian hegemoni menjadi “moving equilibrium” menurut Gramsci.

Untuk kasus individu, contohnya bisa dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Perbedaan cara hidup mampu membuat seseorang untuk melakukan hegemoni agar orang lain menuruti kemauannya. Dan implikasinya adalah kekerasan terjadi di mana-mana, dan penindasan terus berlangsung. Masih adakah hati yang rela membiarkan orang lain untuk menjadi dirinya sendiri? Entahlah. Desantara / MHL

BAGIKAN: