Oleh Ingwuri Handayani
Kasus pembongkaran gereja Gekindo Getsemane oleh Camat Tambun Selatan, Bekasi, memiliki cerita panjang nun memilukan. Berikut kesaksian Pendeta Pestarya Hutajulu:
Tanggal 12 juni 2008, saya dengan pak Marbun (pendeta HKBP Jati Mulya), pergi ke seluruh pejabat: ke Bupati, ke Sekda, ke Camat, ke Polsek ke Lurah, kemana saja yang berkaitan. Kami antar surat dari Komnas HAM dan surat laporan kami ke Polda. Sebenarnya, kami sangat berharap mereka tidak lagi membongkar.
Nyatanya, tanggal 14 juni 2008, mereka datang. Saya tidak pergi ke sana. Tapi, saya ditelepon oleh orang-orang di situ. “Ibu Pestarya datang ke sini, sudah banyak orang datang ke sini, gereja mau dibongkar.”
Akhirnya saya pergi ke sana. Saya telepon-telepon jemaat, akhirnya mereka datang. Lalu, kami kumpul di gereja. Benar. Aparat kecamatan datang.
Saya berfikir, “Tuhan saya masih perlu ngomong lagi nggak?” batin saya. Saya betul-betul bergumul. Rasanya, saya tidak bisa lagi melawan jeritan hati saya. Tetapi saya harus katakan dalam hati: “Tuhan aku harus bisa menguasai diri, Tuhan tolong saya Tuhan Yesus. Tuhan Yesus, aku harus bisa menguasai diri.”
Ada Kapolsek di sana. Dan, dari Polres juga hadir. Banyak polisi di situ. Mereka memakai pakaian dinas seragam lengkap. Lalu, saya bilang ke Pak Camat: “Pak apakah harus dibongkar?” Dia diam. Lalu saya berkata, “Baik lah karena saya punya Tuhan mengajar saya untuk menghormati pemerintah, di Al Kitab, tertulis bahwa, pemerintah itu adalah Hamba Allah. Jadi saya tidak mau berbantah-bantah. Tapi sebelum bapak membongkarnya, izin kan kami berdoa dulu.”
Dia diam. Akhirnya saya pimpin doa. Begitu selesai berdoa, Pak Camat bilang, “Bongkar!” Trantib langsung naik ke atas. Kemana-mana. Jendela yang masih ada, pintu-pintu yang masih ada dibuka. Waktu naik ke atas, saya katakan ke jemaat, “Tolong supaya tidak ada yang menangis lagi. Tidak perlu kita harus menangisi gedung ini, tangisi saja lah dirimu. Tangisilah bangsa ini, tangisilah pejabat-pejabat bangsa ini, tangisilah pemerintah karena sudah tidak ada lagi keadilan di sini, jangan tangisi gedung ini. Gedung ini, halah, hanya fisik doang”.
“Kalau Tuhan mau kasih, bagi Tuhan tidak mustahil. Marilah kita menangisi bangsa ini, karena di tengah-tengah bangsa ini sudah tidak ada lagi keadilan, di tengah-tengah bangsa ini sudah tidak ada lagi hati. Semua sudah mati rohani. Hati nuraninya sudah mati.” Saya kemudian bilang ke Pak Camat, “Ingat pak, kalau bapak masih punya hati nurani, jangan lakukan. Karena, barang siapa yang membinasakan milik Allah pasti akan mendapat hukuman-Nya. Tapi saya bukan menakut-nakuti. Saya hanya mengingatkan saja.”
Tapi, tetap saja dibongkar. Naik lah mereka ke atas. Waktu asbes yang ke empat, ada satu orang yang jatuh. Kami ingin melihat. Tapi, kami tidak boleh masuk ke lokasi. Mereka sudah melakukan pagar betis. Dan tiba-tiba, entah kapan instruksinya, mereka bubar. Camat pergi. Kapolsek juga pergi. Satu per satu pergi. Akhirnya, pembongkaran berhenti di situ. Setelah ada yang jatuh.
Tanggal 15 Juni, apapun yang terjadi, saya akan kebaktian di sini. Apapun yang terjadi. Mempertahankan kepunyaan saya, saya berani mati. Tanggal 15, kami HKBP dan Gekindo, beribadah di sana.
Mulai tanggal 16 Juni, suasana heboh. Bolak-balik saya ditelepon. Saya bilang, “Saya orangnya keras dalam hal ini. Saya tidak mau lagi negoisasi dengan siapapun.” Saya tidak mau lagi wawancara, tidak mau lagi ada pertemuan. Saya hanya mau realisasi pernyataan tanggal 30 Oktober 2005.
Hari Senin, Selasa, Kamis, seluruhnya ingin bertemu. Teman-teman pendeta telepon, “Saya minta tolong ibu.” Saya bilang, “Tidak. Sama siapapun saya tidak percaya. Jangan kan Kapolsek, Kapolres, Kapolda saja tidak digubris.” Bahkan, tanggal 31, saat saya ke puncak, saya matikan telepon gengam saya. Sekitar jam satu siang, khawatir baterai habis, saya buka telepon. Begitu saya periksa, ada 99 panggilan. Ketika sedang terbuka itu, telepon lah Pak Marbun: “Tolong Inang, saya minta maaf.” Saya katakan, “Mati pun di tempat saya sudah siap. Saya tidak perlu takut. Besok pagi saya sudah di situ.”
Subuh aku berangkat. Pagi, aku datang. Pagi, baru saya dengar berita, rupanya sudah disebarkan bahwa tidak boleh lagi ada kebaktian. Saya bengong. Saya sempat diam seribu bahasa.
Saya mungkin orang yang terlalu keras, tetapi saya tidak mencuri. Demi nama Tuhan, di Jatimulya ada empat ribu orang Kristen yang membutuhkan tempat beribadah.[DEPORT]