9 Pokok Manifesto
- Bencana industri bukan bencana alam
- Persoalan bencana industri seringkali adalah persoalan yang politis
- Sudut pandang ilmu kebumian dan manajemen bencana konvensional tidak cukup menganalisis bencana industri, dibutuhkan perspektif yang lebih luas seperti ekonomi politik dan politik ekologi
- Manajemen bencana industri diawali dari masa inisiasi sebuah usaha yang potensial menimbulkan bencana
- Perspektif “bencana alam” yang tergabung dalam rezim manajemen bencana perlu lebih mengakomodasi bencana industri
- Perlu dibuat instrumen Hak Asasi Manusia (HAM) yang secara jelas dapat mengikat korporasi ke dalam pasal pelanggaran HAM berat
- Analisis Resiko Bencana perlu dimasukkan ke dalam proses pra-pendirian sebuah industri
- Perlu integrasi pengurangan risiko bencana industri ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
- Penyusunan (Rancangan) Undang-Undang tentang Bencana Industri
Sejarah
Manifesto ini disampaikan pertama kali dalam diskusi Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) pada tanggal 9 April 2013 di Jakarta.
Tentang Penulis
Bosman Batubara adalah pegiat Yayasan Desantara, menyelesaikan program S-1 di Jurusan Teknik Geologi UGM dan master di Interuniversity Programme in Water Resources Engineering, KU Leuven dan VU Brussel, Belgia. Dalam rentang waktu 2009-2010 terlibat advokasi korban lumpur Lapindo. Sejauh ini sudah terlibat dalam menulis beberapa buku: 1)Zuber, M. 2010. Titanic Made by Lapindo (diterjemahkan dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris oleh Batubara, B dan Masykur, S). Lafadl Initiatives dan Taiwan Foundation for Democracy. Yogyakarta. Indonesia; 2)Prasetia, H. dan Batubara, B. (editor dan kontributor), 2010. Bencana Industri: Relasi Negara, Perusahaan dan Masyarakat Sipil. Desantara Foundation, Depok; 3) Batubara, B. dan Utomo, P.W., 2012. Kronik Lumpur Lapindo: Skandal Bencana Industri Pengeboran Migas di Sidoarjo, INSIST PRESS, Yogyakarta; dan 4)Batubara, B., (akan segera terbit). Mengusir PT Sorikmas Mining.
Latar Belakang
Manajemen bencana alam adalah salah satu persoalan penting yang dihadapi oleh Indonesia Pasca-Orde Baru dimana dua konteks sosial politik dan ekonomi sedang berlangsung, di satu sisi globalisasi neoliberal secara kontinu mencoba menyambungkan semua unsur ekonomi Indonesia ke pasar global, dan di tingkatan lokal—meskipun masih merupakan bagian dari neoliberalisasi itu sendiri—otonomi daerah memberikan ruang bagi munculnya pemimpin lokal dengan porsi kekuasaan yang lebih besar dibandingkan sebelumnya (Hadiz, 2010; 2). “Friksi” ini mengantarkan Indonesia pada sebuah susunan kebudayaan dan relasi kuasa yang baru (Tsing, 2005; 5).
Pada zaman Orde Baru, negara sangat kuat. Pasca Orde Baru, pasar, yang hadir dalam bentuk korporasi, yang menguat (Batubara, 2009). Menguatnya korporasi sebenarnya bukan hal yang baru, dalam sebuah kasus, korporasi sendiri sudah menjadi patron dalam skema patron-klien (Kunanayagam and Young, 1998). Pada tahun 2009-2011 Badan Pertanahan Nasional (BPN) mencatat bahwa kebijakan pemerintah menyebabkan 14.377 konflik antara petani dan investor. Sementara Komnas HAM menerima pengaduan pelanggaran HAM sebanyak 10.139 kasus pada rentang dua tahun terhitung surut dari Bulan Juni 2012, dimana 1.557 kasus diantaranya adalah konflik agraria dan sumber daya alam (Kompas, 2012). Dan, meskipun bukan sebuah perbandingan yang proporsional, tetapi untuk mendapatkan gambaran konteks Orde Baru, kita bisa melihat data kasus tanah yang ditangani Komnas HAM pada tahun 1994 dengan jumlah 101 kasus dan 168 kasus pada tahun 1995 (Lopa, B., 1996).
Dengan situasi seperti itu, yang dibutuhkan adalah instrumen hukum bukan hanya untuk membangun tensi, tetapi juga meningkatkan daya tawar negosiasi terhadap kekuasaan korporasi yang begitu dominan dalam triad negara-korporasi-masyarakat.
Penjelasan
I
Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (selanjutnya dalam manifesto ini akan disebut sebagai UU 24/2007) Pasal 1 (1) disebutkan bawah “bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.” Pada bagian selanjutnya, dijelaskan tentang bencana alam, bencana non alam dan bencana sosial. Pada Pasal 1 (2) disebutkan bahwa “bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor”. Pada Pasal 1(3) disebutkan bahwa “bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit”. Dan pada Pasal 1(4) selanjutnya berbunyi “bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan terror”.
Lebih lanjut dalam Pasal 40 (3) disebutkan bahwa “setiap kegiatan pembangunan yang mempunyai risiko tinggi yang menimbulkan bencana dilengkapi dengan analisis risiko bencana sebagai bagian dari usaha penanggulangan bencana sesuai dengan kewenangannya”. Dan pada bagian “Penjelasan” untuk Pasal 40 (3) diperjelas bahwa “kegiatan pembangunan yang mempunyai risiko tinggi menimbulkan bencana adalah kegiatan pembangunan yang memungkinkan terjadinya bencana, antara lain pengeboran minyak bumi, pembuatan senjata nuklir, pembuangan limbah, eksplorasi tambang, dan pembabatan hutan”. Sebelumnya pada “Penjelasan” bagian “Umum” disebutkan bahwa “Bencana nonalam antara lain kebakaran hutan/lahan yang disebabkan oleh manusia, kecelakan transportasi, kegagalan konstruksi/teknologi, dampak industri, ledakan nuklir, pencemaran lingkungan dan kegiatan keantariksaan”.
Satu hal yang dapat kita lihat dari kutipan-kutipan terhadap UU24/2007 di atas adalah bahwa “bencana industri” keluar di beberapa poin, seperti: gagal teknologi, (barangkali) gagal modernisasi, dampak industri dan sektor industri lain (pengeboran minyak bumi, pembuatan senjata nuklir, pembuangan limbah, eksplorasi tambang dan pembabatan hutan).
Dari eksplorasi konstitusional di atas, sekarang kita membangun definisi. Kalau bencana alam dapat diartikan secara simpel sebagai “bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam”, maka dengan logika yang sama kita bisa membangun definisi bahwa “bencana industri” adalah “bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh aktivitas industri”. Ini adalah dua bencana yang berbeda.
Dari segi genealogi, bencana alam berakar pada anomali geografi sebuah daerah dikombinasikan dengan kerentanan komunitas, sementara bencana industri berakar pada produksi massal barang barang dan kebutuhan berkombinasi dengan kerentanan komunitas. Terminologi bencana “rutin” dan “kejutan” (Mitchell, 1996) bisa membedakan permasalahan safety setingkat kecelakaan kerja di bidang industri yang dalam keseharian sudah diatasi oleh satu divisi khusus yang di dalam perusahaan biasanya disebut dengan Health, Safety and Environment (HSE) Department. Sementara “kejutan” hadir lewat bencana industri besar seperti kasus pencemaran di Teluk Minamata, ledakan reaktor nuklir di Chernoyl dan Lumpur Lapindo di Porong.
Dari segi “tanggap darurat” instrumen pemerintahan jauh lebih siap menangani bencana alam karena sudah tertanam dalam birkorasi di Indonesia melalui Bakornas dan Satkorlak yang sudah ada sejak tahun 1979 (Lassa, 2011). Sementara untuk kasus bencana industri, kasus Lumpur Lapindo menunjukkan begitu tidak disematkan status “bencana nasional” pemerintah harus membuat badan baru berupa Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang disyahkan melalui Perpres 14/2007.
Dari segi proses penyembuhan, bencana alam memiliki fase recovery yang lebih cepat. Proses recovery gempabumi Bantul-Jogja memakan waktu 3-4 tahun (komunikasi personal dengan salah seorang relawan); sebagai pembanding, kasus Lumpur Lapindo menjelang 7 tahun usianya masih belum menunjukkan gejala akan berhenti, malah diramalkan akan berumur antara 25-32 tahun (Davies et al., 2007, 2008, 2011 dan Mazzini et al., 2007). Dalam kasus lain, bencana Chernobyl bahkan masih terus menebar ancaman setelah hampir 30 tahun.
II
Persoalan bencana industri adalah persoalan yang politis, karena itu perlu dipetakan secara lebih detil dalam sebuah kasus bencana industri siapa mendapatkan apa dan siapa membayar apa; siapa diuntungkan dan siapa yang dirugikan. Melalui studi terhadap beberapa kasus bencana industri yang pernah terjadi di dunia, Batubara (2010) memetakan pola sebuah bencana industri. Ada beberapa pola yang melekat sangat kuat dalam sebuah peristiwa bencana industri: 1)adanya perdebatan tentang penyebab bencana; 2)adanya kolusi atau konflik kepentingan; dan 3)terjadinya politisasi.
Dari ketiga pola di atas, Lumpur Lapindo adalah contoh yang sempurna. Untuk poin pertama, ia diperdebatkan apakah dipicu oleh reaktivasi patahan regional Watukosek akibat adanya gempabumi Yogyakarta pada tanggal 27 Mei 2006, ataukah ia disebabkan oleh “intensi manusia” akibat dipasangnya selubung pemboran (casing) lebih pendek dari yang direncanakan? Untuk poin kedua, kolusi kepentingan dalam kasus Lumpur Lapindo terjadi karena pada saat terjadinya bencana Lumpur Lapindo (29 Mei 2006), Aburizal Bakrie (figure kunci dalam induk perusahaan PT LBI) menjabat sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra). Di satu sisi, sebagai sebagai Menko Kesra adalah tanggungjawabnya untuk menyejahterakan rakyat, tetapi di sisi lain sebagai pebisnis tentu saja ia tidak ingin PT LBI bangkrut. Dan untuk poin ketiga, politisasi kasus ini semakin terlihat bahwa sejak beberapa tahun Lumpur Lapindo terjadi, maka ia gencar mendapatkan perhatian hanya kalau ada momen-momen politik tertentu, bukan karena memang ada niat untuk menyelesaikan kasus ini secara tuntas.
III
Karena genealogi, proses tanggap darurat dan fase penyembuhannya yang berbeda, maka perlu cara pandang yang berbeda terhadap bencana alam dan bencana industri.
Studi terhadap bencana alam bisa dimulai dari disiplin geologi dan geofisika. Sebagai contoh gempa bumi; studi bisa diawali dari pembelajaran terhadap batas-batas lempeng Bumi, pemetaan patahan-patahan baik pada kerak samudra maupun kerak bumi yang memiliki kesejarahan memicu terjadinya gempa bumi; dilanjutkan ke studi mengenai zonasi yang rawan terdampak gempa bumi dan dilanjutkan dengan tindakan apa yang perlu dilakukan kalau ada sebuah momen gempa bumi. Kalau gempa bumi-nya adalah gempa bumi vulkanik, (volcanogenic earthquake) maka domain studinya bisa dipindah dan langsung fokus kepada sebuah gunung api.
