Adat, Hukum dan Dinamika Subjek Dalam Debat Kumpul Kebo di Mentawai

Pendahuluan

Diskusi publik tentang ‘kumpul kebo’[1] mencuat kembali setelah pakar hukum pidana, Andi Hamzah, menyatakan kepada media bahwa tiga daerah di Indonesia (Minahasa, Bali dan Kepulauan Mentawai) memberi toleransi hubungan suami-istri di luar nikah (Kompas 2013a, Tempo 2013a, The Globe Journal 2013, Tribunnews 2013). Pernyataan Hamzah mendapat sanggahan keras, juga melalui media, dari orang Mentawai. OrangMentawai di sini tepatnya tokoh adat atau politik Mentawai, yang diwakili oleh ketua Aliansi Masyarakat Adat Peduli Mentawai (AMA-PM) (Okezone 2013), ketua DPRD dan Bupati Kepulauan Mentawai (Tempo 2013a). Mereka memprotes kata-kata Hamzah dan menyatakan secara tegas bahwa ‘tidak ada kebiasaan kumpul kebo di Mentawai’.

Kontroversi di sekitar wacana kumpul kebo bukanlah hal baru. Sejak rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mulai dibahas Komisi III DPR tahun 2003, pasal tentang kumpul kebo menyulut perdebatan sengit. Secara ringkas, perdebatan bergerak di antara tegangan antara wacana moralitas sebagai warga negara dan beragama dan ikatan antara keduanya (Marky 2013, Arwani 2008, Zulkarnain 2013), hukum adat dan sanksi sosial (Bushar 2000) dan hak warga negara dalam urusan pribadi (Katjasungkana 2010).  Beragam pendapat mengenai kumpul kebo pada akhirnya mengerucut pada dukungan dan penolakan terhadap rancangan KUHP, terutama dalam hal penjatuhan hukuman pidana bagi pelakunya.  Debat endemik tentang kumpul kebo menandai adanya ketegangan yang terus menerus mengarus di dalam aturan legal dan tatanan norma yang mengatur perilaku dan hubungan sosial di Indonesia, yang disebabkan adanya ruang yang saling beririsan dan tumpang tindih di antara tiga sumber aturan dan norma, yakni adat-istiadat, hukum sipil/nasional, dan hukum agama (Benda Beckmann & Benda Beckmann 2007:419).

Tulisan ini tidak bermaksud menambah daftar panjang diskusi kumpul kebo. Tulisan ini lebih tertarik mendiskusikan pernyataan Hamzah dan reaksinya dari Mentawai sebagai pelatuk untuk mendeskripsikan kekeliruan stereotip tentang kumpul kebo di Mentawai, dan tidak memadainya penggunaan istilah tersebut untuk membingkai hubungan sosial laki-perempuan di Mentawai.  Ini dilakukan dengan cara membahas letak ketidaktepatan definisi dan istilah kumpul kebo.  Ketidaktepatan tersebut dittunjukkan dengan cara mengajukan artikulasi dan definisi aturan ‘adat’  atau ‘tradisi’ perkawinan, tetapi justru melihat dinamika dan kompleksitasnya. Di sisi lain, tulisan ini juga berargumen bahwa pengecam Hamzah dari Mentawai juga kurang bisa menunjukkan lokasi kekeliruan statemen adanya toleransi kumpul kebo di Mentawai. Saya tidak menemukan penjelasan kenapa dan bagaimana aturan perkawinan di Mentawai tidak masuk dalam kategori kumpul kebo, sementara secara empirik sebagian orang Mentawai belum menikah secara resmi. Resmi di sini mengandung pengertian seperti yang tertera dalam rancangan KUHP. Lebih dari itu, saya memendam pertanyaan kenapa tokoh adat dan politik Mentawai lebih fokus menyerang balik Hamzah dari pada menjelaskan ketidaktepatan argumentasi tentang definisi dan istilah kumpul kebo bagi orang Mentawai, dan justru sepakat secara bulat pasal-pasal rancangan KUHP yang nyata-nyata bisa digunakan untuk memidanakan orang Mentawai? Dan kenapa tokoh-tokoh tersebut menekankan pentingnya kata adat?

Di bagian pertama saya akan menulis etnografi ringkas tentang dua jenis perkawinan di Mentawai, dan relasi sosial yang terbentuk dan membentuk keduanya. Setelahnya, tulisan berlanjut dengan pemaparan dinamika ‘adat’ perkawinan di Mentawai secara historis, terutama ketika orang Mentawai terhubungkan dengan negara dan aturan hukum formal. Saya menekankan aspek dinamika adat perkawinan untuk menghindari bahaya penggunaan kata adat yang bercorak esensialis, esoteris dan statis (Tsing 1998, Li 2007), yang dapat digunakan untuk mengukuhkan hak budaya dan sekaligus sebagai senjata politik yang kuat dan tajam untuk menghukum hak individu atau pendapat yang berbeda (Davidson 2007). Secara khusus, saya letakkan argumen tentang transformasi adat ini agar tidak mengulang kasus sosiolog Thamrin Tomagola yang disidang secara adat oleh Majelis Adat Dayak setelah berkomentar tentang hubungan layaknya suami-istri tanpa menikah pada masyarakat dayak (Tempo 2011, Kompas 2011, Republika 2011). Di bagian akhir, saya menggunakan kasus kumpul kebo ini untuk mendiskusikan kembali hubungan struktur normatif dan aturan legal yang membentuk ‘subjek’ bernama warga Indonesia, yang dicirikan oleh ketegangan tanpa henti antara aturan adat, negara, dan agama.

Rusuk, Lalep dan Periode Antara

Struktur sosial orang Mentawai di Siberut mewarisi ciri-ciri kebudayaan neolitik, yang dicirikan oleh otonomi politik yang kuat dan relasi sosial yang egaliter. Oang Mentawai mengelompok ke dalam keluarga besar (extended family), atau dalam kosakata antropologinya dikenal sebagai klan, yang disebut sebagai uma atau suku dalam kehidupan sehari-hari (Schefold 1991, 1973, Loeb 1922, 1972, Reeves 2004). Setiap uma terdiri dari sekitar 30-80 individu yang hidup secara egaliter. Egaliter di sini dimaksudkan sebagai tidak ada pemimpin politik yang berhak mengambil  keputusan di dalam uma atau mewakili kepentingan anggota seuma atau mengatasnamakan uma lain. Keanggotaan dalam sebuah uma diwariskan secara turun-temurun menurut garis keturunan laki-laki (patrilineal). Perkawinan orang Mentawai bersifat eksogami, dengan pengertian bahwa seorang laki-laki atau perempuan akan menikah dengan anggota uma lain, meskipun dalam sedikit kasus sebagian mereka ada juga yang menikah dengan kerabat dekat umanya. Secara praktis, uma terdiri dari beberapa laki-laki yang terhubungkan melalui darah, sementara istri-istri mereka berasal dari uma lain (Hammons 2010).

DSCN6426

Orang Mentawai di Siberut memiliki istilah rusuk dan lalep untuk membedakan dua jenis bangunan fisik sebuah rumah, yang didalamnya mengandung dua jenis hubungan sosial (Schefold 1991, Mazzia Luth 1980). Lalep merujuk rumah yang ditempati oleh  pasangan/keluarga yang telah dikawinkan secara adat. Adat di sini artinya sudah melalui prosesi ritual pangurei (pangureijat), yang melibatkan pembayaran mahar kawin (alak toga). Sementara rusuk adalah istilah yang ditujukan rumah yang ditempati oleh anak muda yang belum menikah, pasangan yang baru menikah, atau seorang duda/janda (Tulius 2012: 56). Dalam definisi dan status perkawinan, rusuk adalah rumah yang ditempati orang yang sudah hidup layaknya suami istri, membina rumah tangga, memiliki anak tetapi belum dirayakan dengan pesta pangurei. Meskipun pembedaan ini barangkali sudah agak kabur dan relatif kurang terdengar sekarang ini, namun pembedaan ini masih berguna untuk pembahasan masalah perkawinan di Siberut.

Lalep bisa dianggap suatu rumah di mana penghuninya telah memiliki perkawinan yang ‘penuh’ karena pihak laki-laki dan perempuan telah menjalankan pesta pangurei (pangureijat), yang biasa berlangsung 2-3 hari. Pangurei diatur melalui mekanisme sosial dan ritual yang sangat rumit, terutama dalam penentuan jumlah mas kawin yang harus dibayarkan, yang biasanya berlangsung sangat alot dan juga serangkaian prosesi ritual, tabu, dan pesta bersama yang melibatkan seluruh anggota uma (Schefold 1980, Tulius 2012: 63). Setelah pesta pangurei, pihak perempuan diboyong ke rumah panjang uma laki-laki, yang juga disebut sebagai uma. Usai pangureijat, si mempelai sudah dapat tidur di rumah panjang—yang juga disebut uma.  Dengan demikian, secara sosial, ia telah menjadi bagian secara penuh keluarga besar laki-laki.  Kedua pasangan yang telah dinikahkan memiliki hak untuk terlibat dalam pemanfaatan sumber daya milik, atau terlibat dalam seluruh relasi sosial, uma. Hak tersebut misalnya, mendapat jatah daging buruan atau daging pesta (punen/puliajat) secara sama, baik kuantitas dan kualitasnya (Schefold 1991). Pasangan lalep juga dapat berpartisipasi penuh saat panen durian, langsat, mangga di ladang ketika musim buah (musim rura) tiba secara kolektif. Sebagai kewajiban, pasangan tersebut diminta untuk menghadiri diskusi menyangkut kepentingan uma dan berkontribusi (uang, ayam, babi) jika uma menyelenggarakan pesta atau saat anggota uma lain harus membayar denda.

Sementara itu, rusuk boleh dikata sebagai rumah di mana penghuninya adalah pasangan yang telah direstui hubungannya tetapi belum diresmikan melalui pesta pengurei. Dalam konteks tertentu, pasangan di rumah rusuk boleh bisa dibilang sepadan dengan istilah modern ‘bertunangan’, di mana pemudi/pemuda yang saling suka bisa hidup bersama dan membina rumah tangga. Lazimnya, si pemuda mulai membangun rumah kecil (rusuk) di petak kosong yang terpisah dari lokasi rumah panjang, ketika dia mulai bekerja dan mampu mengusahakan kehidupannya sendiri. Sekali si pemuda bisa memanfaatkan tenaga kerjanya, ketika usianya sekitar 15 tahun, ia akan berusaha hidup mandiri. Rumah tersebut boleh jadi dibangun dari hasil jerih payahnya, atau juga bisa dibantu orang tuanya. Rata-rata diusia 17 tahun, seorang pemuda Mentawai sudah siap untuk membina rumah tangga, dan mulai membangun komitmen dengan gadis dari uma lain.  Si pemuda akan memilih gadis yang disukainya dan mereka menghabiskan waktu di rusuk tersebut. Sebelum dipestakan secara resmi, si gadis bisa tinggal beberapa waktu lamanya di dalam rusuk.

Karena lokasi rumah di dalam pemukiman (pulaggajat) yang relatif jarang (meskipun setelah menjadi pemukiman pemerintah menjadi sangat berdekatan) dan hubungan sosial sehari-hari yang intens, hubungan antara seorang pemudi dan pemuda tidak bersifat sangat terbuka, tetapi juga tidak bisa disembunyikan. Masing-masing keluarga besar pasti sudah mendengar dan mengetahui jika anggota keluarga mereka membina hubungan rusuk. Hanya saja, karena belum diresmikan melalui upacara, sangat tabu dan pantang bagi kedua pasangan menampakkan hubungan mereka secara eksplisit di depan umum. Hal ini ditujukan terutama untuk menghindari rasa malu bagi masing-masing uma, jika hubungan tersebut nantinya tidak berlanjut. Menampilkan hubungan di hadapan orang banyak—terutama orang tua dan kerabat si pemudi—akan berakibat fatal, terutama bagi si laki-laki karena dia bisa dijatuhi denda karena secara sosial, hal itu telah mempermalukan keluarga perempuan. Keluarga perempuan akan dianggap secara publik tidak bisa menjaga kehormatan keluarga dan anak perempuannya. Disisi lain, hubungan tersebut tidak bisa disembunyikan secara penuh. Dengan suatu cara, masing-masing anggota uma si pemudi dan pemuda mengamati, mengulas dan memperhatikan dinamika hubungan tersebut. Dinamika hubungan yang dijalani oleh pasangan tersebut sangat penting untuk menentukan mahar perkawinan kelak nantinya dalam pesta pengurei, atau dalam hitung-hitungan denda jika ada masalah dalam hubungan tersebut, dan masalah tersebut menyebabkan hubungan rusuk berakhir.

Hubungan rusuk belum memenuhi prasyarat sosial secara penuh. Mungkin saja si pemudi terlibat dalam aktivitas uma si laki-laki, tetapi dia tidak memiliki kewajiban atau hak secara penuh seperti anggota uma yang lain. Misalnya, si perempuan belum boleh tinggal/berkunjung ke rumah besar (uma) si laki-laki, begitu juga sebaliknya. Mereka juga tidak mendapat jatah daging buruan yang sama dengan keluarga anggota uma tersebut yang sudah melakukan pangureijat. Hal ini dikarenakan, masing-masing orang tua dan uma mereka belum terikat secara sosial yang diperantarai melalui ritual pangurei dan pembayaran alak toga. Dalam hal ini, bagi orang Mentawai di Siberut, menikah rusuk bukan berarti tidak boleh atau tidak ‘sah’. Itu bukan melanggar norma atau adat, justru itu menjadi bagiannya. Hal ini harus dipahami dalam konteks yang lebih luas tentang otonomi yang relatif kuat bagi individu dalam kebudayaan Mentawai dan sikap egaliter yang menyertainya (Hammons 2010, Schefold 1991) dalam kehidupan sosial dan politik sehari-hari (Darmanto dan Abidah 2012). Jika ada pemuda/pemudi saling suka, mereka bisa membina hubungan a la rusuk. Kebebasan ini sangat luas diberikan sebagai proses belajar yang mandiri, di mana si pemuda/pemudi akan menyiapkan kehidupan berkeluarga. Mungkin di sinilah, orang yang kurang memahami relasi sosial orang Mentawai, cepat pada kesimpulan bahwa terdapat toleransi kumpul kebo (misalnya Mazzia Luth 1980).

Toleransi untuk membina hubungan ‘rusuk’ tidak ekuivalen dengan toleransi ‘kumpul kebo’. Dapat dikatakan bahwa hubungan perkawinan rusuk ini lebih cocok dengan proses bertunangan dalam kehidupan modern orang Mentawai sekarang ini, suatu tahap hubungan saling mengenal dan memahami antara seorang pemudi dan pemuda. Terkait dengan corak kemandirian, otonomi dan kesetaraan yang kuat di Siberut, ada periode transisi yang menjembatani kehidupan remaja dan dewasa bagi anak bujang (silainge) dan anak gadis (siokkok). Orang Mentawai menyebut periode ini sebagai ‘malainge’, suatu fase yang sering dianggap sebagai periode paling indah dalam kehidupan. Gambaran dari kehidupan malainge termasuk adalah adanya kelonggaran menyerahkan tenaga kerja bagi kepentingan uma, kebebasan melakukan perjalanan ke berbagai tempat, tidak tinggal di rumah keluarga, atau membina hubungan—baik serius ataupun tidak—dengan sesama lawan jenis. Periode ini dicirikan adanya wilayah antara komitmen, tanggung jawab dan kesenangan terjalin secara rumit,  suatu periode yang secara implisit menuntut adanya orientasi ‘tanggung jawab’ kehidupan dewasa, tetapi belum sepenuhnya lepas dari orientasi ‘kebebasan’ kehidupan remaja.

Catatan lapangan Reeves (2004) berjudul From Single to Couple and Somewhere in Between  menunjukkan kerumitan periode tidak-belum-sudah menikah, periode antara lalep-rusuk, bujang-bapak, lajang-ibu. Reeves menunjukkan bahwa ada wilayah antara antara kebebasan dan tanggung jawab, baik sebagai individu maupun kolektif dalam setiap hubungan lalep dan rusuk. Seorang pemuda dan pemudi bisa memanfaatkan segala ketrampilannya untuk terlibat dengan hubungan dengan lebih dari satu perempuan, sejauh dia belum terikat dalam hubungan pernikahan secara lalep. Reeves juga menjelaskan, hubungan rusuk tidak memiliki kekuatan memaksa seseorang, seperti hubungan lalep jika salah satu dari pasangan tidak bertanggungjawab. Dalam periode rusuk, antara kewajiban menghidupi keluarga  masih bertukar tangkap dengan lepas dengan kebebasan sebagai individu. Akan tetapi hubungan personal dalam periode antara tersebut akan menjadi publik jika si laki-laki atau perempuan berbuat kesalahan dan ada pihak yang merasa dirugikan sehingga mereka berhak menuntut kompensasi (tulou) atas kesalahan pihak lain (Reeves 2004).

Arti penting dalam periode antara adalah masa persiapan, baik secara personal, mental maupun material. Periode ini tidak hanya menyediakan waktu untuk belajar mengenal pasangan, tetapi juga sangat penting untuk mengatur persiapan kebutuhan mas kawin dan prosesi ritual. Secara sosial transisi hubungan ‘rusuk’ menuju ‘lalep’ sangat tergantung dari kemampuan masing-masing uma untuk menyelenggarakan pesta pangurei. Meskipun pada pelaksanaannya berlangsung hanya 2-3 hari, seperti pesta (puliajat) lain yang menandai periode penting dalam kehidupan orang Mentawai (kelahiran anak laki-laki, membangun uma, membuka ladang, kematian), pesta pangurei melibatkan persiapan penyediaan makanan, mas kawin, pantangan, dan seperangkat aturan lain, dimana persiapan, rangkaian pesta, dan penutupannya bisa berlangsung berbulan-bulan (Schefold 1991, Loeb 1972, Nooy-Palm 1968). Secara khusus, pesta pangurei melibatkan pertukaran mahar kawin, dalam hal ini pihak uma laki-laki harus menyiapkan babi, kuali, kelambu, ayam, parang, kebun sagu, pohon kelapa, kain panjang dan kebun durian. Sementara itu, pihak uma perempuan harus juga menyiapkan babi dan ayam serta menyertakan kebun/ladang sebagai balasannya.

Tidak semua mahar kawin tersebut bisa disediakan dalam tempo singkat. Beberapa mahar  harus dibeli dari pedagang migran di pantai timur, dan hal ini membutuhkan uang tunai. Dalam banyak kasus yang saya catat, tidak selalu pihak laki-laki membayar mahar kawin dengan lunas. Proses persiapan pangurei  suatu uma sangat tergantung dari properti yang mereka miliki dan kemampuan memobilisasi tenaga kerja anggota untuk berpartisipasi dalam pembayaran mahar. Faktor-faktor seperti sejarah hubungan individual antar besan (orang tua mempelai) dan hubungan sosial antar uma si mempelai sangat mempengaruhi jumlah mahar perkawinan, prosesi ritual yang diterapkan, dan waktu pangurei beserta dengan ramalan tentang cuaca, musim, posisi bintang dan bulan (Tulius 2012: 63-64). Sebagai tambahan, variasi geografi dan silsilah masing-masing uma juga menentukan taktik negosiasi dan jumlah mas kawinnya.  Perhitungan yang teliti faktor-faktor tersebut digunakan untuk memastikan bahwa keluarga baru yang dinikahkan akan memiliki kecukupan makanan dan persiapan untuk kehidupan baru yang lebih baik. Pendek kata, transisi hubungan rusuk ke lalep merupakan kalkulasi yang teliti dan hati-hati dari kemampuan memobilisasi tenaga kerja anggota uma untuk menyediakan mahar perkawinan, persiapan masa depan keluarga baru, dan memastikan negosiasi mahar kawin tetap menjaga relasi sosial dalam situasi yang harmonis.

Kompleksitas pembayaran mas kawin dan penentuan pesta pangurei membawa kita pada penjelasan arti pentingnya perkawinan bagi orang Mentawai.  Reimar Schefold, antropolog yang bekerja dengan uma Sakkuddei di pantai barat Siberut menyatakan bahwa perkawinan adalah satu-satunya cara untuk menjaga  rivalitas antar uma tidak berlanjut menjadi ketegangan sosial dan menjadi konflik terbuka (Schefold 2001:361). Hal ini harus dipahami dalam konteks organisasi dan hubungan sosial orang Mentawai. Dengan struktur sosial yang egaliter dan otonom secara politik, salah satu ciri hubungan sosial orang Mentawai adalah adanya dilema dan ketegangan untuk memelihara otonomi dan persaingan uma/individu dengan solidaritas dan keinginan untuk hidup harmoni di dalam uma dan antara uma (Schefold 1991: 56-72).

Rivalitas bisa dicegah dengan penciptaan hubungan perkawinan. Hal ini diekspresikan dari hubungan eksogami. Ketegangan dan konflik hanya bisa dikendurkan jika si laki-laki memiliki kemampuan untuk bersikap baik, paling tidak secara publik, kepada seluruh anggota uma si mertua. Hal ini disebabkan posisi laki-laki terhadap uma istri (menantu) relatif lebih ‘lemah’. Posisi anggota uma si perempuan (wive-givers) terhadap menantunya secara individual lebih kuat karena memberikan kemungkinan untuknya melanjutkan keturunan. Oleh karena itu dia harus menghormati seluruh anggota uma mertuanya dan harus selalu siap ketika mereka meminta bantuan. Meskipun laki-laki membayar mahar kawin dengan mahal, hal itu tidak pernah secara penuh bisa mengganti ‘arus kehidupan’, prospek masa depan dan keberlanjutan generasi uma si laki-laki yang hanya bisa diberikan pihak perempuan (Schefold 2001: 361-362).  Dengan demikian, sekali si laki-laki mengikat perempuan dalam hubungan dan memiliki keturunan—baik melalui kawin rusuk maupun lalep— maka ia memiliki obligasi yang bersifat permanen yang tidak hanya bersifat material dan sosial (diekspresikan dalam bentuk mahar kawin) tetapi juga secara spiritual kepada keluarga perempuan, karena pihak perempuan memberikan kemungkinan bagi si laki-laki melanjutkan keturunan umanya.

Baik rusuk maupun lalep, adalah suatu cara untuk melanjutkan proses kehidupan yang diatur oleh mekanisme sosial yang rumit. Karena pentingnya hubungan tersebut maka perkawinan rusuk tidak pernah hanya menjadi hubungan sebatas suka-sama-suka. Hubungan tersebut melibatkan ‘relasi sosial’, beserta kewajiban, sangsi, negosiasi, namun relasi sosial tersebut selalu dinegosiasikan, dirongrong, ditaati sekaligus ditolak tergantung dari konteks relasi dan negosiasi antar uma yang terlibat dalam perkawinan tersebut. Menikah rusuk, sama pentingnya secara sosial maupun spiritual dengan menikah lalep, kecuali dalam hal pengaturan hak dan kewajiban yang terkait dengan pembayaran mahar kawinnya. Dengan konteks sosial diatas, pemilihan pasangan dalam perkawinan lalep dan rusuk boleh jadi bersifat personal. Akan tetapi, perkawinan itu sendiri tidak pernah bisa menjadi urusan si pemudi dan pemuda belaka. Si laki-laki dan perempuan akan mempertimbangkan dari uma mana mereka berasal dan bagaimana sejarah sosial hubungan uma mereka. Meskipun seringkali pemilihan pasangan dipertimbangkan dengan hati-hati, rivalitas untuk menentukan mana posisi yang lebih kuat  sangat terasa, bahkan saat perayaan perkawinan. Misalnya dalam proses penentuan mahar kawin atau dalam perhitungan kualitas dan jumlah daging babi yang dipertukarkan dalam pesta pangurei. Rivalitas dan ketegangan semacam ini seringkali, meskipun tidak selalu, menjadi bahan diskusi yang intens selama proses transisi dari perkawinan rusuk menjadi lalep.

Ratusan kali mungkin saya mendengar, membaca atau ditanya tentang stereotip toleransi ‘kebebasan’ dalam periode antara rusuk dan lalep ini. Sejak tinggal, meneliti dan bekerja di Siberut dari tahun 2003, Saya belum pernah menemukan pasangan yang sudah hidup a la rusuk tidak melanjutkan hubungan ke perkawinan ‘lalep’. Ada beberapa kasus yang sampai di telinga saya bahwa terdapat pasangan yang sudah ‘bertunangan’ atau hidup a la rusuk tidak menjadi ‘lalep’. Pembatalan atau kegagalan melanjutkan hubungan lazimnya menjadi aib keluarga dan dibicarakan sebagai cerita yang memberi contoh buruk bagi hubungan sosial. Cara mengakhiri hubungan ini disertai dengan proses denda mendenda (tulou) yang rumit, di mana besaran denda sangat ditentukan dari diskusi yang panjang untuk mencari tahu siapa dari kedua calon mempelai yang dianggap lebih ‘bersalah’. Hubungan rusuk yang gagal menjadi lalep bisa berakhir menjadi sebuah konflik yang sangat serius dan berkepanjangan antar uma.

Sebagian besar orang yang tidak mendapat penjelasan konteks kebudayaan Mentawai akan mudah menganggap bahwa periode transisi ini bisa dikategorikan atau dicocokkan dengan definisi kumpul kebo. Penjelasan kenapa hal ini terjadi tidak berada dalam konteks relasi internal dalam perkawinan orang Mentawai, tetapi lebih kepada produksi pengetahuan dari luar Mentawai yang membentuk kategori tentang kebudayaan Mentawai. Hal ini telah berlangsung sejak lama, ketika istilah kebudayaan dan subjek mentawai mulai dikenal publik luar secara massif setelah adanya tulisan pejabat kolonial pada abad 18 (Reeves 1999) dan laporan missionaris pada akhir abad 19 (Schefold 1990). Pengetahuan tentang apa dan bagaimana Mentawai yang kita terima sekarang bukanlah bersifat endogen, tetapi lebih merupakah hasil persinggungan bidang-bidang kekuasaan dan pengetahuan, dari luar dan dari dalam.

Sama dengan stereotip lain yang melekat dengan Mentawai, baik yang positif (penduduk yang arif dengan lingkungan, penjaga hutan, suku bijak) atau yang negatif (suku terasing, warga terbelakang, peladang yang kurang efisien), munculnya stereotip toleransi kumpul kebo ini harus dilihat dari proses pembentukan identitas dan subjek serta ruang yang disebut sebagai ‘Mentawai’ secara historis. Identitas dan subjek Mentawai, sepanjang waktu, dibentuk oleh beragam bidang kekuatan dan kekuasaan pengetahuan dari luar (pejabat kolonial, birokrat, agamawan, aktivis sosial, antropolog), semenjak masa kolonial di abad 18 sampai munculnya wacana otonomi daerah (Darmanto dan Abidah 2012, Reeves 1999). Irisan bidang kekuasaan kolonial, negara, missionaris, turis, pejuang konservasi alam, aktivis kota dan juga paling penting, orang Mentawai sendiri, menghasilkan beragam citra dan wacana tentang entitas Mentawai. Sebagian besar citraan tersebut memiliki asosiasi kuat dengan hal-hal marjinal. Stereotip kumpul kebo adalah sedikit stigma di antara tumpukan stigma yang, berasal dari fantasi yang menyedihkan dan kemiskinan imajinasi aktor dan agensi yang terlibat dalam produksi pengetahuan tersebut.

Aman Lauk-lauk, Perkawinan, dan Pembentukan Adat

Proses yang saya sampaikan di atas adalah versi sangat sederhana dari kompleksnya prosesi pernikahan di Siberut. Namun, dari keterangan diatas kita bisa melihat bahwa istilah kumpul kebo sangat tidak relevan untuk membingkai hubungan pemuda dan pemudi, bahkan ketika mereka masih dalam rusuk dan belum dinikahkan melalui pesta pengurei. Jika secara yuridis ‘[s]etiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan yang sah’ akan dihukum, di sini terdapat pertanyaan sosiologis: apa yang disebut sebagai perkawinan yang sah? Siapa yang menganggap sah? Apa ciri-ciri perkawinan yang dikategorikan sebagai sah? Apakah restu dari uma si pasangan yang menikah, baik rusuk maupun lalep, dianggap tidak sah?

Secara sosial menikah rusuk sudah bisa dianggap sah, karena hubungan tersebut tidak pernah hanya dianggap sekedar untuk bersenang-senang, meskipun faktor kesenangan, dalam aspek tertentu,  menjadi elemen yang tidak terpisahkan. Bagi orang Mentawai tidak ada pernyataan moral bahwa menikah rusuk dianggap baik atau buruk,  atau pertanyaan hukum bahwa hal itu akan mengganggu ketertiban sosial sehingga harus dipidanakan. Perkawinan rusuk dan lalep tertanam dalam hubungan sosial antar uma. Konsepsi moralitas tentang hidup yang lebih baik dan masa depan serta pewarisan dan keberlanjutan kehidupan sosial tidak tertulis dalam selembar akta pernikahan. Sebagai peristiwa sosial, perkawinan melekat dalam sejarah sosial, identitas uma,  kepemilikan properti (sagu, ladang dll.) dan tatanan sosial. Perkawinan lalep dan pangurei hampir menjadi peristiwa ‘politik’ dan ‘sosial’ di mana pembicaraan tentang jumlah mas kawin,  pewarisan, relasi antara si mempelai dan umanya, terhubungkan melalui relasi yang dinamik di antara uma. Bisa dipastikan semua pasangan rusuk di Mentawai akan melakukan pesta pangurei, karena hal itu akan menyediakan pengakuan sosial yang memberi jaminan hak dan kewajiban yang setara secara sosial. Hubungan perkawinan sangat terkait dengan relasi sosial yang membentuknya—terkait dengan siapa menikah dengan siapa, dari uma mana, dan bagaimana mereka menangani hubungan itu. Sehingga, menikah rusuk dan lalep tidak sebatas ‘hidup bersama tanpa ikatan yang sah’. Hubungan rusuk terikat dengan relasi sosial, baik dengan masa lalu dan masa depan seorang individu sebagai bagian dari sistem sosial.

Kosa kata kumpul kebo yang dimaksud dalam KUHP dan di kepala ahli hukum di Indonesia baru-baru ini saja dikenal, dibaca, dan ditelaah oleh orang Mentawai di Siberut. Selama saya tinggal di pulau itu, saya tidak mendengar kata ini diucapkan dengan tendensi moralitas tertentu oleh orang Mentawai sendiri. Petugas gereja, pastor dan pendeta, pejabat rendahan, dan sebagian migran terkadang mengeluhkan kalau orang Mentawai banyak yang tidak menikah secara resmi, tetapi mereka tidak menyebut sebagai kumpul kebo. Para moralis yang paling teguh, yang tahu kehidupan sosial di Siberut pun menyadari bahwa menikah rusuk pun diatur secara sosial. Namun adanya pengakuan hal ini bukan berarti menikah resmi tidak relevan. Seiring dengan perubahan sosial, terutama masuknya agama monoteis dan masuknya intervensi negara, orang Mentawai cenderung lebih memilih menikah secara resmi di gereja atau KUA.

Hampir sebagian besar orang Mentawai yang lahir setelah dekade 70an telah menikah secara ‘resmi’. Beberapa teman saya di Siberut mengatakan menikah secara resmi versi negara atau agama, memudahkan mereka untuk hidup secara sosial, terutama ketika seluruh proses ‘administrasi kehidupan’ orang Mentawai mulai terintegrasikan dengan birokrasi negara dan agama. Misalnya, seorang pemudi akan kesulitan mendapatkan surat pernikahan dari gereja Katolik kalau orang tuanya juga tidak memiliki dokumen resmi menikah dari gereja Katolik. Kita bisa bayangkan repotnya mengurus akta pernikahan bagi generasi baru jika orang tuanya lahir sebelum ‘Pertemuan Tiga Agama’ (1954), peristiwa yang menandai adanya paksaan dari negara bagi orang Mentawai untuk memilih tiga agama: Islam, Katolik dan Protestan (Sihombing 1979, Persoon 1997). Kesulitan juga bakal dihadapi seseorang warga desa di pedalaman Siberut yang tidak terdaftar sebagai warga negara, yang ditandai dengan kepemilikan  KTP. Jika intervensi pembangunan tiba dari lembaga agama tertentu atau dari lembaga negara, dia boleh jadi dianggap tidak pantas mendapatkan bantuan pembangunan tersebut karena tidak terdaftar secara resmi di gereja. Di sini, menikah gereja atau KUA bisa dilihat sebagai jendela untuk melihat bagaimana orang Mentawai harus beradaptasi ketika terintegrasikan dengan kekuatan dari luar. Kontinyuitas, adaptasi dan perubahan aturan adat menjadi ciri utama dinamika perkawinan orang Mentawai ketika berhadapan dengan aturan negara dan agama.

Disini saya akan menyodorkan cerita Aman Lauk-lauk Manai di tenggara Siberut, sebagai ilustrasi tentang dinamika adat perkawinan. Sejak akhir 1980an, Aman Lauk-lauk sangat terkenal sebagai orang yang anti-pembangunan, anti-negara, dan anti-agama. Dia tinggal di lokasi pemukiman lama (pulaggajat) di dekat sungai Buttui, di lembah Rereiket. Justru karena dia tidak mau dimukimkan di permukiman bentukan negara di Ugai dan dipandang menjalani gaya hidup ‘tradisional’ Mentawai, figurnya menarik minat wisatawan, antropolog dan fotografer. Meningkatnya gelombang ekoturisme dan gerakan konservasi alam menjadikan figur Aman Lauk-lauk menjadi representasi dari anggota suku bijak yang penjaga hutan (Lindsay 1992). Gambarnya banyak menghiasi buku wisata (coffe-table book), dan namanya menjulang di antara para fotografer luar dan dalam negeri.

Dalam beberapa aspek, ia disegani karena keberhasilannya mendapat banyak kekayaan dari industri wisata dan sekaligus kegigihannya dalam mempertahankan ‘adat Mentawai’—paling tidak di Lembah Rereiket. Sampai beberapa tahun lalu, ia menolak untuk mengubah kepercayaannya menjadi agama monoteistik (Katolik/Protestan). Empat tahun lalu saya berdiskusi dengannya di di antara waktu sela sebuah pertemuan membahas pendirian sekolah yang didukung LSM di tempatnya. Pertemuan itu dihadiri perwakilan uma-uma dari Buttui dan Ugai, terutama pemilik tanah (sibakkat laggai) di Buttui. Saat itu, dia masih bersuara lantang untuk menolak konversi agama dan aturan gereja di tanahnya, termasuk menikah di altar—meskipun kemudian ia melunak membolehkan pendirian sekolah di dekat rumahnya.

Ketika mengumpulkan data tentang konflik tanah di Ugai awal Desember 2012, saya mendengar berita mengejutkan: Aman Lauk-lauk telah menikah di gereja secara Katolik. Ia juga terpilih menjadi kepada Dusun Buttui yang sedang disiapkan untuk menjadi dusun resmi. Menurut orang Ugai, sekarang ia rutin pergi ke gereja tiap minggu dan ke kantor desa untuk ‘dinas’ setiap hari Selasa. Karena cerita ini menarik, Saya menemuinya saat ia memimpin pembersihan lapangan voli untuk persiapan pesta natal. Saya bertanya alasan kenapa ia menikah di gereja.  Bulan Juni 2011, ia memulai cerita, punya masalah dengan administrasi pendaftaran sekolah tingkat SMP untuk anak laki-lakinya. Ia bingung ketika pihak sekolah menanyakan akte kelahiran dan akte pernikahan. Dari pengalaman tersebut ia menyadari kalau menikah di gereja akan mempermudah  pendaftaran anaknya bersekolah. Ia juga melihat ke masa depan di mana status menikah secara resmi akan membantu anak-anaknya mendapatkan pekerjaan di kota besar atau posisi penting di pemerintahan. Secara eksplisit ia menyebut sudah menerima kehadiran negara dan menunjukkan surat pernikahannya yang ada tanda tangannya di sudut kanan. ‘Babi dan kerbau sudah habis terjual,’ tambahnya lagi, ‘sebagai gantinya, saya mau infrastuktur pembangunan jalan, rumah sakit, gereja, sekolah, yang bagus’.  Ringkasnya, ia mau terintegrasikan dengan negara dan pembangunan.

Saya berkelakar soal ritual pernikahan dengannya. Saya iseng bertanya apakah doa dan ritual yang diikutinya saat menikah di gereja sudah diterapkannya benar? Apakah ia juga tahu membaca al-Kitab? Ia hanya tertawa lebar. Kemudian ia menjelaskan bahwa prinsip dasar menikah di gereja bukan pada ritualnya, tetapi pada pengakuan publik (ia sebut masyarakat dan pejabat). Aman Lauk-lauk sudah menikah dan menjadi terhubungkan dengan negara. Pada dasarnya, seperti halnya kebanyakan orang Mentawai yang lain (Darmanto & Abidah 2012), ia bukan orang yang menolak pernikahan gereja atau menolak ide pembangunan dan perubahan dari pihak luar. Ia menyebut, ia bisa menjadi pioner bagi ‘warganya’ yang belum resmi menikah di gereja karena malu tidak bisa baca-tulis, atau sudah terlanjur menikah secara adat sejak lama dan sudah punya anak cucu. Ia juga menyebut menikah secara resmi akan sangat baik buat pembangunan dusun Buttui di masa depan ketika intervensi negara semakin meningkat dan mereka semakin intensif terhubungkan dengan bidang-bidang kekuasaan dari luar.

Cerita Aman Lauk-lauk menggambarkan bahwa menikah secara formal di gereja dianggap suatu yang baik untuk masa depan. Aman Lauk-lauk, yang beberapa tahun lewat adalah seorang yang paling gigih mempertahankan adat dan gaya hidup a la Mentawai tradisional, dengan senang hati mentransformasikan kepercayaan adatnya tentang menikah Mentawai menjadi pernikahan ‘formal’ a la gereja dan pemerintah. Dalam prosesi perkawinan secara resmi, ia melihat adanya kemudahan dibandingkan dengan pernikahan secara adat. Aman Lauk-lauk menikah dua kali, dan karena itu ia dan umanya sudah menyelenggarakan upacara pangurei dua kali. Sebagai orang yang disegani, ia dipaksa mengikuti seluruh rangkaian pangureijat. Konsekuensi statusnya sebagai orang berada (simakayo) dan terkenal (simaumun), ia menyelenggarakan ritual pangurei yang cukup meriah. Proses perkawinan, ia menambahkan, telah menghabiskan

sebagian ladang, ternak dan uang yang dimilikinya dari kunjungan wisatawan. Namun seluruh biaya dan proses perkawinan tidak sanggup digunakan sebagai alat untuk menyelesaikan masalah anaknya. Sementara solusi untuk masa depan anaknya cukup sederhana, yakni menikah secara gereja, di mana tidak ada pungutan biaya dan bermacam-macam ritual yang menghabiskan waktu dan tenaga kerja.

Tentu saja aspek ekonomi-politik Aman Lauk-lauk jauh lebih rumit dan berwarna dari yang saya sampaikan di sini. Apa yang bisa dipetik dari kisahnya adalah bahwa menikah secara ‘formal’ di gereja atau KUA dianggap sebagai mekanisme sosial yang lebih menjamin relasi sosial di masa depan dengan aktor-aktor lain  dari luar (gereja, pejabat, aktivis, sekolah, pastor, departemen sosial). Menikah secara rusuk/lalep tidak cukup untuk diakui sebagai warga negara. Ia juga menyebut dirinya bisa menjadi pioner bagi tetangga ataupun kerabatnya yang belum menikah secara resmi di gereja. Dengan mengatakan ia menjadi pioner, maka Aman Lauk-lauk hendak mengatakan bahwa menikah gereja menjadi norma, menjadi ‘adat’, yang dianjurkan kepada warga di mana ia menjadi pemimpin dusun, sekaligus afirmasinya kepada aktor-aktor lain dan kekuasaan dari luar yang memberikan pengakuan terhadapnya sebagai warga negara yang tidak kolot atau menolak gagasan pembangunan seperti di masa lalu.

Di hampir sebagain besar wilayah Siberut, transformasi sosial yang masif sepanjang 3-4 dekade terakhir menyebabkan menikah resmi di gereja lebih dirujuk sebagai standar ‘moral’. Menikah rusuk dan lalep yang secara adat sah, dalam takaran tertentu, dianggap kurang sempurna karena hal itu menggambarkan bahwa orang Mentawai belum menjadi bagian warga negara yang ‘utuh’. Ada asosiasi, yang muncul dari kebanyakan orang Mentawai sendiri, terutama generasi yang lebih muda bahwa, menikah tanpa diresmikan gereja atau terekam dalam catatan sipil sebagai ciri dari kekolotan dan kebebalan untuk diatur dan menjadi bagian dari warga negara yang ‘normal’. Teman sebaya saya yang sudah menikah selalu menyatakan secara retorik bahwa tidak ada gunanya orang Mentawai mengaku menjadi warga negara atau punya agama kalau tidak menikah secara resmi di gereja atau KUA.

 DSCN6662

Sebaliknya, saya menemukan fakta yang menarik tentang sikap orang Siberut dalam mengkombinasikan atura perkawinan adat dan perkawinan resmi. Di tempat yang pernah saya kunjungi, saya tidak menemukan satupun pernikahan formal yang tidak didahului/diikuti menikah rusuk, lalep dan ritual pangurei. Sebelum atau sesudah pernikahan gereja, orang Mentawai menyelenggarakan pesta pangurui. Di sini terlihat adanya dua petunjuk. Pertama, dalam konteks terhubung dengan hubungan hukum adat dan formal pernikahan, tidak ada kontradiksi sosial bagi orang Mentawai untuk terhubung menjadi warga negara Indonesia. Kedua, rujukan aturan tentang perkawinan dipilih sesuai dengan rujukan identitas dan subjek yang berlaku. Menikah gereja dipilih sebagai suatu cara untuk memperoleh dan sekaligus menunjukkan pengakuan menjadi warga negara Indonesia. Sementara menikah adat melalui pangurei, tetap dilakukan secara penuh sebagai cara untuk mendefinisikan sosial menjadi subjek Mentawai.  Untuk menjadi bagian dari warga negara yang ‘utuh’, orang akan pergi ke gereja dan KUA, sementara menjadi bagian dari Mentawai yang ‘utuh’, mereka harus mempersiapkan mahar kawin dan upacara pangurei. Di sini terdapat beragam cara secara sosial untuk menjadikan hubungan laki-perempuan menjadi peristiwa yang diakui secara sosial—sebuah esensi dari pernikahan.

Adat, Hukum, dan Identitas Ambivalen

Ilustrasi pendek etnografi perkawinan dan Aman Lauk-lauk di atas memperlihatkan bahwa definisi kumpul kebo tidak begitu relevan bagi orang Mentawai. Istilah kumpul kebo ketika diterapkan/digunakan untuk melihat kepengaturan hubungan laki-laki dan perempuan dalam konteks masyarakat Mentawai sangat bias hukum formal, yang sangat dipengaruhi oleh hukum dan kekuatan agama monoteistik. Pernyataan Andi Hamzah dan reaksi tokoh politik dan adat Mentawai di media secara langsung mengilustrasikan bagaimana wacana kumpol kebo diterima begitu saja tanpa merujuk konteks sosialnya. Secara prinsip, baik yang membuat pernyataan maupun yang kontra terhadap pernyataan kumpul kebo di Mentawai berada dalam posisi yang sama, di mana kumpul kebo sebagai kategori hukum bisa dipakai untuk melihat hubungan perkawinan adat di Mentawai. Bedanya, satunya mengklaim bahwa hal tersebut terbukti, sementara yang lain menyatakan hal tersebut tidak terbukti. Di sini, yang lebih penting adalah semangat pembuktiannya. Yang luput dari perhatian adalah pembacaan lebih jauh ketidaktepatan istilah tersebut ketika membingkai hubungan sosial.

Karena istilah kumpul kebo tidak begitu relevan untuk mengatur bagaimana orang Mentawai menjalani kehidupan sosial, terutama perkawinan, maka respon atas pernyataan Andi Hamzah juga seharusnya tidak diarahkan kepada pembuktian ada-tidaknya kumpul kebo itu. Terbukti atau tidaknya ucapan Andi tentang toleransi kumpul kebo tidak begitu membantu perbaikan posisi orang Mentawai sebagai subjek dihadapan hukum formal.  Di satu sisi, penolakan tokoh adat dan politik Mentawai bisa memberi pengetahuan baru tentang tidak adanya kumpul kebo di Mentawai, tetapi disisi lain ini juga berpeluang  melanggengkan stereotip tentang orang Mentawai. Hal ini disebabkan pengetahuan umum tentang perkawinan di Mentawai di mulai dari stereotip, sehingga yang lebih penting adalah orang Mentawai cocok atau tidak dengan stereotip tersebut. Tanpa pemahaman konteks sosiologis yang rinci dan hati-hati, pernikahan lalep dan rusuk, yang sah dan diakui serta dijalankan sebagai cara mengatur relasi perkawinan bagi orang Mentawai bisa saja masuk dalam kategori kumpul kebo dalam hukum formal, karena definisi tentang sah dan tidaknya perkawinan yang digunakan dalam rancangan KUHP tidak mengakomodasi relasi sosial yang terbentuk di Mentawai. Kalaupun ada penjelasan dan definisi, penentu sah dan tidak adalah instrumen hukum formal dan aparatus negara (KUA,  gereja, kantor sipil). Dengan demikian, intepretasi atas relasi perkawinan dan instrumen hukum akan mudah untuk meluncur pada kesimpulan bahwa dalam sebagian kasus perkawinan orang Mentawai statusnya masuk dalam kategori tidak sah, dan itu berarti bisa masuk dalam definisi kumpul kebo versi hukum formal.

Meskipun kekhawatiran Andi Hamzah tentang pemisahan wilayah di tiga daerah yang disebutnya kalau aturan ini diterapkan berlebihan, dalam kadar tertentu ia memiliki perspektif yang memadai dengan mengatakan ketika UHP diterapkan, hal itu akan menjadi masalah bagi orang Mentawai. Karena secara empirik tidak seluruhnya perkawinan lalep dan rusuk di Mentawai diresmikan di gereja dan KUA, maka dari perspektif hukum, kenyataan ini akan memberi konfirmasi bahwa ‘lalep’ dan ‘rusuk’, masuk dalam kategori perzinahan atau kumpul kebo. Di sini, argumentasi yang harus dibangun adalah penjelasan yang lebih awal, definitif dan operasional, tentang perzinahan atau kumpul kebo secara lebih rinci sehingga mengakomodasi banyak relasi perkawinan secara adat yang diakui secara sosial dan juga dalam takaran tertentu hukum di tempat masyarakat tersebut tinggal. Menariknya, pernyataan tokoh adat dan politik tidak ada satupun yang menyatakan keberatan atas klausul dalam pasal perzinahan tersebut, dan dalam aspek tertentu, mereka secara prinsip tidak menolak rancangan KUHP (Okezone 2013).

Dukungan elit Mentawai terhadap KUHP sebenarnya paralel dengan apa yang dipraktikkan oleh Aman Lauk-lauk. Keduanya menunjukkan bahwa, ketika mereka merujuk ‘adat’ perkawinan Mentawai yang tidak mengenal kumpul kebo, yang dimakud adalah adat yang sesuai dengan aturan negara. Perkawinan yang dianggap layak secara adat dan menjadi norma dan sah secara sosial bersifat dinamis terkait dengan perubahan waktu dan hubungan sosial yang membentuknya. Dari Aman Lauk-lauk kita memahami bahwa perkawinan resmi versi gereja dan negara menjadi ‘adat’, menjadi sesuatu norma yang digunakan sebagai panduan atau standar aturan sosial. Norma tersebut merupakan hasil dari perubahan ketika perkawinan secara adat dengan pangureijat tidak lagi menjadi satu-satunya orientasi dalam membina hubungan sosial, terutama ketika orang Mentawai telah terhubungkan dengan negara dan aktor-aktor dari luar. Perkawinan resmi sebagai adat adalah produk dari adat ketika aturan perkawinan rusuk atau lalep berhadapan dengan hukum formal, dan bukan antitesisnya.  Menikah rusuk dan lalep secara sosial tidak lagi cukup untuk membingkai hubungan sosial. Sebaliknya, menikah secara formal dipandang berhasil memperkuat pengakuan atas aturan adat, di mana ritual pangurei menjadi bagian yang harus ditunaikan jika mereka mau diakui secara sosial. Sehingganya, apa yang dikatakan tokoh politik dan adat Mentawai tentang aturan ‘adat’, harus diletakkan dalam pemahaman yang jauh lebih historis. Adat Mentawai tentang pernikahan, yang merujuk pada pernikahan formal dan larangan untuk ‘kumpul kebo’, harus diletakkan dalam konteks transformatifnya.

Lebih luas lagi, transformasi pandangan dan praktik perkawinan di Mentawai bisa menjadi jendela untuk melihat transformasi subjek dan identitas Mentawai yang didorong oleh dua kekuatan yang bekerja bersama, yakni aspirasi, imajinasi dan harapan terhadap tentang masa depan, yang tumbuh dari dari dalam masyarakat itu sendiri dan persinggungan dengan kekuatan-kekuatan dari luar yang membawa norma, aturan, dan hukum beserta segala konsekuensinya.  Seperti halnya pengaturan sosial yang lain, seperti praktik ritual, prosesi, dan pemaknaan atasnya, adat perkawinan selalu membawa ciri keberlanjutan sekaligus membawa pertanda perubahan sepanjang waktu, hasil adaptasi, strategi, dan sikap serta tindakan subjek (orang Mentawai) terhadap kondisi sosial yang membentuknya. Proses ini sangat kuat digambarkan Aman Lauk-lauk yang menikah secara gereja. Fakta ini menggambarkan bahwa masyarakat adat memiliki keinginan kuat untuk terintegrasikan dengan aturan nasional, sejauh aturan tersebut lebih memberikan keuntungan dalam kepengaturan kehidupan sosial. Barangkali ini sedikit berbeda dengan apa yang diangankan oleh suporter gerakan adat atau kelompok tertentu yang menghendaki masyarakat adat mempertahankan adat-istiadatnya, dan menolak campur tangan negara atau pihak luar untuk mengatur kehidupan sosial. Justru yang saya temukan di Siberut, masyarakat Mentawai secara suka rela mengubah adatnya agar bisa terintegrasikan dengan campur tangan negara atau pihak luar. Ini menunjukkan masyarakat sangat adaptif dan terbuka terhadap perubahan dan intervensi dari luar.

Diskusi tentang perkawinan adat ini bisa diperluas untuk membahas  debat endemik tentang hubungan aturan adat, yang dianggap ‘tidak resmi’ oleh aturan negara atau agama. Sejauh yang saya amati, para pengusung adat membingkai aturan adat (dalam pengaturan tanah, tata susila, kriminalitas) dalam kategori beku yang bercorak esensialis ketika dipertentangkan dengan aturan hukum formal. Hal ini belum tentu merefleksikan penerapan aturan adat dan dinamikanya, tetapi lebih menunjukkan bidang-bidang kekuatan dan kekuasaan politik, yang berada di sekitar wacana dan praktik adat. Dari kasus Mentawai, salah satu kekuatan yang terasa cukup kuat adalah argumen moralitas, yang secara unik digunakan sebagai legitimasi, baik oleh para pengecam maupun pendukung istilah kumpul kebo, baik dari para ahli hukum formal, kaum agamawan, atau tokoh gerakan adat.  Sangat bisa dipahami bahwa ucapan Andi Hamzah, seperti halnya kutipan sepotong-potong tanpa konteks Thamrin Tomagola (Kompas 2011, Tempo 2011) berpeluang melukai perasaan orang Mentawai atau masyarakat adat lainnya. Jual beli pernyataan di media tentang kumpul kebo, karenanya, lebih dimaksudkan untuk membuktikan atau menunjukkan bahwa kumpul kebo ada atau tidak, berlaku atau tidak, benar atau salah, dalam kehidupan sosial orang Mentawai.

Pernyataan Andi maupun Thamrin yang memicu reaksi keras masyarakat adat dan tokoh politik menunjukkan dua hal. Pertama, stereotip tersebut memiliki kekuatan untuk mentransformasikan identitas kolektif masyarakat adat dan munculnya adat sebagai kekuatan politik dalam lanskap politik Indonesia (Henley & Davidson 2007, Li 2001). Bagi masyarakat adat, tidak terlalu penting Hamzah keliru atau Thamrin benar dengan data-data empiriknya, atau kalimatnya disalahartikan. Stereotip yang terdengar tersebut membuat identitas kolektif ‘Dayak’ atau ‘Mentawai’ muncul.  Implikasinya, karena identitas kolektif muncul, maka pengetahuan di sekitar identitas dan wacana tentang adat itu kemudian bertransformasi menjadi kekuatan politik (Henley & Davidson 2007). Karena identifikasi masyarakat adat di Indonesia adalah kelompok yang menjadi minoritas sejak lama dan dianggap sebagai korban dari kebijakan kolonial dan nasional (Persoon 2002, Li 2001), maka secara politik, penambahan stereotip yang berkonotasi negatif seperti kumpul kebo akan menjadi sumbu politik yang mudah meledak bagi masyarakat adat maupun pendukungnya.

Kasus sidang adat Thamrin Tomagola oleh Majelis Adat Dayak mengilustrasikan kekuatan politik adat ketika aktor-aktor pendukungnya mampu memobilisasi klaim masyarakat adat dan mentransformasikannya ke dalam identitas kolektif. Terdapat resiko yang besar jika kekuatan politik adat dan identitas kolektif ini kemudian menjadi pusat orientasi untuk menentukan secara politik pernyataan individu yang bukan menjadi kelompok tersebut benar atau tidak (Davidson 2010). Persis di sini saya mengajukan argumen bahwa satu stereotip yang keliru tentang masyarakat adat tertentu, kumpul kebo dalam hal ini, tidak bisa hanya dihapus oleh petisi atau hukuman adat kepada pelaku yang membuat stereotip tersebut. Saya yakin sekali bukan hanya Hamzah saja yang menyimpan stereotip tentang orang Mentawai dan kumpul kebo. Saya sering menderita sakit kepala ketika ditanya hal-hal yang simplistis tentang Mentawai karena miskinnya imajinasi publik atasnya. Hanya saja posisi politik Andi Hamzah dan bidang-bidang kekuatan yang menjadikan dia sebagai ‘ahli’ dan sekaligus kekurang telitiannya dan juga kecerobohan dalam memahami dinamika masyarakat Mentawailah yang membuat kesimpulan yang mengundang polemik.

Petisi atau hukuman adat barangkali bisa jadi pengontrol bagi seorang ahli yang memiliki otoritas dan kapabilitas dalam membuat diskursus tertentu tentang masyarakat adat,  melalui pengetahuannya. Ini juga untuk menjadi alat penyeimbang agar siapapun untuk lebih hati-hati dan bekerja keras sebelum menjadikan kepakaran dan ilmu pengetahuannya tentang kelompok masyarakat tertentu milik publik dan memiliki implikasi sosial dan politik yang kuat. Namun, seiring dengan dinamika gerakan masyarakat adat yang pada taraf tertentu berhasil dibajak oleh elit-elit yang mewarisi kekuasaan politik dan sosial di masa kolonial dan orde baru dan juga berusaha membangkitkannya di era desentralisasi (Sangaji 2012, Klinken 2007), meningkatnya kekuatan politik adat lebih berpeluang hanya menggambarkan perkawinan elit-elit adat, kebijakan desentralisasi dan politik etnis dan kedaerahan (Aragon 2007, Benda-Beckmann & Benda Beckmann 2007). Adat di sini dilihat sebagai pelumas mesin politik bagi elit-elitnya dan mereka  menggunakannya secara sepihak (Henley & Davidson 2007, Davidson 2007).

 

Yang kedua, terkait dengan tampilnya wacana adat sebagai gerakan politik yang menuntut pengakuan dari negara (AMAN 1999), ada pergeseran dalam dinamika pembentukan subjek sebagai warga negara pasca menurunnya peran negara dengan kekuasaan terpusat pasca Orde-baru. Seperti hal yang ditunjukkan pasangan Benda-Beckmann (1999, 2007) dalam kasus identitas Minangkabau, debat kumpul kebo di Mentawai memberi indikasi ketegangan hubungan yang bersifat laten ketika kelompok sosial atau individu di Indonesaia mengidentifikasi diri. Tokoh Mentawai, dalam hal perkawinan, merujuk masyarakatnya pertama sebagai masyarakat adat yang kehidupan sosialnya diatur oleh aturan atau hukum adat. Akan tetapi kebersetujuan dengan KUHP juga menunjukkan bahwa Mentawai juga menjadi subjek aturan hukum formal. Mereka juga menikah secara gereja, dan karenanya menjadi subjek agama. Oleh karena itu, dalam satu subjek, kita temukan mereka menjadi bagian dari warga negara,  warga ‘adat’ atau dan sekaligus warga beragama. Ini menggambarkan proses dialektik yang terus berlangsung antara masyarakat dan negara dalam suatu sistem sosial di mana terdapat beragam sumber hukum, aturan dan identitas (Benda Beckmann & Benda Beckmann 1999, 2007, Grifith 1987). Bagi masyarakat sehari-hari, beragam pilihan sumber aturan dan hukum ini bisa menjadi forum belanja (forum shopping) (Benda Beckmann 1981), dan bisa dilalui secara luwes karena mewujud dalam praktik. Misalnya, menikah pangurei atau di  gereja bisa menjadi pilihan ‘belanja’ bagi orang Mentawai, tergantung dari sisi mana mereka membuat identifikasi dirinya dan sejauh yang saya amati hal dilihat sebagai saling melengkapi, alih-alih sebagai kontradiksi.

Cairnya identitas subjek ini seringkali sukar untuk dibingkai dalam kerangka aturan formal. Bisa dipahahami mengintegrasikan aturan adat dan aturan nasional agar menjadi harmonis merupakan tugas yang sangat berat, baik bagi elit adat maupun elit birokrasi atau pakar hukum.  Hal ini kentara sekali dari pembahasan yang tak pernah usai KUHP, meskipun sudah lebih dari satu dekade, terutama di bab-bab yang terkait dengan adat istiadat seperti santet dan kebiasaan menikah menurut aturan lokal. Semua semakin rumit karena aturan-aturan hukum formal di Indonesia, secara politik, juga merupakan arena permainan dan pertempuran bagi kekuatan politik agama. Tegangan antara aturan adat (beragam dan bersifat kontekstual serta dipraktikkan dan dirubah dalam kehidupan sehari-hari), aturan negara (secara formal mengikat seluruh warga negara Indonesia), sekaligus aturan agama (cenderung bias Islam sebagai mayoritas), sangat kuat mewarnai dinamika sosial Indonesia. Hal ini menggambarkan dilema berkepanjangan sejarah identitas warga Indonesia yang secara terus menerus bergerak di antara tiga struktur moral dan norma yang bersumber dari adat, negara dan agama (misalkan Benda Beckmann dan Benda Beckmann 2007).

Di era desentralisasi, ketika kekuatan negara melemah dan kekuatan politik adat atau kedaerahan meningkat, seseorang pertama-tama memiliki pilihan untuk mengidentifikasi dirinya sebagai subjek adat, etnis atau sesuatu yang merujuk kepada beragam atribut sosial-budaya (bahasa, warna kulit,  asal-usul tempat dan lain-lain). Di beberapa tempat yang pengaruh agama cenderung kuat, warga negara mengidentifiasi diri sebagai muslim atau kristiani, sementara di daerah-daerah yang integrasi nasionalnya lebih mapan, aturan negara adalah rujukan bagi identitasnya. Dalam satu waktu, identitas seorang warga Indonesia bisa berada dalam tiga identitas yang berbeda-beda. Karena relasi sosial bersifat prosesual, negosiatif, melibatkan kekuasaan dan berada dalam arus waktu, maka identifikasi diri bisa bersifat tegas, kuat namun sekaligus juga bersifat ambivalen, berlapis-lapis, penuh kontradiksi dan ketegangan di waktu yang lain. Secara historis, identifikasi subjek tertapis dalam lapisan yang paling tua, yang berakar dalam istilah ‘ádat’—meskipun istilah ini berasal dari kata Arab. Namun adat melemah dan menguat sepanjang waktu, dan kemudian secara parsial dirubah tapi tidak pernah diganti sepenuhnya oleh cara pandang, aturan simbolik dan aturan legal oleh aturan negara dan agama. Subjek menerima aturan baru atau menolak nilai-nilai baru atau norma baru, mereka tidak secara otomatis melepaskan nilai-nilai lama. Oleh karena itu, sepanjang waktu, subjek Indonesia mengembangkan pemahaman secara personal dan kultural, dan mendapati dirinya berada dalam ketegangan yang tidak pernah berakhir  antara tatanan normatif adat, negara dan agama, namun sekaligus  juga memiliki kesempatan untuk bermain di antara ketiganya.

Darmanto. Bekerja dan Menetap di Pulau Siberut sejak 2003. Publikasinya yang terakhir, Berebut Hutan Siberut: Orang Mentawai, Kekuasaan dan Politik Ekologi (KPG Jakarta: 2012). Sekarang sedang menyiapkan disertasi tentang ‘Food, Development, and Subject on Siberut Island’

Daftar Pustaka

Arwani, M. 2008.  Zina dan kumpul kebo dalam perspektif hukum Islam (Studi atas delik zina dan kumpul kebo dalam RUU KUHP 2005). Skripsi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Aragon, L. V. 2007. Elite competition in central Sulawesi. Dalam Nordholt, H. S. & Klinken, G. V. (peny.). Renegotiating boundaries: local politics in post-Soeharto Indonesia. Leiden: KITLV Press. Hal 39-68.

Benda-Beckmann, V. K. 1981. Forum shopping or shopping forums: dispute processing in a Minangkabau village in West Sumatra. Journal of Legal Pluralism. 19: 117-159

Benda-Beckmann, V. F dan V. K. Benda-Beckmann. 2007. Dalam Nordholt, H. S. & Klinken, G. V.  (peny.). Renegotiating boundaries: local politics in post-Soeharto Indonesia. Leiden: KITLV Press. Hal 417-441.

Benda-Beckmann, V. F dan V. K. Benda-Beckmann. 1999. Community-based tenurial right: emancipation or indirect Rule.  Dalam K. von Benda-Beckmann dan H. Finkler (peny.). Folk law and legal pluralism: societies in transformation. Papers of the XIth International Congress. Hal 169-187. Ottawa: Commission on Folk Law and Legal Pluralism.

Bushar, M.  2000. Pokok-pokok hukum adat. Jakarta: Pradnya Paramita.

Davidson. J. S. 2007. Culture and rights in ethnic violence. Dalam Henley, D & Davidson, J.S (peny.). The Revival tradition in Indonesia Politics. The deployment of Adat from colonialism to indigineism. London: Routledge. Hal. 224-246.

Gatra. 2002. Norma baru hidup bersama. 3 Oktober 2002. Edisi 47.

Grifith, J. 1986. What is legal pluralism. Journal of Legal Pluralism and Unofficial Law, 24: 1-56.

Hammons, C. S. 2010. Sakaliou: reciprocity, mimesis and the cultural economy of tradition in Siberut, Mentawai Islands, Indonesia. Disertasi PhD the USC Graduate School, University of Southern California.

Henley, D & Davidson, J.S. 2007. Introduction: radical conservatism—the protean politics of Adat. Dalam Henley, D. & Davidson, J.S. (peny.). The Revival tradition in Indonesia Politics. The deployment of Adat from colonialism to indigineism. Routledge. London. Hal. 1-49.

Klinken, G.V. 2007. Return of the sultan: the communitarian turn in local politics. Dalam Henley, D & Davidson, J.S (peny.).  The Revival tradition in Indonesia Politics. The deployment of Adat from colonialism to indigineism. Routledge. London. Hal. 149-169.

Katjasungkana, N. 2013. Revisi KUHP bias gender dan bias kelas. Diunduh dari www.Islamlib.com. Tanggal 15 April 2013.

Katjasungkana, N. 2010. Hormati tubuh perempuan. Kompas, 21 /04/2010.

Kompas. 2013a. 3 Daerah toleransi kumpul kebo. 23/03/2013.  www.kompas.com. Diunduh tanggal 26 Maret 2013.

Kompas. Sosiolog: sebagian masyarakat anggap biasa video “Ariel”. 30/12/2010. www.kompas.co.id. Diunduh tanggal 4 April 2013.

Li, T. M. 2007.  Adat in Central Sulawesi: contemporary deployment. Dalam Henley, D. & Davidson, J. S. (peny.). The Revival tradition in Indonesia Politics. The deployment of Adat from colonialism to indigineism. Routledge. London. Hal. 337-370.

—- . 2001. Masyarakat Adat, difference, and the limits of recognition in Indonesia’s Forest Zone. Modern Asian Studies, 35 (3): 645-676.

Lindsay, C. 1992. Mentawai shaman: keeper of the rainforest. New York: Aperture.

Loeb, E. M. 1972.  Sumatra: its history and peoples. Oxford University Press. Singapore. Hal. 158-192.

Loeb. E. M. 1928. Mentawei religious cult. University of California publications in American archaeology and ethnology, 25 (2): 185-247.

Luth, M. 1980. Hukum perkawinan adat di Mentawai. Cakrawala, 12 (4): 42-84.

Marky, J. M. 2012. Menyoal RUU KUHP pasal pidana ‘kumpul kebo’. Direktorat Jenderal Bumbingan Masyarakat Islam. Jakarta: Kementerian Agama.

Nurshiyam. H. 2004. Kebijakan kriminalisasi kumpul kebo (cohabition) dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia. Semarang: Thesis Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro

Nooy-Palm, H. 1968. The Culture of the Pagai-Islands and Sipora, Mentawei. Tropical Man, 1: 152-241.

Okezone. 2013. Dewan Adat: Tak Ada Kebiasaan Kumpul Kebo di Mentawai. 26/3/2013.  Diunduh tanggal 2 April 2013.

Persoon, G.A.  2002. Isolated Islanders or Indigenous People: The Politic Discourse and Its Effects on Siberut Mentawai Archipelago, West-Sumatra. Jurnal of Anthropologi Indonesia, 68: 25-39.

Persoon, G.A. 2002. Defining wildness and wilderness: Minangkabau images and actions on

Siberut, West Sumatra. Dalam Benjamin, G & Chou, C (peny.). Tribal commmunities in the

Malay world. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. Hal 439-456.

Reeves, G. 2004.  From Single to Couple and Somewhere In Between. Diunduh dari http://www.mentawai.org. pada 4 Desember 2004.

—- . 1999. History and ‘Mentawai’: Colonialism Scholarship and Identity in the Rereiket, West Indonesia. Australian Journal of Anthropology, 10 (1): 34-55.

Republika. 2011. Dewan Adat Dayak Kalbar Somasi Sosiolog UI Thamrin Amal Tamagola. 09 /01/2011.  www. republika.com. Diunduh tanggal 2 April 2013.

Sangaji, A. 2007. The masyarakat adat  movement in Indonesia: a critical insider’s view. Dalam Henley, D & Davidson, J.S (peny.). The Revival tradition in Indonesia politics. The deployment of Adat from colonialism to indigineism. London: Routledge. Hal. 319-336.

Schefold, R. 2001. Three sources of ritual blessings in traditional Indonesian societies

Dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 157 (2): 359-381.

—- . 1991. Mainan bagi Roh: Kebudayaan Mentawai. Jakarta: Pustaka Jaya

—- . 1980. The sacrifices of the sakuddei Mentawai archipelago,  Western Indonesia: an attempt to classification. Dalam R. Schefold, J. W. Schoorl, & J. Tennekes (peny.). Man, Meaning, and History: Essays in Honour of H.G. Schulte-Nordholt. Hague: Martinus Nijhoff.

—-. 1973. Religious conceptions on Siberut, Mentawai. Berita Kadjian Sumatera, 2

(2): 12-24.

Sihombing, H. 1960. Mentawai. Jakarta: Pradnya Paramitra.

Soepomo, R. 1977. Bab-bab tentang hukum Adat. Jakarta:Pradya Paramitha.

Sudarto. 1974. Suatu dilemma dalam pembaharuan sistem pidana Indonesia Pusat Studi Hukum dan Masyarakat. Semarang: Universitas Diponegoro.

Tempo. 2013a. Orang Mentawai protes disebut suka kumpul kebo. 26 /03/013. www.tempo.co.id Diunduh tanggal 2 April 2013.

Tempo. 2013b. Pakar: sulit memperkarakan kumpul kebo. 23/03/2013. www.tempo.co.id. Diunduh tanggal 4 April 2013.

Tempo. 2013c. Majelis Adat Dayak vonis Thamrin Amal Tomagola bersalah. 22/01/ 2011. www.tempo.co.id. Diunduh tanggal 14 April 2013.

The Globe Journal. 2011. Bali, Mentawai, dan Minahasa bolehkan kumpul kebo 23/3/2011.

Tribun Jogja. 2011. Thamrin Tomagola siap hadapi sidang Adat Dayak. 22/01/2011. www.jogjatribunnews.com. Diunduh tanggal 2 April 2013.

Tsing, A. L. 1998. Di bawah bayang-bayang Ratu Intan: proses marjinalisasi pada masyarakat terasing. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Tulius, J. 2012. Family stories: oral tradition, memories of the past, and contemporary conflict over land in Mentawai—Indonesia. Disertasi Universitas Leiden. Tidak dipublikasikan.

Zulkarnain, T. 2013. KUHP baru dan kumpul kebo. Republika 30/Maret/2013.


[1] Kumpul kebo diambil dari bahasa Jawa, yang secara harfiah berarti hidup (seperti) kerbau. Oleh kamus bahasa Indonesia istilah ini didefinisikan sebagai ‘hidup bersama sebagai suami istri di luar pernikahan’. Dalam konteks Rancangan KUHP yang disebut dalam tulisan ini, kumpul kebo termasuk dalam kategori ‘perzinahan’ yang tercantum dalam pasal 485. Di situ disebutkan, setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan yang sah, dipidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana paling banyak Rp 30 juta.
 

BAGIKAN: