Masa urusan perut kita dijawab dengan pasal-pasal?” celetuk Mohammad Sobari saat memberi orasi kebudayaan dalam acara peringatan mendiang aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), Munir, yang bertajuk “2nd Munir Memorial Lecture” di Laboratorium Gedung 9 FIB Universitas Indonesia (UI), Jumat, 5 September 2008.
Budayawan gaek ini memaksudkan celetukannya itu pada konteks upaya penyelesaian berbagai tindak kejahatan, ketidakadilan, kekerasan, ketidakmausiawian yang tampaknya menjadi problem keseharian bangsa ini. Ia menegaskan bahwa urusan-urusan kemanusiaan mekanisme penyelesaiannya tidak bisa sepenuhnya dipasrahkan pada aturan legalistik-formal, baik level nasional maupun internasional, seperti hukum Hak Asasi Manusia (HAM), yang saat ini dijadikan sebagai alat utama dalam menyelesaikan berbagai problem tersebut. Pada kerangka perwujudan keadilan dan pembangunan peradaban yang lebih humanis, Sobari bersepakat dengan kehadiran instrumen tersebut. Namun dia mengingatkan bahwa penggunaan instrumen HAM dengan sendirinya membuat sebuah rumusan penyelesaian persoalan kemanusian yang masih bergantung sepenuhnya pada negara. Di situ, Negara masih diandaikan sebagai kekuatan kunci (pusat) yang bisa mengayomi seluruh ragam tatanan partikular dalam sebuah keteraturan kosmis dan menghalau segala ancaman terhadap mereka. Padahal, fakta sejarah tidak berkata demikian. Masyarakat memiliki logikanya sendiri dalam memahami dan memenuhi hak dasar mereka. Dengan itu pula, mereka memiliki mekanisme penyelesaiannya tersendiri terhadap apa-apa yang mengganggu dan dapat menghilangkan hak mereka.
Kebergantungan terhadap negara inilah yang membuat Sobari harus mengkritik logika para aktivis HAM di Indonesia selama ini yang selalu menyandarkan dan mengalamatkan kesalahan-kesalahan atas serangkain problem kemanusiaan kepada negara. Pengalamatan kesalahan selalu kepada negara ini merupakan ekses dari paradigma dasar yang ada dan dikembangkan dalam HAM itu sendiri yang mematok sebuah relasi ketat antara negara dengan masyarakat (individu). Negara sebagai pemangku kewajiban harus menghormati, mempromosikan, dan memenuhi hak warganegara. Sementara itu, warganegara adalah entitas yang harus dilindungi dan dipenuhi haknya. Sebuah relasi yang masih memainkan peran subyek-obyek.
Atas relasi demikian, negara kemudian menjadi alamat yang paling mudah dituju bagi kesalahan demi kesalahan atas problem kemanusian yang ada. Memang, negara adalah pihak yang, mungkin, paling mencolok dan wadag dalam melakukan berbagai kejahatan tersebut, namun ia bukanlah satu-satunya. Diri kita –dalam konteks ini adalah komunitas/kelompok masyarakat—juga turut bersalah. Karena dengan relasi tersebut, membawa diri kita menjadi entitas pasif, yang hanya bergantung dan menunggu peran negara. Padahal persoalan kemanusian sesungguhnya berakar pada setiap diri manusia, karena itu penyelesaiannya pun harus melalui cara-cara yang ada dan melekat pada diri mereka –yang oleh Sobari disebut sebagai gerakan kebudayaan-spiritual. Persoalan kemanusiaan bukanlah persoalan struktur (negara), bukan pula persoalan pasal-pasal (hukum) ataupun penegaknya.
Berangkat dari argumen demikian, Sobari kemudian memaklumatkan tentang tak perlunya seorang pemimpin. “Pemimpin yang pandai saja tidak perlu, apalagi pemimpin yang bejat,” tukiknya yang disambut gemuruh tepuk tangan dan tawa hadirin yang berjubal-jubal untuk memperingati meninggalnya aktivis HAM, Munir, yang dibunuh dengan racun arsenik .
Untuk memperkuat argumentasi dan seruannya agar bangsa ini mulai melupakan dan tidak mementingkan lagi seorang pemimpin dalam menjawab berbagai problem kemanusian yang mendera bangsa ini, Sobari menghadirkan beberapa contoh sejarah peradaban masa lalu yang pernah luluh-lantak oleh keganasan pasukan militer di bawah kepemimpinan Jengis Khan, namun mereka kemudian mampu bangkit dengan gerakan spiritual-kebudayaan, tanpa bergantung pada seorang pemimpin. Sebuah gerakan yang berangkat dari kesadaran terdalam dalam tiap diri mereka. Salah satunya adalah Persia.
Ihwal hancurnya Persia kala itu berawal dari ketika kekuatan militer Jengis Khan yang menakutkan menujukan ujung tombaknya ke negeri-negeri yang berdampingan. Mula-mula dia melabrak Hsi Hsia di timur laut Cina dan Kekaisaran Chin di utara Cina. Tatkala pertempuran berlangsung percekcokan timbul antara Jengis Khan dan Khwarezm Shah Muhammad yang memerintah kerajaan yang lumayan besar di Persia dan Asia Tengah. Di tahun 1219 Jengis Khan menggerakkan pasukannya melabrak Khwarezm Shah. Asia Tengah dan Persia diambil alih dan kerajaan Khwarezm Shah Muhammad dihancurluluhkan. Bersamaan dengan itu sebagian pasukan Mongol menyerang Rusia, Jengis Khan pribadi memimpin tentara menyerbu Afganistan dan India bagian utara.
Munculnya penyair yang juga tokoh besar sufi kelahiran Balkh (sekarang Afganistan), Jalaluddin Rumi, menurut Sobari merupakan satu penanda dari kebangkitan gerakan masyarakat dalam menata ulang peradaban mereka melalui spiritualitas. Singkat kata, gerakan seperti ini tidak butuh yang namanya pemimpin dan secara tidak langsung juga mengalpakan peran negara.
Dalam konteks Indonesia, khususnya bagi Islam, gerakan semacam ini tidak muncul dan menjadi kekuatan sosial karena Islam dan kedalaman spiritual hanya ditampilkan sebatas simbol dan jargon semata, bukan menjadi laku praksis. Dari sinilah peran ulama yang nota bene sebagai pewaris para nabi (waratsatul anbiya’) kemudian dipertanyakan. Pewaris dengan arti bukan dalam derajad kenabian, melainkan penerus cita-cita luhur membangun peradaban manusia dan tentu saja mewarisi semangat perubahan (revolusi) yang dimiliki para nabi.
Namun apa dikata, buruk rupa cermin dibelah. Begitu ilustrasi sementara kalangan menyoroti eksistensi dan kiprah ulama dewasa ini yang seolah lupa terhadap tugasnya sebagai pemandu dan pembimbing masyarakat, pengawal perubahan, dan penjaga peradaban manusia. Sebab tak jarang dari mereka yang justru larut dalam kumparan politik formal negara, sebuah ruang yang penuh dengan catatan gelap serta asing bagi mereka sebelumnya.
Kekhawatiran sejumlah kalangan mengenai keterlibatan para ulama/kiai di jalur politik praksis akan bisa memandulkan peran serta mereduksi amanah yang diemban mereka tampaknya cukup beralasan. Saat ini, para ulama/kiai yang ngobyek jadi politikus tak bisa mengelak dari kisruh politik yang sedang terjadi, bahkan tak jarang dari mereka dipasang sebagai bemper konflik interes sejumlah elit tertentu dan tak jarang pula akhirnya jadi tumbal. Hal ini menjadikan mereka lalai dengan agenda keummatan karena disibukkan dengan urusan-urusan politik semata, tugas pokok membangun peradaban manusia yang ramah pun sedikit banyak terbengkalai.
Lebih memprihatinkan lagi manakala ulama tampil bukan dengan karakter awalnya, yaitu dengan kearifan berfikir dan kesalehan laku yang dapat menyejukkan dan mendamaikan, ketika menghadapi berbagai persoalan yang mendera bangsa ini utamanya di ranah keagamaan. Justru tak jarang mereka turut serta memperkeruh berbagai gejolak tersebut dengan tampil layaknya hakim yang hanya mengenal dua istilah “hitam dan putih”. Fatwa-fatwa sesat MUI yang ditujukan kepada sejumlah aliran yang dianggap menyimpang adalah cermin dari pergeseran karakter ulama dalam menyikapi setiap permasalahan.
Jika demikian faktanya, lalu dari mana gerakan spiritual untuk membangun peradaban manusia yang lebih manusiawi tanpa bergantung pada pemimpin (negara) itu lahir? Bukankah sumbu-sumbu utama religiusitas (ulama) tengah menyala di ruang negara?
Pada titik ini, gagasan penafian negara dalam konteks penyelesaian terhadap berbagai kejahatan dan persoalan kemanusiaan di Indonesia tak mudah. Apalagi bagi kita yang sudah sekian lama nyenyak dalam episteme republik yang mensyaratkan adanya sebuah negara. Melompat dari kungkuan episteme itu dan mencoba menerima gagasan “tanpa negara” mungkin akan terasa tabu, sebab di sana ada sekian hukum kebenaran dan kekuasaan yang mendikte cara berfikir kita. Tapi bukankah bangsa ini dulu pernah hidup tanpa (konsepsi) negara, dan bisa?[] Desantara