Makassar, Dari Sisi yang Berbeda

Tinjauan Buku:
Judul : Identitas Urban, Migrasi, dan Perjuangan Ekonomi-Politik di Makassar
Editor : M. Nurkhoiron dan Ruth Indiah Rahayu
Penerbit : Desantara Foundation
Cetakan : I, 2012
Ketebalan : viii+260 halaman
Kealternatifan sudut pandang yang ditawarkan buku ini membantu kita untuk belajar menyelami lebih dekat berbagai persoalan perkotaan yang intensitasnya kian masif. Suatu tantangan yang harus dihadapi Indonesia di masa depan.
Makassar merupakan sebuah kota besar di kawasan timur Indonesia yang mengalami pergulatan sejarah yang cukup panjang. Sejarah mencatat, di kota ini pernah berdiri Kerajaan Gowa Tallo yang dibangun bangsa Bugis-Makassar di abad 16. Hal ini, misalnya, ditunjukkan dengan keberadaan beberapa situs penting yang dimiliki kota ini. Selain menjadi bukti kebesaran, banyak di antara bangunan tua itu juga menjadi saksi bisu kegigihan bangsa Bugis Makassar melawan kolonialisme. Salah satunya adalah Benteng Somba Opu.
Menjelang empat abad usianya, kota yang saat ini memilki luas 175,77 kilometer persegi dihuni 1,5 juta jiwa. Dengan demikian, Makassar adalah salah satu kota terbesar setelah Jakarta, bahkan ditangarai sebagai kota paling ramai dan terpadat di Indonesia bagian timur.
Slogan “Makassar Menuju Kota Global” menunjukkan globalisasi juga mempengaruhi dinamika perkembangan suatu kota seperti Makassar. Buktinya, pertumbuhan ekonomi sebagai salah satu mantra globalisasi menjadi orientasi pembangunan kota. Makassar di abad 21 juga turut hanyut diterpa arus urbanisasi yang nyaris tak terbendung. Urbanisasi dan pembangunan kota yang berorientasi pertumbuhan ekonomi memang merupakan hal yang jamak. Keduanya telah lama menandai karakter pembangunan kota-kota besar di Indonesia, terlebih di Jawa. Persoalannya, apakah berbagai kenyataan baru tersebut menciptakan kehidupan manusiawi yang memuaskan di perkotaan seperti Makassar?
Jelas, pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan memacu kota-kota di Indonesia untuk tumbuh menjadi pusat-pusat ekonomi. Sesuatu yang pada gilirannya disusul oleh bangkitnya kelas menengah baru dan euforia konsumsi di satu sisi, tapi di sisi lain semakin lebarnya tingkat kesenjangan sebagaimana tampak dari meningkatnya kelompok gelandangan, pedagang informal, dan kaum marjinal lainnya. Itulah yang oleh Paul Hirst disebut paradoks globalisasi. Dan sebagaimana ditunjukkan buku ini, wajah Makassar kontemporer secara telanjang memunculkan paradoks tersebut.
Pokok itulah yang kira-kira ingin disampaikan oleh buku Identitas Urban, Migrasi dan Perjuangan Ekonomi-Politik di Makassar. Buku ini sangat membantu kita untuk melihat situasi Makassar dalam terang masa kini. Berbagai uraian dalam buku ini menawarkan beragam topik dan perspektif yang mengajak kita berkeliling kota untuk melihat Makassar secara lebih utuh. Dari sini kita bisa melihat Makassar tidak terlepas dari gesekan-gesekan dalam banyak segi, baik spasial, ekonomi, sosial maupun kultural.
Sejatinya, buku yang disunting oleh M. Nurkhoiron dan Ruth Indiah Rahayu ini menghimpun tujuh tulisan para peneliti muda Makassar. Masing-masing di antara mereka mengambil aspek yang berbeda dari kota Makassar sebagai fokus pembahasannya. Tapi setiap tema yang diangkat dapat dikatakan tidak saja mencerminkan kompleksitas problematika kota Makassar, tetapi juga kota-kota besar lain di Indonesia pada umumnya. Menariknya, mereka menjadikan berbagai pihak yang rentan gerhadap pergesekan dan jarang didiskusikan dalam kajian urbanitas dan perkotaan ini sebagai subjek utama penelitian ini. Dengan menggunakan metode etnografi, sejarah lisan, dan sejarah sosial, mereka melakukan penelitian lapangan dengan menjumpai orang-orang yang selama ini tidak tercatat dalam buku-buku kebijakan perkotaan itu.
Hasilnya, lahirlah tujuh tulisan yang menawarkan perspektif baru dalam melihat fenomena di berbagai penjuru dan sudut kota, baik dari bangunan fisik maupun para penduduknya yang selama ini jarang didiskusikan dan dijadikan rujukan kebijakan oleh para pengampu kebijakan kota. Kompleksitas persoalan perkotaan Makassar dalam buku ini dibedah dari dimensi sosio-historis, pergulatan identitas, dan ekonomi politik.
Tengok, misalnya, dua tulisan dari Suardi Kaco (“Sejarah Benteng Somba Opu sebagai Situs Sejarah: Dari Pembiaran ke Perusakan”) dan M. Iqbal Arsyad (Perubahan Arsitektur Kota Makassar dari Periode Kolonial, Orde Baru, hingga Reformasi”) dalam buku ini. Dengan objek kajian yang terpisah, pemaparan keduannya memberi gambaran tentang perkembangan kota Makassar saat ini dari perspektif tata ruang dan arsitektur kota.
Sudah menjadi hal yang jamak bahwa kebijaksanaan tata ruang kota di Indonesia diorientasikan untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi makro. Tata ruang kota menjadi infrastruktur penting untuk menunjang orientasi pertumbuhan tersebut, yaitu dengan memberi akses yang seluas-luasnya bagi masuknya investasi. Rencana tata kota pada gilirannya menjadi suatu parameter dimana kita bisa memeriksa untuk kepentingan siapakah pembangunan kota dilaksanakan. Idealnya, rencana tata ruang kota dijadikan sebagai wahana bersama mengenai tata ruang perkotaan yang merepresentasikan aspirasi warga yang beragam. Namun dalam kenyataanya, rencana tata ruang kota dikondisikan untuk meningkatkan investasi dan memudahkan kepentingan pemodal (hal. 95).
Hamzah dalam tulisannya “Pergeseran Ganrang Bulo sebagai Seni Tradisi ke Pertunjukkan di Kota Makassar” memaparkan pergeseran “peran” Ganrang Bulo yang semula merupakan seni tradisi menjadi seni pertunjukan yang bisa dipentaskan setiap saat dengan tujuan hiburan. Padahal, beberapa seniman yang dijumpai Hamzah menuturkan bahwa Ganrang Bulo semula merupakan kesenian tradisional yang berkaitan dengan seni ritual sehingga hanya ditampilkan dalam acara-acara tertentu (hal. 107). Menurut Nurkhoiron, dalam pengantar buku ini, besar kemungkinan pergeseran tersebut berkaitan dengan semangat industrialisasi yang ditopang rasionalitas teknis. Oleh karena itu, penting disimak bagian yang menguraikan semangat para seniman mempertahankan kesenian ini kendati nasibnya tetap marjinal di satu sisi, sedangkan di sisi lain para elite birokrasi lokal “mengeksploitasi” keberadaan kesenian tradisi Ganrang Bulo demi menikmati peluang dan keuntungan ekonomi.
Sementara gairah konsumtif kaum urban dan penetrasi pasar mengkomodifikasi tren mode pakaian sebagai bagian gaya hidup perkotaan yang menegaskan identitas perempuan muslim. Saharni Saharuddin melihat hal ini melalui fenomena jilbabisasi di kalangan perempuan muslim Makassar. Tulisannya “Jilbab dan Perempuan Muslim di Makassar” menjelaskan bagaimana jilbabisasi menjadi fenomena yang tak terelakkan ketika pelaku-pelaku pasar ramai-ramai memperbesar iklan, kampanye dan narasi kebaikan berjilbab sebagai gaya hidup dan konsumsi masyarakat perkotaan (hal.133).
Tiga tulisan lain berfokus pada perjuangan ekonomi-politik kelompok minoritas dan marjinal di Makassar. Pemaparan Aris (“Dinamika Pedagang Kaki Lima di Pelabuhan Soekarno Hatta Makassar”) memperlihatkan pembangunan berbagai sarana dan infrastruktur kota yang semakin efisien dan modern, serta pelayanan berstandar internasional seperti di Pelabuhan Soekarno Hatta, berdampak pada semakin sulitnya para pedagang informal mendapatkan akses dan kesempatan berusaha (hal. 215). Hal ini semakin mengukuhkan gagasan tentang pembangunan kota cenderung didesain dan dibangun sejalan dengan selera dan kepentingan kelas menengah-atas.
Dalam konteks itu pula, pergulatan ‘Tolo’ (jawara/jagoan) Makassar memperlihatkan perjuangan kelompok sosial di perkotaan menghadapi perubahan yang tengah berlangsung. Tulisan Muhammad Idris “Dari Tubarani Bontoala menjadi Tolo Makassar”, memotret sejarah Tubarani Bontoala menjadi Tolo sebagai bentuk adaptasi atas perubahan di aras politik dan ekonomi. Dalam sejarahnya, masyarakat Makassar pernah mengenal figur seorang Tubarani/Tolo sebagai simbol kepahlawanan. Ia menjadi ikon perlawanan rakyat di masa kolonial.
Kini, simbol kepahlawanan itu pupus sudah. Seiring era desentralisasi politik (otonomi daerah), Tolo mengambil peran yang berbeda. Kali ini ia tampil sebagai centeng bagi aktor-aktor politik yang tampil dalam panggung kontestasi kekuasaan seperti Pilkada (hal. 191). Demikianlah, berkiprah dalam persaingan politik membuatnya bisa bertahan dan memenangkan persaingan ekonomi.
Perkembangan kota juga selalu mengandaikan migrasi yang masif. Puluhan ribu orang dari desa atau tempat terpencil lain yang minim fasilitas berbondong-bondong bermigrasi ke kota. Hal ini ditempuh karena bagi mereka seakan tak ada pilihan lain untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan kenyamanan hidup selain pergi ke kota. Namun impian para migran itu banyak yang berakhir tragis. Nasibnya menggenapi cerita mereka yang terhempas di balik kemajuan kota. Itulah yang terjadi pada komunitas orang Mandar di Makassar. Sebagaimana ditulis Arif (“Dari Baruga Menuju Lette”), kemelut sejarah memaksa mereka mengungsi ke Makassar. Tetapi setelah berpuluh-puluh tahun mereka mendapati diri mereka tetap menjadi kelompok marjinal yang tak mempunyai akses terhadap sumber daya ekonomi.
Kehadiran buku ini tentunya memberi sumbangan yang berarti khususnya bagi kajian urban dan perkotaan, atau khasanah ilmu sosial pada umumnya. Berbagai dimensi persoalan yang diungkapnya banyak yang tak tertangkap dalam dokumen-dokumen resmi pemangku kebijakan kota. Dan, sebagaimana dikatakan Nurkhoiron, kontribusi buku ini juga terletak pada kealternatifan sudut pandang untuk belajar menyelami lebih dekat berbagai persoalan perkotaan yang intensitasnya kian masif sebagai tantangan yang harus dihadapi penduduk Indonesia di masa depan.
Rusman Nurjaman, Peminat Studi Perkotaan

BAGIKAN: