Dalam Identitas-identitas Budaya, Subyek berada pada sisi yang beragam dan saling berseberangan. Keserbaragaman Identitas-identitas Budaya itu sendiri berlangsung secara terus menerus: dimana pengalaman identitas kita selalu saling melengkapi untuk melahirkan Subyek yang berada dalam satu kesatuan besar. Bagaimanapun juga, budaya merupakan proses identifikasi dimana kita selalu mengasumsikan identitas yang satu dengan yang lain. Penetapan identitas tertentu itu sendiri menunjukan hubungan kekuasaan dan budaya: dimana identitas tertentu dinormalisasi sedemikian rupa melalui deligitimasi budaya yang lainnya.
Dalam salah satu artikelnya,Stuart Hall membedakan dua model identitas budaya. Model pertama adalah Identitas-identitas Budaya yang diistilahkan ‘satu budaya untuk semua’, dimana pengalaman satu budaya menghdirkan ‘diri’ denga segala kealamiahan atau intisarinya. Disini, Budaya dan Identitas dipandang sebagai sesuatu yang tidak berubah, tetap dan berkelanjutan menjadi kerangka untuk penafsiran dan pemaknaan. Model kedua memandang Identitas-identitas Budaya sebagai sesuatu yang datang dari suatu tempat, yang mempunyai modalitas tertentu, namun memahami sejarah sebagai sesuatu yang terputus dan tercerai-berai. Disini budaya bukan sebagai ruang sepenuhnya tertutup, namun ruang begitu kontradiktif dan beragam dimana perbedaan adalah sesuatu yang membangun dan bagian bagian yang asali.
Titik balik Identitas ke Identitas-identitas begitu berpengaruh pada gerakan feminisme kaum Kulit Hitam. Jika identitas dipahami sebagai sesuatu yang identik dengan dirinya sendiri, hingga ketika menjelaskan ‘identitas perempuan’ mengasumsikan bahwa pengalaman semua adalah sama.Kelmpok Feminis Kulit Hitam mengatakan bahwa bahwa apa yang disebut sebagai identitas perempuan itu tidak lebih adalah identitas perempuan kulit putih, dengan begitu perempuan kulit hitam menjadi Liyan dari apa yang didefinisikan sebagai perempuan. Audre Lorde secara keras mengatakn bahwa ketika perempuan kulit putih mengabaikan privelese bawaan Kulit Putih dan kemudian mendefinisikan ‘perempuan’ berdasar pengalaman mereka sendiri, maka para perempuan Kulit Berwana non Kulit Putih menjadi Liyan, orang luar yang pengalaman dan tradisi begitu asing dan susah dipahami oleh mereka.
Salah satu imbas dari kritik etnosentrisme teori feminis Kulit Putih adalah pengakuan bahwa ‘perempuan’ atau ‘gender’ bukanlah suatu kategori yang tertutup. Yaitu, identitas-identitas kultural tersebut beragam dan simultan: pengertin tentang diri kita tersebut saling berkaitan satu sama lain dalam identitas-identitas tersebut. Identitas juga bukanlah pertambahan semata atas ras, keas dan gender. Namun identitas adalah transformasi dimana pengalaman kita dalam setiap identitas berpengaruh satu sama lain.
Kelompok Feminis Kulit Hitam, dalam wacana ini juga menyodorkan pemahaman alternatip hubungan antara identitas dan keberbedaan. Dalam satu model, identitas tu hadir ketika keberbedaan itu disingkirkan (perempuan mempunyai identitas yang sama atas keberbedaan mereka dengan apa yang bukan perempuan). Namun dalam identitas-identitas budaya ditekankan bahwa keberbedaan itu bersifat dari dalam bukan dari luar. Jadi terdapat perbedaan dalam kategori ‘perempuan’ bukan semata-mata dari luar kategori tersebut. Karena Identitas-identitas budaya adalah wujud saling pengaruh mempengaruhi satau sama lain antara identitas dan keberbedaan.
Jadi disini identitas tidak dilihat semata-mata sebagai milik individu yang menandai keunikan kita sebagai diri. Dalam Identitas-identitas Budaya, bahwa budaya selain melakukan proses identifikasi dimana setiap manusia memiliki identitas (seperti laki-laki dan perempuan) namun juga melahirkan identitas tersebut. Judith Buttler mengatakan bahwa jender merupakan proses identifikasi dimana kita mengasumsikan identitas seksual kita. Lebih jauh Buttler mengatakan identitas bukanlah tindakan tunggal atau kejadian tunggal namun merupakan pengkutipan norma sosial yang mengatur. Misalnya dengan meng-identfikasi sebagai perempuan kita harus merujuk atau mengutip berbagai aturan hukum atau naskah sosial yang mendefinisikan keperempuanan. Jadi identifikasi tersebut tidak lebih dari fantasi tentang keperempuanan, dengan begitu hal-hal lain diluar aturan itu yang mungkin muncul dilarang untuk dimunculkan.
Jadi ketika berbicar mengenai proses identifikasi atau memahami identitas sebagai kehadiran diri itu bukan semata-mata menegaskan kepada kita bahwa kita mempunyai kekuatan untuk mengubah identitas kita. Namun sesungguhnya identifikasi itu terjadi pada tingkatan budaya yang mencakup proses penetapan satu makna atas makna yang lain. Artinya ke-kelas pekerja-an bukanlah semata-mata identitas milik sebuah subyek, namun merupakan bagian proses identifikasi yang memiliki imbas material tertentu. Jadi diidentifikasi atau mengindentifikasi sebagai kelas pekerja itu memberi seperangkat pengetahuan tentang apa yang bisa dan tidak bisa kau lakukan, bagaimana dan seperti apa untuk menjadi makmur dan sebagainya. Meski identifikasi semacam ini juga tidak sepenuhnya menentukan. Identifikasi, dimana mereka mengutip atau merujuk norma sosial, membuka potensi norma yang dikutip tersebut berulang denga keberbedaan.