Menjelang perayaan hari kemerdekaan Republik Indonesia ke-63, 17 Agustus 2008, Banyuwangi kembali dihangatkan oleh dikursus mengenai pahlawan nasional. Untuk sebuah upaya peneguhan identitas dan rasa bangga daerah, Banyuwangi mengusung tiga nama pejuang agar bisa dinobatkan sebagai pahlawan nasional. Mereka adalah: Wong Agung Wilis, Rempeg Jagapati dan Mas Ayu Wiwit.
Ketiga tokoh lokal yang dianggap berjasa melawan kolonial semasa kerajaan Blambangan ini sebenarnya sudah diajukan ke pemerintah tiga tahun yang lalu untuk ditahbiskan dan ditempatkan diantara deretan nama-nama pahlawan nasional lain yang sudah diresmikan. Namun selama itu pula belum ada kabar dan tanda-tanda bakal dikabulkannya permintaan mereka. Pemerintah masih mensyaratkan penerbitan buku biografi masing-masing tokoh tersebut direkomendasikan oleh Masyarakat Sejarah Indonesia (MSI).
Hasan Basri, salah satu budayawan lokal, mengatakan bahwa “Pengajuan pahlawan ini sangat penting untuk kebanggaan daerah, dan terbukti pada peringatan kemerdekaan RI sekarang ini banyak anak sekolah yang memerankan tokoh-tokoh tersebut.”
Dalam konteks Banyuwangi, perdebatan mengenai hal-hal yang terkait dengan kebanggan dan identitas kedaerahan sebenarnya bukanlah hal baru, utamanya di kalangan elit budaya dan politik daerah ini. Diskursus ke-Banyuwangi-an mulai dari sejarah, etnisitas, hari jadi, hingga budaya adalah hal lama yang selalu menemukan momentum kebaruannya. Persis seperti debat historiografi di kancah nasional, para elit budaya dan elit politik Banyuwangi tampaknya begitu dinamis melakukan intepretasi dalam merepresentasikan sejarah masa lalu Banyuwangi.
Pada tahun 2002, Bupati Banyuwangi kala itu, Samsul Hadi, dengan semangat berkobar mendeklarasikan gerakan budaya Jenggirat Tangi: sebuah gerakan peneguhan identitas Using yang diyakini sebagai wajah asli masyarakat lokal (Banyuwangi) dengan segala budaya, bahasa, dan kekayaan tradisinya. Menurut Samsul, masyarakat Banyuwangi adalah sisa-sisa kerajaan Blambangan yang terdesak oleh Mataram Islam juga Kolonial Belanda. Suku serta bahasa mereka adalah Using.
Dari gerakan politik budaya Jenggirat Tangi ini, lahir proyek budaya dan indentitas, yang terlacak, misalnya, dengan terbitnya beberapa Surat Keputusan (SK) Bupati bernomor 173 tertanggal 31 Desember 2002 dan SK bupati nomor 147 tahun 2007 tentang Gandrung (tari berpasangan) sebagai maskot wisata dan tari resmi penyambutan tamu (Jejer Gandrung). Ditambah dengan penerbitan kamus Bahasa Using, muatan lokal Bahasa Using dalam kurikulum pendidikan, penetapan hari jadi Banyuwangi, busana adat, buku resmi seni tradisi dan ritual (Seblang dan Gandrung), serta berbagai macam buku referensi yang mengarah pada pembakuan dan peneguhan identitas serta budaya tertentu. Dari sini, proyek peneguhan identitas kian menguat dan mendapat ruang yang lebar. Dari berbagai produk itu pula, Banyuwangi coba direpresentasikan.
Ironisnya, imaji identitas dan 'nasionalisme' masyarakat Banyuwangi yang dibayangkan oleh sekelompok elit tidak lain adalah 'terjemahan' pengetahuan dan catatan kolonial Belanda melalui pemikiran Lekkerkerker (Blambangan), Stoppelaar (Blambangan Adatrecht), Scholte (Gandroeng van Banjoewangi), van der Tuuk (Woorden van het Banjoewangisch dialect), Epp (Banjoewangi), Brandes (Verslag Over Een Babad Blambangan) dan sebagainya.
Catatan kolonial ini pula yang tampaknya sering dijadikan amunisi debat historiografi Banyuwangi, seperti terlacak dalam diskusi-diskusi dan karya tulis mereka yang saat ini menjadi 'acuan resmi' Using dan ke-Banyuwangi-an. Misalnya Hasan Ali (berdarah Pakistan) yang menyodorkan 3 sosok pahlawan lokal ini dalam Banyuwangi: Sebuah Problematik, Sekilas Puputan Bayu: Sebagai Tonggak Sejarah Hari Jadi Banyuwangi Tanggal 18 Desember 1771, Kamus Bahasa Using dan lain-lain. Begitu pun dengan Hasnan Singodimayan (Jawa-Santri) melalui Seblang Perjuangan, Gandrung Banyuwangi, Kota Gandrung dan Serambi Mekkah. Atau juga karya tulis lain dari budayawan Banyuwangi.
Akankah debat historiografi Banyuwangi hanya terjadi di meja-meja kelompok elit lokal saja? Dan hanya dari sana pula jendela untuk melihat identitas Banyuwangi terbuka? Bukankah otonomi daerah dengan semangat desentralisasi memberi ruang selebar-lebarnya bagi mereka yang selama ini suaranya tidak pernah terdengar? Desantara Report