Kota Biak yang penuh pesona wisata alam, manusia maupun karya seninya menarik para pemburu dolar mengejarnya tanpa memperhitung nilai akan manusia yang punya ulayat tanahya . Masyarakat Biak yang memiliki ulayat sangat jauh dari gapaian bahkan terakhir masayarakat Korem dipaksa pindah demi membangun satelit skala internasional . Lalu hendak dikemanakan masyarakat ini . Kebijakan tidak lebih dari marginalisasi penduduk pribumi Biak ini tanpa memperhitungkan nilai akan manusia , alam dan seni yang dimilikinya . Hendak dikemanakan hak kesulungan mereka sebagai anak negeri yang punya tanah ini ? Atau pembajakan karya seni tarik suara masyarakat asli Biak . Nyaris setiap emperan toko atau penjual kaset CD Bajakan menjual hasil karya musik orang asli Biak .
Dengan dijualnya kaset mereka di emperan toko ini dinilai sebagai kaset bajakan bisa dibajaki oleh pemburu dolar . Tanpa menghargai hasil karya, keringat orang asli Biak . Tidak tempat yang disediakan untuk mengakomodirkan karya-karya seni suara orang asli Biak . Karya mereka dinilai, dianggap sebagai karya imitasi . Padahal dalam memproduksi sebuah kaset mengeluarkan biaya, tenaga, dan waktu yang tidak sedikit. Pemerintah belum menyediakan fasilitas pemasaran , tempat produksi padahal jika dikalkulasikan ribuan artis local Biak tersebar seluruh Kabupaten Supiori dan Biak . Namun selama tidak dihargai, diakui sebagai artis Papua yang tidak kalah pentingnya dengan artis papan atas di Indonesia . Namun dalam realitasnya potensi alamiah orang asli Biak tidak ada nilainya di mata pemburu dollar, birokrat, maupun politisi. Nilai artis Papua lebih rendah dari nilai artis Indonesia . Lalu apa bedannya ? Apakah hanya karena warna kulitnya , atau rambutnya sehingga para bupati, walikota atau politisi lainnya berlomba-lomba mendatangkan artis Indonesia ketimbang orang asali Papua ? Kembalilah pada nurani dan keprihatinan seorang Gubernur, Bupati , Walikota, Sekda, Kepala Dinas dan jajarannya . Apakah ada hati atau tidak. Tetapi sangat nian kalau seorang pemimpin orang Papua sendiri tidak menghargai karya adik-adik negeri yang notabenenya rambut dan kulitnya sama .
Lalu bagaimana kondisi ketermarginalan penduduk Asli Nabire ? Apakah ketersisiannya sama dengan daerah lain di Papua, Indonesia bahkan Internasional? Kapan penduduk Asli diperhitungkan, dihargai, diberikan kesempatan untuk berekspresi diatas tanahnya sendiri ? Bagaimana sepak terjang masayarakat pribumi Nabire dalam perjuangan keluar dari perjuangan mereka ? Penduduk Asli Nabire yang dimasudkan dalam tulisan adalah masyarakat nabire yang mendiami dipinggiran pesisir ini mulai dari Goni sampai Samanui .
Mereka inilah yang punya hak kesulungan mereka yang selayaknya mendapat tempat dalam berbagai aspek kehidupan di daerah ini . Tak seorang pun manusia yang berada di negeri Nabire yang kaya akan emas dan madu ini merasakan , sadar bahwa kita menikmati , mencari nafkah hidup diatas negeri mereka . Tak pernah juga merasa , sadar dan bersyukur atas keluguan masyarakat pribumi menerima kaum migrant dari paniai maupun migrant dari luar Papua sehingga kita dapat menikmati hidup dengan lelauasa pula mencari nafkah . Lalu apa balas jasa kita kepada masyarakat pribumi Nabire yang selama dipinggirkan oleh system pemerintahan , ekonomi , pendidikan dan lainya . Selama ini masyarakat pribumi menyaksikan dari Moor, Mambor, Arui, Napan, Makimi , Kwatisore , Goni sampai Samanui sandiwara kesombongan , penindasan, peminggiran kita kepada mereka . Sebagai manusia sakit hati dalam kondisi keterjepitan masayarakat Nabire Asli namun apa daya tangan tak sampai memeluk tanjung borate . Sudah sekian tahun lamanya para pemburu dolar, jabatan, ( politis, birokrat) termasuk kaum migran ( luar Papua maupun dalam Papua) telah meminggirkan kaum pribumi Nabire ? Kapan ada waktu, kans, peluang untuk mereka ? Adakah diantara kita semua ini telah sadar akan peminggiran penduduk asli Nabire ? Entahlah, tetapi yang jelas kisah sedih peminggiran akan bernaung di dalam lubuk hati setiap manusia penduduk asli Nabire sepanjang manusia asli Nabire masih hidup diatas Negeri Nabire ini .
Hajat Musyawarah Besar Aliansi Masyarakat Pesisir dan Kepulauan adalah titik puncak kulminasi pelampiasan akan ketermarginalan penduduk asli Nabire yang punya hak atas tanah, manusia dan lainya . Mubes merupakan wadah pelampiasan emosi orang asli Nabire akan keterjepitan , pembiaran , penindasan kepada penduduk asli Nabire sebab dalam kenyataan masyarakat asli Nabire jarang diperhitungkan dalam semua dimensi kehidupan sehingga jangan heran dalam waktu sekejab secara emosional mampu menyatukan mereka demi memperjuangkan hak-hak juga berusaha keluar dari kunkungan ketermarginalan orang Asli Nabire .
Selama ini masyarakat Asli Nabire menjerit , menangis, mencari tempat perlindungan ,namun jarang mendapat tempat yang layak sebagai anak sulung dari semua orang yang ada dan menikmati hidup di negeri Nabire ini . Selama ini mereka meneteskan tangisan airmatanya di pulau-pulau,dijalan, dipinggiran pesisir pantai nusi sambil menyaksikan terbenamnya sang surya di ufuk barat Goni . Nyayian, jeritan, tangisan dalam kebisuan malang anak negeri Nabire tak jarang didengar, ditangkap , diterima oleh manusia yang rakus akan kuasa,uang dan jabatan di Negeri ini . Kapan akan akan kita balas semua jasa baik menerima , merelakan kita mencari dan menikmati hidup di Nabire ini ? Apa salah dan dosa bila hak kesulungan ini kita berikan kesempatan dan peluang kepada Anak Asli Nabire untuk menjadi Bupati Nabire sebagai tanda penghargaan kita. Kita sudah lama dan banyak menikmati, merampas hak kesulungan dan kekayaan( jabatan, menguras kekayaan SDA, menindas manusia ) di negeri mereka maka tidak salah kalau kita kasih kesempatan dan keleluasaan kepadanya untuk memimpin , membawa kita sesuai kemamuan,keberadaannya sebab Nabire adalah miliknya . Akan hal ini Undang –Undang Otsus menjamin agar Orang Nabire dapat Menjadi Tuan Di Negeri Sendiri maka sangat tidak salah kalau Bupati mendatang adalah Orang Asli Nabire demi mengangkat , memperjuangkan hak-hak masyarakat adat Nabire dari ketermarginalan yang ada sejak lama hingga saat ini.
Maka simpulannya bahwa uu otsus tahun 2001 yang didambakan masyarakat pribumi ini bukan retorika melainkan bukti keberpihakan , mpemberdayaan Orang Asli Papua dari ketermargilan semua semua dimensi kehidupan . Para pejabat bukan saatnya retorika dibalik meja melainkan bukti mengangkat rakyat asli Papua dari semua ketersisian . Disini Rakyat Papua menantikan Seorang Figur pemimpin yang “gila” dengan kebijakan ,keputusan , program yang berani ,gila yang dapat melawan system kebobrokan yang selama ini terbangun dalam semua dimensi kehidupan . Rakyat Papua menantikan orang “Gila” yang benar-benar melawan system hanya demi memihak kepada rakyat Papua . Semoga ke depan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang “gila” akan kprihatinan orang Asli Papua. Emanuel Goo, Wartawan tinggal di Nabire, Papua