Studi terhadap bencana industri dapat memakai sudut pandang ekonomi politik dan politik ekologi. Contoh kasus yang sangat bagus untuk Indonesia adalah Lumpur Lapindo. Dengan demikian, manifesto ini sudah mengambil posisi yang sangat jelas bahwa Lumpur Lapindo adalah bencana industri. Penyebab terjadinya Lumpur Lapindo adalah aktivitas pemboran di sumur BJP-1. Untuk itu, perlu diulas sedikit mengenai permasalahan ini.
Seperti yang sudah saya sampaikan dalam berbagai kesempatan (Batubara, 2009a; Batubara, 2010; Batubara dan Utomo, 2010 dan 2012; dan Batubara, akan segera terbit) bahwa secara umum ada dua kelompok pendapat di kalangan geosaintis tentang penyebab terjadinya Lumpur Lapindo. Kelompok pertama adalah yang berpendapat bahwa Lumpur Lapindo disebabkan oleh aktivitas pemboran di sumur BJP-1. Kelompok kedua adalah yang berpendapat bahwa Lumpur Lapindo dipicu oleh reaktivasi patahan Watukosek akibat adanya gempabumi Yogyakarta 27 Mei 2006 (dua hari sebelum seburan Lumpur Lapindo). Saya berada di kelompok pertama. Perlu saya tegaskan di sini, ada dua argumen kunci yang saya pegang sehingga saya memilih posisi ini. Pertama, saya mengacu ke Manga (2007) yang berdasarkan data gempabumi menyatakan bahwa gempabumi Yogyakarta 27 Mei 2006 terlalu jauh jaraknya dan terlalu kecil magnitude-nya untuk memicu semburan lumpur di daerah Porong. Kedua saya mengacu ke Tingay et al. (2008) yang menampilkan data bahwa selubung pemboran (casing) di sumur BJP-1 dipasang lebih pendek dari yang direncanakan. Menurut saya, inilah jantung dalam perdebatan penyebab Lumpur Lapindo. Dan sampai saat ini, sependek yang dapat saya ikuti, dua fakta kunci ini belum pernah terbantahkan.
Perspektif ekonomi politik dibutuhkan untuk melihat akar permasalahan yang terjadi dalam sebuah kasus bencana industri. Dalam konteks Lumpur Lapindo, analisis ekonomi politik ini sangat berguna karena salah satu akar permasalahan terletak pada rumitnya struktur-struktur kesejarahan, sosial dan kekuasaan yang berkepentingan terhadap kasus Lumpur Lapindo (Schiller et al., 2008) dan juga hubungan kelompok kepentingan yang menguasasi media (Tapsell, 2010 dan Novenanto, 2009).
Perspektif politik ekologi akan menyediakan sebuah pendekatan yang lebih integratif terhadap kondisi sekarang dengan cara melihat pada konjungtur—susunan relasi kuasa pada waktu dan ruang yang spesifik (Li, 2007)—politik, ekonomi, perubahan lingkungan dan marjinalisasi yang menyertainya (Peluso, 1992; Greenberg and Park, 1994; Bryant and Bailey, 2005; and Escobar, 2006).
IV
Manajemen bencana industri diawali dari masa inisiasi sebuah usaha yang potensial menimbulkan bencana dengan cara memberlakukan proses yang deliberatif. Proses yang deliberatif akan memperkaya perspektif sebuah manajemen bencana sekaligus memperkuat legitimasi sebuah model kebencanaan (Paripurno, belum terbit). Secara sistematis riset yang mendalam tentang kasus-kasus bencana industri bisa menjadi pintu masuk yang bagus, sehingga dengan itu bisa dirumuskan respon untuk menghadapinya. Masalahnya yang mungkin bisa muncul adalah bahwa sangat sedikit kasus bencana industri yang memiliki kesamaan sehingga sulit untuk melakukan abstraksi dan teoritisasi (Mitchell, 1996). Dengan demikian, proses penemuan-penemuan hal baru dalam riset mungkin akan berjalan lebih pelan jika dibandingkan misalnya dengan bencana alam dalam kasus Indonesia. Baru, pasca riset yang sistematik dan mendalam, kita kemudian bisa masuk ke dalam kemungkinan-kemungkinan yang masuk akal dalam melakukan strategi adaptasi.
Di tingkatan masyarakat korban bencana industri, solidaritas dan organisasi akar rumput sangat dibutuhkan untuk mendesakkan kepentingan kelas dan politik korban lebih terakomodasi dalam proses pembuatan kebijakan. Proses penyusunan kebijakan publik yang menyangkut bencana industri perlu melibatkan kalangan sains dan masyarakat untuk mengeliminasi gap antara komunitas pembuat kebijakan publik, komunitas sains dan masyarakat.
V
Perspektif “bencana alam” yang tergabung dalam rezim manajemen bencana perlu diperiksa ulang dan ditawarkan solusi agar juga mengakomodasi permasalahan-permasalahan bencana industri. Sekaligus, Perlu diseminasi wacana bencana industri yang lebih masif seperti halnya diseminasi wacana bencana alam.
Menurut Lassa (2011) fase kebijakan dan regulasi manajemen risiko bencana di Indonesia dapat ditelusuri jauh akar-akarnya sampai ke era kolonial. Dari hasil studi historis tersebut diketahui bahwa sebanarnya pada era kolonial (1930-an-1945) terdapat semangat manajemen “man-made disaster” yang sangat kuat. Pada tahun 1939 Regeling od de Staat van Oorlog en Beleg (SOB 1939) membedakan dua kondisi, yang pertama adalah kondisi perang (yang memang sedang) berjalan, dan yang kedua adalah situasi luar biasa dalam kondisi darurat perang. Untuk poin kedua ini terutama dipicu oleh serangan dari kekuatan luar pada masa awal Perang Dunia I. Logika ini terus tertanan dalam sistem hukum Indonesia bahkan sampai pada tahun 1960. Pada antara tahun 1945-60 manajemen bencana alam mulai muncul yang antara lain dapat terlihat dalam UU 6/1946. Dan meskipun pada fase selanjutnya, bahkan setelah diterbitkannya UU 24/2007 yang juga menyinggung permasalahan bencana industri seperti yang dilakukan di atas, tetapi pada kenyataannya di lapangan, keberadaan UU 24/2007 ini belum bisa menjawab permasalahan-permasalahan dalam kasus bencana industri. Contoh yang paling riil adalah kasus Lumpur Lapindo, dimana terlihat rangkaian Perpres yang terbit untuk menyikapinya (Perpres 14/2007, 48/2008, 40/2009 dan belakangan diteruskan oleh Perpres 68/2011, 37/2012) pada kenyataannya adalah produk hukum yang tambal sulam (Batubara dan Utomo, 2012).
VI
Perlu dibuat instrumen HAM yang secara jelas dapat mengikat korporasi ke dalam pasal pelanggaran HAM berat. Kasus Lumpur Lapindo memberikan banyak hal untuk dipelajari terutama pasca keputusan Komnas HAM tahun 2012 yang menyatakan bahwa Lumpur Lapindo bukan pelanggaran HAM berat (Nugroho, A. S., 2012). Alasan Komnas HAM ketika itu adalah bahwa mereka memasukkan kasus Lumpur Lapindo ke dalam kategori pemusnahan lingkungan atau ekosida dan menilai bahwa kejahatan ini termasuk ke dalam kejahatan berat dan berdampak sangat luas bagi kehidupan manusia, tetapi mereka tidak bisa menggunakan argumen pelanggaran HAM berat karena menurut Undang-undang Nomer 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM hanya ada dua kategori yang masuk pelanggaran HAM berat yaitu kejahatan kemanusiaan dan genosida. Karena itu, kasus Lumpur Lapindo tidak bisa diperlakukan sebagai pelanggaran HAM berat meskipun ada sebanyak 15 poin pelanggaran HAM dalam kasus ini (Desiyani, A, 2012). Meskipun sebenarnya kalau ditelisik lebih jauh, kasus Lumpur Lapindo bisa dikategorikan sebagai “pelanggaran HAM berat” oleh korporasi dengan membidik kasus ini sebagai kejahatan kemanusiaan (Batubara, 2013) dan bahkan juga dapat dilihat sebagai genosida yang dilakukan oleh institusi, dalam hal ini karena negara melakukan pembiaran terhadap proses yang sedang berlangsung di lapangan (Gustomy, 2012).
VII
Kita mulai dengan pertanyaan: apakah benar sebuah bencana industri berawal dari kegagalan teknologi? Atau justru sebaliknya: sebuah bencana industri bisa jadi terjadi karena keberhasilan teknologi? Atau dengan kata lain dampak dari teknologilah yang menjadi bencana. Tiga kasus berikut akan menjelaskan permasalahan ini dan poin ini akan dikunci dengan satu tawaran solid.
Kasus pertama datang dari sektor hidrologi berupa pembangunan bendungan di sungai yang menuju ke Laut Aral yang terletak di Kazakhstan dan Uzbekistan. Pada awalnya Laut Aral adalah danau terbesar keempat di dunia dengan luas mencapai 68.000 km persegi. Akan tetap sejak pembangunan bendungan untuk kepentingan pertanian di Sungai yang bermuara ke Laut Aral (Amudarya dan Syrdarya) pada tahun 1960-an oleh pemerintah Uni Soviet, luasan Laut Aral terus menyusut. Publikasi United Nations Environment Programme (UNEP, 2008) menyatakan bahwa sejak dibangunnya bendungan-bendungan tersebut telah terjadi penyusutan pada luas Laut Aral menjadi tinggal 50% dari semula, kehilangan dua pertiga dari total volume air (ditandai dengan penurunan permukaan air sebesar 17 meter) dan terjadinya peningkatan konsentrasi garam (salinitas) yang berarti.
Glantz (2004) menyebutkan bahwa faktor-faktor ekonomi dan politik berkontribusi sangat besar dalam terjadinya bencana ekologi di Laut Aral. Di bidang politik, dominasi otoritas Moskow menyebabkan terjadinya sentralisasi pengambilan kebijakan tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi kondisi lokal. Hal ini misalnya, tercermin dari ketergantungan yang berlebihan dan ekspansi yang sangat cepat terhadap dan dalam bidang pertanian yang membutuhkan irigasi. Kondisi ini diperparah iklim demokrasi yang dikekang sehingga pers yang “dikontrol” tidak bisa menyampaikan secara bagus persoalan-persoalan yang terjadi di Laut Aral pada waktu itu. Dan penilaian yang tidak mencukupi dari sudut pandang ekologi sebelum proyek bendungan di sungai-sungai yang mengalir menuju Laut Aral dilaksanakan juga turut memperparah kondisi ini.
Waktu kemudian membuktikan bahwa kasus di Laut Aral menjadi salah satu bencana ekologi dan sosio-ekonomi yang paling hebat di dunia. Sejak kebijakan pembangunan bendungan itu dilaksanakan, hingga pada tahun 2000-an telah terjadi perubahan-perubahan yang sangat radikal di seputaran Laut Aral. Kualitas air terus menurun baik karena penggunaan pupuk pada lahan-lahan pertanian yang diirigasi, maupun karena menyusutnya volume air di Laut Aral. Zat kimia dari pupuk-pupuk itu terus mengalir ke dalam tanah dan kemudian berakhir di sungai-sungai atau masuk ke dalam sistem air tanah. Kadar garam yang tinggi menyebabkan para petani harus terus-menerus menyirami tanahnya dengan lebih banyak air untuk melarutkan garam agar tanah-tanah pertanian mereka kembali bisa ditanami. Pendeknya, semakin banyak biaya yang diperlukan untuk proses pertanian, sementara penghasilan dari sektor ini cenderung stabil atau bahkan menurun.
