Rupa-rupa Siksa Kepada Seorang Gay

Malam hari  awal tahun 2007 di Aceh, di sebuah rumah tinggal yang juga digunakan sebagai warung kopi, Hartoyo (atau yang akrab disapa Toyo) dan Boby (bukan nama sebenarnya) sedang berdua-duaan. Teman-teman Toyo dan Boby yang berkerja di warung itu juga ikut tinggal di sana. Namun perasaan Toyo mendadak tidak enak. Ada yang tidak beres pada malam tanggal 21 Januari 2007 itu.

Benar! Ketika jarum jam menunjukkan pukul sepuluh lewat, terdengar suara keras, “Brak.. brak… brak…” Pintu kamar nyaris somplak karena didobrak dari luar. Beberapa orang tak dikenal merangsek masuk dan langsung memukuli kedua lelaki dewasa itu di dalam kamar. Bogem mentah mendarat dimana-mana, kadang di pipi, dahi, mulut, pelipis, dan hantaman liar di sekujur tubuh. 

Cukup lama kiranya orang-orang itu memukuli Toyo dan Boby, sampai akhirnya mereka menyerahkan pasangan itu ke kantor polisi. Warga tidak membawa mereka ke Wilayatul Hisbah (WH) atau polisi Syariah Aceh, karena takut masuk koran. 

Di dalam hati, Toyo berharap segera mendapat perlindungan kepolisian dari amukan warga. Namun kemalangan justru menghampirinya. Toyo dan Boby dijemput oleh empat orang anggota kepolisian Bandaraya, Aceh. Sesampai di kantor polisi, kedua pasangan gay itu dipaksa untuk membuka pakaian, telanjang. Selanjutnya, mereka kembali dipukuli. Kini, bukan warga yang menghakimi, tapi anggota kepolisian Bandaraya. 

Dengan tubuh penuh luka tanpa sehelai benang pun, kedua pasangan gay itu dipaksa untuk melakukan adegan oral seks dan onani. Dengan terpaksa, Toyo dan Boby melakukannya di hadapan tujuh orang anggota polisi lain yang ikut tertawa lebar melihat pasangan gay yang sedang disiksa itu. Tak cukup sampai di situ, mereka juga disemprot air dan kepala mereka juga ikut dikencingi. Bahkan ada salah satu anggota kepolisian yang menodongkan senapan laras panjang pada kemaluan mereka. 

Toyo dan Boby berupaya melawan. Namun, sekali terlihat ada upaya perlawanan, kedua kembali merasakan pedihnya jotosan. Satu kali protes, satu kali pukulan. Begitu seterusnya. Sampai akhirnya, mereka masuk ke dalam sel tahanan. 

Pada saat pihak kepolisian menyusun laporan yang berisi alasan penahanan Toyo dalam BAP (Berita Acara Pemeriksaan), mereka mencantumkan perbuatan cabul sebagai unsur pemidanaan. Toyo menolak menandatangani BAP itu, lantaran ia tahu jika umur Boby masuk kategori usia dewasa, bukan anak-anak. Pun, kepolisian hanya mencantumkan peristiwa pemukulan yang dilakukan oleh massa kepada Toyo dan Boby. Sementara peristiwa penyiksaan oleh anggota kepolisian kepada pasangan gay itu tidak dituliskan dalam kronologi kasus. 

Malang bagi Toyo, ia tak punya pilihan selain menandatangani BAP itu. Menolak berarti harus ditahan kembali, dan, pasti disiksa lagi. Akhirnya, ia membubuhkan tanda tangannya di BAP itu.    

Menuntut Keadilan

Toyo pun dijemput kawan-kawannya setelah resmi keluar dari tahanan Polsek Bandaraya pukul setengah lima sore. Ia tak lagi pulang ke kampung halaman, melainkan ke Jakarta bersama teman-temannya. Toyo berniat melaporkan kejadian yang menimpanya kepada Kapolri. Waktu itu, Kapal Perempuan (NGO Perempuan), ikut membantu melayangkan gugatan. Sayang, gugatan yang ia ajukan hanya berlaku untuk kasus indisipliner. Untuk itu, berkas perkara akan dikembalikan ke Aceh. 

Tidak puas dengan respon aparat penegak hukum, Toyo bersama Imparsial dan Pengacara dari YLBHI pada tanggal 8 Maret 2007 berangkat ke Aceh. Ia berniat melaporkan kronologi peristiwa yang dialaminya ke Polsek Bandaraya. Akhirnya Toyo memperoleh bukti laporan beserta visum psikologis yang dirujuk oleh kepolisian. Namun sekali lagi ia kecewa. Pasalnya, bukti berupa visum psikologis itu tak pernah ia mengerti apa isinya. Pihak kepolisian dan psikolog terkait, menyusun visum itu secara tertutup. 

Merasa kasus terkesan ditunda-tunda penyelesaiannya, Toyo pun makin giat membawa persoalan tersebut ke ruang yang lebih luas. Ia melaporkan kasusnya ke Komnas HAM, Komnas Perempuan, Amnesti Internasional, bahkan PBB. Hingga, pada tanggal 8 Oktober 2008, ia mendapat panggilan dari kepolisian untuk menjalani proses persidangan. Namun, alasan tidak hadirnya Boby sebagai saksi memperlemah posisi Toyo. Padahal selain Boby, ada saksi lain yang bisa dihadirkan dan menjelaskan penyiksaan yang dilakukan oleh polisi-polisi Bandaraya. Di samping itu, keberadaan barang bukti berupa pakaian Toyo yang terkena air kencing, tak pernah disinggung sebagai alat bukti.

Kasus Toyo dilakukan dengan cara sidang cepat. Keempat pelaku penyiksaan dijatuhi hukuman tiga bulan tahanan dengan masa tahanan percobaan, dan denda Rp.1000,- atas dakwan tindak pidana ringan (tipiring), bukan penganiayaan. 

Namun Toyo masih keberatan dengan putusan tersebut, sebab penyiksaan yang dilakukan oleh polisi kepada dirinya adalah bentuk kekerasan negara kepada masyarakat sipil.[]

 

BAGIKAN: