(Urip Iku Mung Mampir Ngombe – Bhs. Jawa)Judul tulisan ini berupa kalimat klise, artinya sudah dikenali banyak orang dan dipahami oleh sebagian besar masyarakat, khususnya di lingkungan komunitas etnik Jawa. Kalimat itu dikutip dari pengetahuan “Ngelmu sangkan paraning dumadi” (ngelmu asal-usul manusia dalam penciptaan Hyang Widhi).
Judul tulisan ini berupa kalimat klise, artinya sudah dikenali banyak orang dan dipahami oleh sebagian besar masyarakat, khususnya di lingkungan komunitas etnik Jawa. Kalimat itu dikutip dari pengetahuan “Ngelmu sangkan paraning dumadi” (ngelmu asal-usul manusia dalam penciptaan Hyang Widhi). Maknanya, manusia itu berasal dari tanah dan akan kembali menjadi tanah, manusia itu berasal dari sang Maha Pencipta, dan akan kembali ke sang Maha Pencipta. Hidup itu, adalah perjalanan panjang, ziarah panjang, lalu singgah sebentar di muka bumi, hanya untuk melepas dahaga (mampir ngombe).
Dalam perkembangan budaya Jawa, akhirnya kata “ngombe” mempunyai dua makna, yakni makna pertama “ngombe banyu wening/bening”, atau meminum air bersih, air kehidupan, atau berjalan di jalan yang benar, sesuai dengan kehendak Hyang Widhi. Makna kedua adalah “omben”, dalam acuan makna meminum air beralkohol. Air beralkohol secara tradisional disebut dalam beragam kata, antara lain “arak, tuwak, legen, ciu, badhek, cangklong”. Berbagai minuman produk pabrik, nama jenis minuman diucapkan dengan lafal bahasa lokal, misalnya: “brendhi, jenewer, minuman keras cap tikus, cap kuntul”. Jenis minuman tersebut sering diramu dengan unsur minuman yang lain, disebut minuman “oplosan”. Bila dosis alkoholnya terlalu kuat, sering membawa malapetaka, sang peminumnya bisa meninggal dunia.
Kapan Omben diadakan?
Pada masa sekarang, sekumpulan orang dewasa atau anak-anak muda mengadakan kegiatan “omben” tanpa ukuran waktu, artinya sewaktu-waktu yang berniat “ngombe arak atau tuwak”, asal mereka memiliki uang. Pada tempo doeloe, peminum menetapkan hari tertentu untuk “omben”, pada malam hari tayuban, atau pementasan tandak ngamen (tandhak lengger, emprak, atau andhong, dalam arti pementasan tarian caravan, atau pertunjukan keliling).
Kesenian tari tandak ngamen, atau pementasan tari tandak keliling, mirip kisah putri Raja Mataram, sang Pambayun menyelenggarakan pentas keliling di pardikan Mangir (Kisah Ki Ageng Mangir). Para penari yang ngibing (menari di arena tandhak), pada awalnya agak kikuk, kaku, karena rasa takut atau rasa malu. Pembunuh rasa malu dan rasa takut ialah minuman arak atau tuwak. Para pengibing di daerah tertentu biasanya memiliki aturan atau konvensi. Misalnya, para penari yang menerima kain sampur, wajib terjun ke arena tari. Pergantian antar penari diatur dalam satu gendhing (lagu gamelan Jawa). Sang penari memberi sawer (hadiah uang) ke penari/tandhak. Uang itu diselipkan di “dompet tradisional” atau dada penari/tandhak. Calon penari pengganti biasanya diberi minuman satu sloki (gelas kecil), sebagai pemanasan atau pembangkit keberanian sang pengibing.
Selaras dengan tradisi omben pada pementasan ledhek atau tandak ngamen, omben pada seni pertunjukan tayub diselenggarakan secara profesional. Artinya pada pementasan tayub, ada seorang lelaki bertugas sebagai “pelandang”, penari yang bertugas membagi kain sampur ke para tamu yang hadir pada pesta tayuban. Para penari adalah tamu hajatan. Tamu hajatan akan memberi uang di talam sebagai uang sumbangan untuk pemilik hajat, sedang penari tayub menerima uang dari para tamu, dengan cara yang sama seperti pada acara tandak ngamen. Uang disisipkan pada dompet tradisional, inilah yang disebut tradisi tayub di daerah Malang (bhs. Jawa – Cara Malangan).
Omben pada Acara Jagong Bayi
Pada upacara kelahiran bayi, tradisi di pedesaan (khususnya tempo doeloe) selalu diadakan upacara “melekan bayi atau jagong bayi” (berjaga-jaga pada malam hari, selama lima hari berturut-turut). “Melekan” dalam acuan makna jangan tidur pada sore hari, selalu ada orang tua yang menyajikan tembang atau kidung, dalam tradisi etnik Jawa di Malang disebut “nanggap maca” (membaca tembang macapat). Kumpulan tembang ini secara khusus telah ditulis dalam suatu buku yang terdiri dari 152 bait, tersusun dalam tujuh (7) macam tembang, yakni pembukaan Dhandhanggula, diikuti tembang Sinom, Asmara Dana, Kinanti, Pangkur, kembali ke tembang Dhandhanggula, dan tembang penutup bernama Durma. Penulis Ki Rangga Sutrasna. Himpunan tembang penolak malapetaka itu, selalu diawali dengan Kidung penolak bala/malapetaka sebagai berikut.
Dhandhanggula
Ana kidung rumeksa ing wengi
teguh ayu luputa ing lara
luputa bilai kabeh
Jin, setan datan purun,
paneluh tan ana wani,
miwah penggawe ala,
gunaning wong luput.
Geni atemahan tirta,
maling adoh tan ana ngarah mring mami,
guna duduk pan sirna.
Terjemahan bebas
Ada tembang untuk berjaga di waktu malam
Teguh hayu terlepas dari rasa sakit
Terlepas dari semua malapetaka
Jin dan setan tidak akan menggoda
juru teluh (magik) tidak ada yang berani
dengan perbuatannya yang jahat,
kegunaannya orang bersalah
Api dilawankan dengan air,
pencuri jauh tak ada yang mengarah ke saya
mantra jahat, akan sirna.
Kidung yang muatan maknanya untuk penolak bala tersebut, tersusun dalam lambang siklus kehidupan manusia sepanjang umurnya. Pembuka tembang Dhandhanggula, dalam muatan makna hidup bahagia di masa kanak-kanak, Sinom bermuatan makna ketika manusia dalam usia muda (anom), Asmaradana (asmara dahana) menggambarkan ketika manusia memasuki usia dewasa selanjutnya jatuh cinta dengan lain jenisnya. Kinanthi diberi muatan makna keikutsertaan (yang dimaksudkan adalah sang kekasih), dan Pangkur dinilai sebagai akronim dari kata “nyimpang lan mungkur”. Artinya berbagai hadangan hidup, kesulitan hidup telah menyimpang (lewat) dan memasuki masa lalu (mungkur). Tembang kembali ke Dhandhanggula, dalam acuan makna masa bahagia hidup pada alam kekeluargaan, terakhir Durma dalam acuan makna menjadi orang tua yang harus berhati-hati, menjaga kelangsungan keluarga.
Di luar arena pada upacara “jagong bayi”, banyak tamu yang mendengarkan kidung, sambil bermain kartu, ceki atau kartu domino. Selingannya adalah minum arak atau tuwak. Pada upacara ini tampak bahwa yang sakral (Kidung Penolak Malapetaka), berdampingan dengan yang profan (hiburan murah) dengan cara bermain kartu dan meminum alkohol (Omben). Dengan kalimat lain, dapat disimpulkan bahwa omben memiliki fungsi pengikat nilai-nilai persahabatan. Masyarakat pendukung kebanyakan bukan masyarakat santri, yang mengharamkan omben.
Perjalanan Hidup Manusia
Pada pembukaan karya tulis ini telah saya sebutkan perihal “Ngelmu sangkan paraning dumadi, atau Ngelmu sangkan paraning urip”, yakni pandangan hidup yang mempertanyakan arah perjalanan hidup sebagai ziarah yang panjang. Ziarah panjang itu, diberi selingan hidup di muka bumi, untuk melepaskan dahaga. Pertanyaan yang mendasar, kemanakah tujuan akhir kehidupan di muka bumi ini?
Dalang terkenal Ki Manteb Sudarsono melukiskan tujuan akhir itu pada sebuah tembang sebagai berikut.
Pungkasane urip ira
ninggal raga iku larahane pati
bali mring arsa, Hyang Agung
yen macan ninggal lulang
yen manungsa ninggal apa?
amal soleh kang sejati.
Terjemahan bebas
Akhir dari hidupmu
meninggalkan raga karena mati
kembali kehadirat Hyang Agung
jika harimau meninggalkan kulitnya
gajah meninggalkan gadingnya
manusia meninggalkan
amal soleh yang sejati
(Sindhunata, Basis, No. 09-10, Th/ ke-51, September-Oktober 2002, hal. 52-53).
Menurut dalang Ki Manteb Sudarsono, ada tiga unsur utama dalam ngelmu sangkan paran itu, yakni pertama asal-usul hidup manusia, kedua kehidupan di dunia itu sendiri, dan yang ketiga adalah tujuan akhir hidup manusia.
Ia menguraikan makna ngombe dalam distribusi makna yang beragam, yakni ngombe rasa, ngombe ngelmu, ngombe pangerten, dan ngombe lelakon. Maknanya cukup dalam, pertama ngombe rasa, dalam acuan makna hakikat hidup, ngombe ngelmu dalam acuan makna pengetahuan kognitif perihal kehidupan manusia, ngombe pangerten dalam acuan makna pemahaman hidup yang aplikatif, dan ngombe lelakon, telah berhasil menangkap makna hidup secara empirik.
Jin Lonthe Kempling
Inilah pengalaman unik yang terkait dengan tradisi omben. Tahun 1990, ketika grup Ludruk Kopasgat pentas di desa Sumber Adhem, Kecamatan Kedungadem, Kabupaten Bojonegoro (bulan Syawal), sang pelawak Klowor sebelum naik ke panggung, minum dua sloki, arak lokal. Mas Totok (alm.) melarang Klowor yang akan menambah satu sloki lagi. Ketika adegan lawak, Klowor tampil penuh percaya diri, ia menyajikan kidung bernada kritik sosial yang tajam, dan mengundang tawa yang membahana. Di sudut penonton luar panggung, dia melihat wanita cantik, selalu menggoda, meledek Klowor.
Tepat pukul 24.00 tugas Klowor telah berakhir. Ia keluar panggung, melalui jalan belakang, ia menuju ke wanita cantik yang selalu menggoda itu. Klowor diajak pulang ke rumahnya. Mereka berdua meninggalkan panggung, menuju ke arah selatan desa. Grup Ludruk tidak ada yang memperhatikan menghilangnya sang pelawak. Pukul 05.00 pagi, Klowor diantar Hansip desa, bajunya kotor, dalam keadaan bisu. Untung ada pak Yai Imam Kurmen. Dengan doa/mantra dan air putih yang diminumkan ke Klowor, ia menangis, lalu bisa berkisah.
“Saya diajak wanita cantik, pulang ke rumahnya. Di sana ada perkampungan dengan lampu yang penuh terang benderang. Saya dilarang melihat ke arah kanan dan kiri jalan. Ketika larangan itu saya langgar, mendadak keadaan menjadi gelap. Saya tidur di keranda, saya tidak ingat lagi ……”, kisah Klowor sambil menangis sesenggukan.
Abah Imam Kurmen menerangkan bahwa tempat itu adalah kuburan desa. Di sudut belakang ada pohon gayam, di sanalah ada jin yang menampakkan diri sebagai wanita cantik. Masyarakat setempat menyebutnya si “Jin Lonthe Kempling”. (Lonthe = pelacur; kempling = muda, ramping dan seksi). Klowor termangu, matanya menerawang ke tempat yang jauh. Rombongan Ludruk meninggalkan desa tersebut pukul 09.00 pagi. Klowor tidur lelap di atas truk, merangkul kendang, di tengah-tengah peralatan gamelan.
Sepuluh Tanda Orang Mabuk
Dua buku yang memuat tanda-tanda orang mabuk, ialah buku Centhini dan buku Astabrata. Dalam bahasa Jawa disebut “candrane wong mabuk, amarga kakehan ngombe ciu” (tanda-tanda orang mabuk, karena terlalu banyak minum arak). Kisah perjalanan si Jayengresmi dan Jayengraga dari desa Wanamarta, sampailah di desa Pulung. Mereka bertempat tinggal di rumah mbok randha Sembada (si Janda Sembada). Waktu itu kebetulan ada pertunjukan tayub, dengan tandak/ledhek yang amat cantik, bernama Ni Madurasa. Juru landang (tukang suguh arak) bernama Ki
Duljiya.
Simpulan kisah dan “candrane wong mabuk” sebagai berikut:
1. Eka padmasari, adalah wajah sumringah, warna merah karena seseorang baru saja meminum ciu atau arak satu sloki (satu gelas kecil, takaran buku untuk “ngombe arak”).
2. Dwi martani, ciri orang yang baru minum dua sloki ciu. Tampak penuh nilai persaudaraan, tutur bahasanya jelas (teteh), dia amat senang bercanda.
3. Tri kawula busana (tri = tiga, busana = baju). Orang yang minum tiga sloki ciu, maka orang setengah mabuk itu tidak lagi memperhatikan pakaian (busana). Pakaian itu compang-camping atau utuh dan indah, tidak diperhatikan, semua itu se-saudara.
4. Catur wanara rukem (catur = empat, wanara = kera, rukem = jenis buah warna merah). Minum empat sloki, bibirnya merah seperti kera yang memakan buah rukem. Tingkah lakunya pun seperti kera, mulai lupa diri.
5. Panca sura panggah (panca = lima, sura = berani, panggah = tangguh). Seseorang yang minum lima sloki, mendadak menjadi pemberani, tampak dirinya tangguh, terlalu percaya diri. Dia siap mulai melawan orang lain yang melarang atau menghalangi niatnya.
6. Sad guna weweka (sad = enam, guna = kepandaian, weweka = kecurigaan) Orang yang minum enam sloki, pikirannya penuh kecurigaan, setiap orang lain berbicara, dicurigai membicarakan kejelekan dirinya. Ia penuh prasangka, dan mudah marah.
7. Sapta kukila wresa (sapta = tujuh, kukila = burung, wresa = hujan turun dengan deras). Artinya meminum tujuh sloki, tampaknya seperti burung berkicau, dan tidak mau berhenti berkicau. Pembicaraannya di luar kontrol pikiran yang waras.
8. Astha kecara-cara (astha = delapan, kecara-cara = tingkah laku seenak pusarnya sendiri/sekehendak hatinya). Minum delapan sloki, si pemabuk bertingkah laku seenaknya sendiri, tanpa mempedulikan sang lain (pihak orang lain).
9. Nawa wrega lupa (nawa = sembilan, wrega = ular yang panjang dan besar, lupa = keletihan, kehilangan tenaga). Minum sembilan sloki, rasanya seperti ular besar yang baru memangsa/kekenyangan, lemas dan malas tanpa daya kekuatan apa-apa.
10. Dasa buta mati (dasa = sepuluh, buta = raksasa, mati = mampus). Orang yang meminum genap sepuluh sloki, seperti raksasa yang mati. Kelakuannya tidak sopan, kelakuannya tak terkendali, akhirnya roboh seperti raksasa mati, tak berdaya.
Itulah uraian singkat tentang minum arak, tradisi dan tanda-tanda orang yang menghabiskan sepuluh sloki arak.
Penulis: Henri Supriyanto
Dosen Kajian Budaya
Program Pascasarjana
Universitas Negeri Surabaya
Tayub Malangan
Foto: Paring Waluyo