Di bidang ekosistem delta, delta Amudarya dan Syrdarya yang semula sangat produktif, secara perlahan berubah menjadi lahan mati. Salah satu dari konsekuensi menyusutnya areal Laut Aral adalah berkurangnya tumbuhan penutup di daerah delta, hancurnya habitat alamiah dan menghilangnya burung-burung yang biasanya menjadikan delta-delta sebagai tempat persinggahan, dan yang paling parah, seperti yang disebutkan di atas adalah soil yang menjadi tak produktif karena kandungan garam yang tinggi.
Yang lebih nyata bagi kehidupan nelayan di Aral Sea adalah produksi ikan yang terus berkurang. Data tahun 1960 sampai tahun 1990 menunjukkan bahwa terjadi penurunan produksi ikan secara terus-menerus. Dimulai pada angka 43.430 metrik ton ikan pada tahun 1960 hingga sampai pada angka 0 pada tahun 1990.
Bumerang ini tidak berhenti sampai di situ karena data (Glantz, 2004) lebih jauh menunjukkan bahwa berbagai penyakit kemudian meningkat seperti, angka kematian ibu dan anak, tingkat penderita kanker kerongkongan (secara teoretis hal ini dapat dihubungkan langsung dengan kualitas air minum yang menurun), tipus, kontaminasi air susu ibu, hingga semuanya terakumulasi dalam angka tingkat harapan hidup di sekitar Laut Aral yang lebih rendah sekitar 20 tahun dari angka umum di kawasan Commonwealth of Independet State (CIS: negara-negara bekas Uni Soviet).
Kasus kedua, kali ini kita ke Danau Victoria di Afrika. Keterangan mengenai Danau Victoria ini disarikan dari disertasi Goudswaard (2006). Danau Victoria, yang wilayahnya dimiliki oleh tiga negara: Uganda, Kenya dan Tanzania, adalah danau terbesar di Dunia yang terletak di kawasan tropis. Luasnya mencapai 69.000 km persegi, atau setara dengan hampir sepertujuh kali Pulau Sumatra. Maksimum kedalaman di Danau ini mencapai 80 m pada bagian tengah dengan rata-rata kedalaman sekitar 40 m. Kalau dilihat dari volumenya, maka Danau Victoria terletak di peringkat ketujuh Dunia. Danau Victoria terletak di hulu Sungai Nil, dan dari Danau ini air mengalir menuju Sungai Nil.
N’yanza, yang berarti danau, adalah nama lokal yang diberikan oleh orang-orang Suku Wasukuma yang berdiam di sepanjang pantai Danau Victoria. Hingga pada tahun 1857, seorang penjelajah berkebangsaan Inggris, John Hanning Speke sampai di Muansa, dekat dengan Mwanza (Tanzania) yang sekarang. Sebagai penghormatan kepada Ratu-nya, Speke member nama N’yanza Victoria pada Danau ini.
Berdasarkan temuan para peneliti, maka disimpulkan bahwa Danau Victoria merupakan danau yang terbentuk karena adanya aktivitas tektonik di kawasan ini berupa pengangkatan dan perekahan kerak Bumi. Kalau dipertajam, hal ini cukup masuk akal karena Danau ini terletak pada rekahan tengah benua yang terletak di Afrika. Pada sepanjang lurusan berarah Barat Laut-Tenggara ini terdapat beberapa Danau yang lain seperti Danau Tanganyika di perbatasan Tanzania dan Republik Kongo serta Danau Malawi di perbatasan Malawi dan Mozambik. Dari ketiga danau besar yang ada di kelurusan ini, Danau Victoria adalah Danau dengan rata-rata kedalaman paling dangkal. Bandingkan misalnya dengan Danau Tanganyika yang memiliki titik paling dalam senilai 1.470 m dengan rata-rata kedalaman senilai 570 m. Atau Danau Malawi dengan maksimum kedalaman senilai 706 m dengan rata-rata kedalaman senilai 292 m.
Revolusi yang terjadi di Danau Victoria adalah sebuah revolusi ekologi karena diintrodusirnya predator berukuran raksasa Nile Perch (Lates niloticus). Nile Perch dewasa bisa mencapai ukuran panjang 2 m dengan berat sekitar 200 kg. Tujuan utama pengintrodusiran Nile Perch ke Danau Victoria yang terjadi pada sekitar pertengahan tahun 1950 tentu saja untuk meningkatkan produksi perikanan. Karena ukurannya yang besar dan dagingnya yang enak, tentu saja pada waktu itu orang memperkirakan akan meningkatkan pemasukan ekonomi bagi nelayan di Danau Victoria.
Sebelum diintrodusirnya Nile Perch, ikan-ikan di Danau Victoria adalah ikan-ikan kecil (chiclids). Dalam catatan para ekolog, ada sekitar 600 spesies chiclid di Danau Victoria, hal ini membuatnya menjadi salah satu Danau dengan tingkat keanekaragaman hayati terbesar di Dunia. Salah satu spesies chiclid, Haplochromine hadir dalam kenaekaragaman yang sangat melimpah di Danau Victoria. Jenis Haplochromine ini hadir dalam berbagai bentuk rantai makanan yang ada di danau, mulai dari pemakan phytoplankton, pemakan alga, pemakan serangga, pemakan zooplankton, pemakan ikan chiclid yang lain, hingga pemakan telur ikan yang dicuri dari mulut sang induk.
Dalam rantai makanan di Danau Victoria, Nile Perch menempati posisi sebagai fishcivorous fish (ikan pemangsa ikan). Ikan yang dimangsa oleh Nile Perch adalah chiclids yang memakan alga. Karena predatornya dimakan oleh Nile Perch, maka dengan sangat cepat kemudian terjadi ledakan pertumbuhan pada alga, termasuk alga biru (Cyanobacteria). Sepintas lalu ini adalah sebuah anugerah, karena telah terjadi peningkatan produktivitas di Danau Victoria. Akan tetapi, kenyataan yang terjadi kemudian adalah sebaliknya.
Pertumbuhan Cyanobacteria yang masif membutuhkan oksigen yang banyak. Alga ini mengonsumsi habis semua oksigen dalam perairan Danau, dan menyebabkan ikan-ikan mati karena kekurangan oksigen (hypoxia). Drama selanjutnya adalah, salah satu genus dari Cyanobacteria, Mycrocystis, mengandung microcystin yang beracun baik bagi ikan maupun bagi manusia. Pada manusia dia dapat menyebakan penyakit berupa menurunnya fungsi hati, atau bahkan berujung pada kematian. Sekarang ini permukaan Danau Victoria sudah dipenuhi oleh Cyanobacteria sehingga airnya sudah sangat berbahaya untuk diminum.
Kasus ketiga, kita ke dalam negeri di Sungai Mahakam, persisnya di lingkungan Wetland yang terletak di tengah-tengah Sungai Mahakam, Kalimantan Timur, dalam berbagai teks, daerah ini sering disebut dengan Middle Mahakam Wetland (MMW).
Nooteboom and de Jong (2010) menjelaskan permasalahan kontemporer yang sedang terjadi di MMW adalah adanya degradasi lingkungan dalam berbagai bentuk, misalnya: 1)menurunnya produksi ikan kecuali spesies alien ikan toman yang diintrodusir ke MMW bersamaan dengan program budidaya ikan. Para nelayan menyebutkan bahwa mereka menemukan ikan toman di MMW kira-kira sejak tahun 1990-an. Perlu diketahui ikan toman adalah spesies yang berkembang di Sungai Barito di Kalimantan Selatan; 2)degradasi lingkungan yang terjadi karena dibukanya tambang batubara terbuka (open pit) di sebelah hulu MMW. Pembukaan tambang berkontribusi terjadinya erosi soil yang dalam jangka waktu menyebabkan peningkatan turbiditas (kekeruhan) di MMW dan merubah derajat keasaman air danau; dan 3) pembukaan perkebunan-perkebunan sawit yang tentu saja menggunakan pupuk dan zat kimia anti hama yang pada akhirnya juga akan berakhir di MMW dan Sungai Mahakam, sebagai tempat sampah dari semua aktivitas yang terjadi di sekitarnya.
Dari ketiga kasus yang disampaikan di atas, terlihat bahwa manajemen lingkungan yang tidak baik karena tuntutan peningkatan insentif ekonomi telah menyebabkan terjadinya bencana yang merayap dan bersifat jangka panjang. Untuk mengantisipasi kasus-kasus seperti ini, maka salah satu cara yang paling mungkin dilakukan adalah dengan memasukkan poin Pengurangan Risiko Bencana (PRB) ke dalam sistem AMDAL.
VIII
Dalam studi 3 kasus bencana dan potensi bencana yang berhubungan dengan industri di Pulau Jawa, Batubara dkk. (2010) menemukan hubungan diantara ketiganya dengan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Dalam kasus Lumpur Lapindo, pelanggaran terhadap RTRW menyebabkan terjadinya bencana Lumpur Lapindo. Posisi sumur BJP-1 tidak sesuai dengan RTRW Kabupaten Sidoarjo (Perda Nomor 16 Tahun 2003, yang waktu itu belum diubah). RTRW Sidoarjo termaksud menyatakan bahwa lokasi sumur BJP-1 tersebut adalah untuk kegiatan industri non-kawasan, bukan untuk pertambangan (seperti juga terdapat dalam Subagyo, 2010). Dalam kasus rentetan kebocoran gas dari sumur minyak di Bojonergoro, kawasan hunian digunakan untuk eksplorasi minyak. Sementara dalam kasus ketiga, revisi RTRW Kabupaten Pati membuka jalan bagi masuknya industri semen ke Pegunungan Kendeng Utara, dan dengan demikian memperbesar terjadinya peluang terjadinya bencana industri. Jadi, sebenarnya RTRW adalah salah satu instrumen yang sangat potensial untuk mencegah terjadinya sebuah bencana industri.
Hal ini misalnya dapat dilakukan dengan menempuh beberapa prakarsa yang meliputi misalnya (Batubara dkk., 2010): 1)penelitian dan riset yang lebih mendalam terhadap persoalan-persoalan bencana industri dan mengangkatnya agar menjadi perbincangan publik; 2)penyusunan RTRW dan AMDAL hendaknya dilakukan dengan cara deliberatif dan partisipatif agar pengetahuan tentang risiko bencana industri yang ada dalam masyarakat dapat dimasukkan ke dalam kedua dokumen ini; 3)peningkatan kapasitas pegawai pemerintah daerah agar dokumen AMDAL dan RTRW benar-benar diperhatikan; 4)menghubungkan kerangka legal antara perencanaan regional, perlindungan terhadap lingkungan dan perngurangan risiko bencana; dan 5)menyelaraskan peraturan pemerintah yang saling bertentangan.
IX
Undang-undang Penanggulangan Bencana No 24/2007 masih memberikan porsi terlalu berat bagi bencana alam dan memberikan porsi terlalu sedikit bagi bencana industri. Karena perbedaan seperti yang sudah dijelaskan di atas (genealogi, momen dan proses penyembuhan) dari kedua jenis bencana ini sangat berbeda, maka sudah seharusnya pulalah undang-undang penangggulangan bencana alam dan bencana yang sifatnya industrial dipisahkan.
Ini sebenarnya bukan tanpa preseden. Uni Eropa (UE) memiliki pengalaman. Dalam hal ini bukan berarti sistem perundang-undangan UE bisa dicontoh bergitu saja, melainkan perlu juga dilakukan pemetaan permasalahan dan kebutuhan yang ada di Indonesia untuk menghasilkan sebuah undang-undang di bidang bencana industri yang lebih memiliki warna Indonesia. Dalam kasus UE, Seveso Directive (SD) adalah contoh yang bagus.
Nama Seveso diambil dari nama sebuah kota kecil di Italia yang terletak di sebelah utara Milan. Pada tanggal 10 Juli 1976, sebuah ledakan reaktor kimia terjadi di Meda, sebuah kota kecil yang lain. Ledakan telah menyebabkan udara dekat permukaan tanah pada area sepanjang enam kilometer dan lebar satu kilometer penuh dengan TCDD (2,3,7,8-tetrachlorodibenzo-p-dioxin), salah satu paling berbahaya yang pernah diciptakan manusia. Bencana ini kemudian menyebabkan jatuhnya korban di 6 kota kecil di sekitar Milan (De Marchi et al., 1996).
Nama Seveso kemudian diadopsi menjadi “Seveso Directive” oleh UE, dimana di bagian awal SD secara jelas mendefiniskan hal-hal seperti aktivitas industri, kecelakaan besar dan zat bebahaya serta lebih lanjut dalam bagian “annexes” mengidentifikasi tipe-tipe produksi, operasi dan aktivitas penyimpanan yang kepadanya SD diberlakukan (European Union, 2012).
Daftar Acuan:
Batubara, B. “Perdebatan tentang Penyebab Lumpur Lapindo”, dalam A. Novenanto, (akan terbit). Membingkai Lapindo: Pendekatan Konstruksi Sosial atas Kasus Lapindo (Sebuah Bunga Rampai).
Batubara, B. dan Utomo, P. W., “Praktik Bisnis di Banjir Lumpur,” dalam: H. Prasetia dan B. Batubara, (editor), 2010. Bencana Industri: Relasi Negara, Perusahaan dan Masyarakat. Lafadl Initiative, Yayasan Desantara dan Indonesia Sustainable Energy and Environment, Depok, halaman: 31-84.
Batubara, B. dan Utomo, P.W., 2012. Kronik Lumpur Lapindo: Skandal Bencana Industri Pengeboran Migas di Sidoarjo. INSIST PRESS, Yogyakarta.
Batubara, B., “Defisit Pengetahuan Global Menghadapi Man-Made Disaster dan Implikasinya bagi Warga di Negara Berkembang,”dalam: H. Prasetia dan B. Batubara, (editor), 2010. Bencana Industri: Relasi Negara, Perusahaan dan Masyarakat. Lafadl Initiative, Yayasan Desantara dan Indonesia Sustainable Energy and Environment, Depok, halaman: 1-31.
Batubara, B., 2009. Jawaban bagi Tantangan. Jurnal Disastrum 1(1), 5-11
Batubara, B., 2009a. Perdebatan tentang Penyebab Lumpur Sidoarjo. Jurnal Disastrum, 1(1), 13-25.
Batubara, B., 2010. When the law betrays, literature must speak. Inside Indonesia Magazine, (105) Jul-Sep 2011. This article can be accessed at: http://www.insideindonesia.org/weekly-articles-105-jul-sep-2011/review-the-lapindo-titanic-17122009.
Batubara, B., 2013. Pelanggaran HAM Berat Kasus Lumpur Lapindo. Tulisan ini dimuat di: http://indoprogress.com/pelanggaran-ham-berat-kasus-lumpur-lapindo/ pada tanggal 29 Maret 2013; terakhir diakses pada tanggal 4 April 2013.
Batubara, B., Utomo, P.W. dan Sobirin, M. 2010. Integrasi Pengurangan Resiko Bencana ke dalam Perencanaan Regional dalam Konteks Otonomi Daerah: Sebuah Agenda dari Pembelajaran terhadap Kasus-kasus Man-Made Disaster di Pulau Jawa. Makalah ini dipresentasikan pada “Seminar Internasional ke- 11: Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Ada Apa dengan 10 Tahun Otonomi Daerah? Salatiga, Indonesia”.
Bryant, R.L. and Bailey, S., 2005. Third world political ecology. Routledge, London, UK.
Davies, J.R., Swarbrick, R.E., Evans, J.E. and Mads, H., 2007. Birth of a mud volcano: East Java, 29 May 2006. GSA TODAY. v: 17, 4—9. Doi: 10. 1130/GSAT017202A.1.
Davies, R., Mathias, S. A., Swarbrick, R. E. and Tingay, M. J., 2011. Probabilistic longetivity estimate for the LUSI mud volcano, East Java. Journal of the Geological Society, London. Vol. 168, 517-23. Doi: 1144/0016-7642010-129.
Davies, R.J., Brumm, M., Manga, M., Rubiandini, R., Swabrick, R. and Tingay, M., 2008. The East Java mud volcano (2006 to present): An earthquake or drilling trigger? Earth and Planetary Science Letters, v. 272, 627—38. Doi: 10.1016/j.epsl.2008.05.029.
De Marchi, B., Funtowicz, S. and Ravetz, J., “Seveso: A Paradoxical classic disaster” in J.K. Mitchell (editor), 1996. The Long Road to Recovery: Community responses to industrial disaster. United Nations University Press. Versi online buku ini dapat dibaca di: http://unu.edu, terakhir diakses pada 28 Februari 2013.
Desiyani, A., 2012. Komnas HAM: Lumpur Lapindo Memusnahkan Lingkungan. tempo.co, 15 Agustus 2012, 22.49 WIB. Dapat diakses di: http://www.tempo.co/read/news/2012/08/14/173423593/Komnas-HAM–Lumpur-Lapindo-Musnahkan-Lingkungan; diakses pada tanggal 21 Februari 2013.
Escobar, A., 2006. Difference and conflict in the struggle over natural resources: A political ecology framework. Development, 49 (3), 6-13. Doi:10.1057/palgrave.development.1100267
European Union, 2012. Directive 2012/18EU of the European Parliament and of the Council of 4 July 2012 on the control of major-accident hazard involving dangerous substances, amending and subsequently repealing Council Directive 96/82/EC.
Glants, M. H., “Sustainable development and creeping environmental problems in the Aral Sea Region,” dalam Michael, H.G. (editor), 2004. Creeping Environmental Problems and Sustainable Development in the Aral Sea Basin. Cambridge University Press, Cabridge, UK, p.1-26.
Goudswaard, P.C., 2006. Causes and effects of the Lake Victoria ecological revolution. PhD dissertation, Leiden University, dapat diunduh di: https://openaccess.leidenuniv.nl/handle/1887/4545; terakhir diakses awal November 2012.
Greenberg, J.B. and Park, T.K., 1994. Political ecology. Journal of Political Ecology, 1, 1-12
Gustomy, R., “Menjinakkan Negara, Menundukkan Masyarakat: Menelusuri jejak strategi kuasa PT. Lapindo Brantas Inc. dalam kasus Lumpur Panas di Sidoarjo,” dalam Heru. P., 2012. Bencana Industri: Kekalahan negara dan masyarakat sipil dalam penanganan Lumpur Lapindo. Desantara, Depok, halaman 31-98.
Hadiz, V. R., 2010. Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia Perspective. Stanford University Press, Stanford, California, USA, 2.
Kompas, 2012. Memaknai Pembangunan: Dirampok Keserakahan dan Kerakusan. Kompas, 12 Juni 2012, halaman 6.
Kunanayagam, R. and Young, K., “Mining, environmental impact and dependent communities: the view from below in East Kalimantan,”dalam: C. Warren and P. Hirsch, 1998. The Politics of Environment in Southeast Asia. Routledge, New York, halaman 139-58.
Lassa, J., A. 2011. Institutional Vulnerability and Governance of Disaster Risk Reduction: Macro, Meso and Micro Scale Assessment (With case studies from Indonesia) (disertasi). Rheinischen Friedrich-Wilhelms-Universität.
Li, T. M., 2007. Governmentality. Anthropologica, 49 (2), 275-81.
Lopa, B., 1996. Dilema Masalah Tanah. Kompas, 21 Agustus 1996, halaman 4.
Manga, M., 2007. Did an Earthquake Trigger the May 2006 Eruption of the Lusi Mud Volcano? EOS Vol 88, No. 18, p. 201. Doi: 10.1029/2007EO180009.
Mazzini, A., Svensen, H., Planke, S. and Malthe-S?renssen, A., 2007. Triggering and dynamic evolution of the LUSI mud volcano, Indonesia. Earth and Planetary Science Letters, v. 261, 375—88. Doi: doi:10.1016/j.epsl.2007.07.001.
Mitchell, J.K., “Improving community responses to industrial disaster”, dalam J.K. Mitchell (editor), 1996. The Long Road to Recovery: Community responses to industrial disaster. United Nations University Press. Versi online buku ini dapat dibaca di: http://unu.edu, terakhir diakses pada 28 Februari 2013.
Nooteboom, G. and de Jong, E. B. P., 2010. Against ‘Green Development Fantasises’: Resources Degradation and the Lack of Community Resistance in the Middle Mahakam Wetlands, East Kalimantan, Indonesia. Asian Journal of Social Science, 38, 258-278. Doi: 10.1163/156853110X490935
Novenanto, A., 2009. “The Lapindo Case” by Mainstream Media. Indonesian Journal of Social Sciences, 1(3) July-September 2009.
Nugroho, A.S., 2012. Komnas HAM Putuskan Lumpur Lapindo Bukan Pelanggaran HAM Berat. Jurnas.com, 09 Agustus 2012 17:27 WIB. Dapat diakses di: http://www.jurnas.com/news/68499/Komnas_HAM_Putuskan_Lumpur_Lapindo_Bukan_Pelanggaran_HAM_Berat/1/Nasional/Hukum. Diakses terakhir kali pada tanggal 21 Februari 2013.
Paripurno, E.T. (belum diterbitkan). Mereduksi Risiko Bencana Dan Konflik dalam Pengelolaan Lingkungan Dan Sumberdaya Alam (makalah seminar).
Peluso, N.L., 1992. The political ecology of extraction and extractive reserves in East Kalimantan, Indonesia. Development and Change, 23, (4), 49-74.
Perpres 14/2007
Perpres 37/2012
Perpres 40/2009
Perpres 48/2008
Perpres 68/2011
Schiller, J., Luckas, A., and Sulistiyanto, P., 2008. Learning form the East Java mudflow: disaster politics in Indonesia. INDONESIA, v. 85, p. 51—77
Subagyo, 2010. Lumpur Lapindo dan Hukum Usang. Kompas, 31 Mei 2010, halaman 6.
Tapsell, R., 2010. Stopping the flow. Inside Indonesia. July-Sept Edition. Dapat diunduh pada beranda warta: http://www.insideindonesia.org/stories/stopping-the-flow-10071332, diakses pada akhir tahun 2010.
Tingay, M., Heidbach, O., Davies, R. and Swarbrick, R., 2008. Triggering of the Lusi Mud Eruption: Earthquake vs. Drilling Initiation. Geology, 36, p. 639-642.
Tsing, A.L., 2005. Friction: an ethnography of global connection. Princenton University Press, Princenton, U.K., 5.
Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
UNEP, 2008. The disappearance of the Aral Sea. Artikel ini dimuat di: http://www.unep.org/dewa/vitalwater/article115.html; terakhir diakses pada tanggal 7 April 2013.