Fitna dan Problem Multikulturalisme

Geger wacana anti-Islam lewat film Fitna besutan politikus dari golongan ultranasionalis, Geert Wilders, hanyalah isu permukaan. Bentuk Islamophobia yang diperlihatkan sejatinya berakar dari problem multikulturalisme di Belanda, utamanya soal migran. Wilders adalah tipe politisi ekstremis yang bermimpi menutup Belanda dari para pendatang, terutama bagi orang Islam yang ingin berimigrasi ke sana.
Yang demikian tampak jelas dari salah satu bagian dalam film penebar kebencian tersebut. Pemunculan gambar-gambar masjid mengiringi narasi suara orang tak dikenal yang mengemukakan bahwa masjid akan menjadi bagian sistem pemerintahan di Belanda. Lalu muncul gambar diagram batang yang menera pertumbuhan pemeluk Islam di Belanda. Mulai 54 jiwa pada 1909 sampai 944.000 jiwa pada 2004. Bagian ini menandai sikap paranoid Wilders terhadap laju statistik pemeluk agama Islam di sana.
Kegelisahan dan kekhawatiran itu kian dipertegas oleh Wilders dengan menampilkan jumlah pemeluk Islam di Eropa pada 2007 yang mencapai 54 juta jiwa, diiringi dua pegawai laki-laki berseragam yang tengah memasuki masjid untuk menunaikan shalat. Wilders tampaknya tak nyaman dan merasa terancam dengan fakta ini.
Migran dan Problem Multikulturalisme di Belanda
Telah berabad lalu orang Belanda kedatangan para imigran. Sejak abad ke-17, mereka menerima pelarian Hugenot, pengungsi Yahudi, migran Cina. Tak banyak memang, benih-benih rasisme dan anti-Islam, meski Belanda atau Eropa pernah traumatik di bawah kekuasaan Ottoman yang muslim, dan di negeri-negeri jajahannya, rasisme pernah dominan.
Awalnya, jumlah migran tidak begitu banyak. Namun sejalan dengan waktu jumlah tamu terus bertambah. Sebagian karena beranak-pinak sebagian lain dibawa kerabat atau pelarian dari wilayah konflik di Afrika dan Eropa Timur.
Puncaknya, gelombang imigrasi besar-besaran terjadi di Belanda pada 1970-an dan 1980-an. Rupa-rupa pula motivasi mereka. Ada yang datang terkait dengan kebutuhan tenaga kerja untuk pembangunan dam dan kota seperti dari Maroko dan Turki. Sebagian lainnya datang secara sukarela untuk hidup. Ada juga karena kebijakan politik paska kolonial seperti orang–orang Jawa Suriname dan tak mau kembali ke Jawa. Selain itu, ada juga yang datang sebagai pencari suaka dari negeri berkonflik seperti Iran dan Irak.
Atas fakta ini, Belanda mulanya sangat bangga. Mereka menepuk dada sebagai masyarakat yang plural dan terbuka. Namun, seperti tulis Lies Marcoes, ketika ekonomi di Eropa tumbuh, para pendatang itu menjadi kayu api bagi mesin mesin industri yang menjalankan roda ekonomi Belanda. Namun tatkala terjadi krisis ekonomi global, mereka pula yang segera menjadi sasaran frustrasi penduduk terutama warga kulit putih yang merasa punya hak atas tanah airnya.
Kini, di Negeri Kincir Angin itu terdapat hampir 1 juta warga muslim yang umumnya identik dengan imigran. Namun saat ini pula kebanggaan akan sebuah negeri yang plural dan terbuka itu sirna, berubah menjadi ketegangan mengerikan. Jurang lokal-migran menganggah tajam. Permusuhan dan kebencian menjadikan mereka terpola dalam kotak-kotak kehidupan yang berdampingan tapi tak bersama-sama.
Pada titik inilah, multikulturalime mendapat pertanyaan serius. Apakah ketegangan itu lebih karena sikap superioritas warga Belanda yang menganggap pendatang selalu lebih rendah, ataukah karena perilaku pendatang yang terlalu eksklusif dan bertindak semau sendiri? Sehingga, orang seperti Wilders begitu benci dengan imigran yang mayoritas muslim.
Ini adalah pertanyaan multikulturalisme yang penting untuk dijawab. Dalam konteks ini, Aboeprijadi Santoso menengarai ada problem soal pola integrasi, pembauran, potensi konflik, dan dialog yang terkandung pada kedua belah pihak. Berimigrasi, bagi warga asal Arab dan Afrika Utara, bukan sekedar beralih tempat mukim, melainkan memindahkan dan menghidupkan peradaban, termasuk amanat dan nilai-nilai religiusnya, di kancah yang baru. Di saat yang sama, Belanda tak mempunyai konsep “kampung halaman” sekuat bangsa lain.
Hal itu semakin diperkuat Sybrand van Haersma Buma, anggota partai penguasa, Partai Kristen Demokrat. Menurutnya, para imigran membawa nilai-nilai Islam sekaligus budaya mereka sendiri. Sayangnya, mereka kurang akrab bergaul dengan warga lokal. Banyak yang tak bisa berbahasa Belanda dan hidup di wilayah pinggiran yang miskin. ”Mereka menciptakan ghetto bersama,” ujar Buma.
Situasi demikian terlihat jelas sejak tahun 1970 ketika kaum migran dari pedalaman Mediterania, Arab, dan Afrika Utara menjadi gastarbeiders (pekerja tamu) di Eropa. Hal itu tentu berbeda dengan di Amerika. Di sana, para pendatang muslim datang dari perkotaan di negeri asal, dan banyak yang menjadi mapan.
Dengan datangnya banyak kaum imigran yang kebanyakan dari desa-desa miskin dengan budaya yang sangat berbeda menyebabkan situasi di Belanda berubah sekali. Perumahan menjadi kumuh, orang putih yang mampu bisa meninggalkan perumahan yang diisi kaum imigran, dan bekas tempat mereka diambil imigran baru. Orang-orang Belanda miskin yang tak mampu pindah merasa diasingkan di wilayahnya sendiri. Kejahatan kecil dan besar terus meningkat; banyak anak dari negara non Belanda dengan bahasa yang tidak dikenali kerap berbuat onar yang menakutkan orang-orang tua Londo.
Awalnya, mereka bisa berbaur, meski dalam hubungan yang masih remang-remang. Sekolah tak dipilah-pilah, namun berkembang secara “alami”. Dalam multikulturalisme Belanda, hal alami itu menjadi dubius, bahkan palsu, ketika orang tua melihat anak mereka tak maju seperti anak didik di sekolah-sekolah yang dipadati anak-anak lokal. Maka berkembanglah segregasi tak resmi namun nyata, dengan “sekolah putih” yang berisi anak-anak orang lokal, dan “sekolah hitam” yang isinya anak-anak migran.
Atas persoalan-persoalan seperti itu, Pim Fortuyn mengecam sebagai pola pembauran yang salah kaprah. Pola pembauran di Belanda dinilai salah, multikulturalisme dianggap gagal, dan kesantunan politik harus didefinisikan kembali.
Sebagai jalan menuju ke sana, pada tahun 2002, Pim Fortuyn membentuk partai Lijst Pim Fortuyn (LPF). Agenda utamanya adalah memperketat aturan imigrasi, terutama bagi yang tidak bisa menerima dan tak mau beradaptasi dengan budaya Belanda. Meski menolak disebut rasis, Fortuyn menegaskan pembatasan bagi imigran muslim, bahkan kalau perlu dilarang masuk Belanda.
Namun belum sempat lama memperjuangkan agenda politiknya, Fortuyn dibunuh aktivis hak-hak hewan (animal rights), Volkert van Der Graaf. Menurut pengakuan Der Graaf, dia membunuh Fortuyn agar berhenti mengeksploitasi muslim, dan membidik kelompok lemah mencapai tujuan politik. Setelah kematian Fortuyn, partai ini bubar pada awal 2008. Tapi, seperti yang ditulis Santoso,“revolusi Fortuyn” membuahkan satu semboyan kunci: “Tak ada toleransi terhadap intoleransi”.
Dengan begitu, Pim Fortuyn telah membuka jalan bagi orang-orang seperti Van Gogh, Hirsi, dan Wilders. Ketiganya datang dari dunia berbeda, tapi menemukan musuh bersama: Islam. Theo Van Gogh, seniman Amsterdam dan sutradara film anti-Islam Submission. Ayaan Hirsi Ali, cendekiawan yang dibesarkan di bawah represi patriarkhat di Afrika dan Arab Saudi yang berputar haluan setiba di Jerman, yang juga turut merancang Submission. Geert Wilders adalah politikus dari Linburg, Belanda Selatan, yang menyempal dari partai besar People’s Party for Freedom and Democracy (VVD) dan kemudian membentuk partai PVV. Kini, dengan partai guremnya itu, Wilders memimpin kubu Islamophobia.
Kematian Van Gogh di tangan seorang muslim, Muhammad Bouyeri, semakin mengentalkan kebencian Wilders terhadap imigran muslim. Karenanya, Wilders sangat muak dan tidak pernah bersepakat dengan relativisme budaya.
“Saya cuma muak dengan pendukung relativisme budaya yang berpendapat bahwa semua orang boleh masuk Belanda, sehingga Belanda menjadi tempat bercampur berbagai budaya. Saya ngeri kalau mendengar perdana menteri mengatakan hal-hal seperti itu.” Demikian yang dikatakan Wilders soal relativisme budaya dalam sebuah wawancara dengan redaksi Arab, Radio Nederland, 17 September 2007.
Imigran muslim bagi Wilders adalah pangkal persoalan yang harus segera ditindak tegas. Dalam wawancara yang sama, ketika ditanya seandainya Wilders jadi pemimpin di Belanda, dengan terang-terangan dia menjawab begini: “Saya akan menghentikan arus migran dari negara-negara Islam, karena menurut saya, budaya kita semakin punah. Saya ingin, budaya Belanda tetap dominan di atas budaya-budaya lain yang sebenarnya boleh saja masuk Belanda. Banyak sekali orang Belanda merasa asing di negeri sendiri. Mereka ini tidak boleh dianggap remeh. Kalau tiap tahun puluhan ribu orang asing datang ke sini, proses integrasi bisa terhambat. Ini kan sama dengan mengeluarkan air dari perahu bocor,” tegasnya.
Selain itu, “Saya juga tidak akan mengizinkan pembangunan masjid baru, karena jumlahnya sudah cukup. Saya akan menutup sekolah-sekolah Islam…,” tegasnya.
***
Persoalan multikultural yang melibatkan banyak ranah kehidupan seperti di Belanda ini memang bukan problem yang mudah diselesaikan. Muski bukan persoalan baru dan langka, namun menjadi tidak sederhana karena kedua kubu merepresentasi dua peradaban besar dengan segala kesadarannya: warga lokal (Belanda) merepresentasi Eropa, Islam –setidaknya yang di Eropa—dipersonifikasi oleh kelompok-kelompok migran yang berada di tengah pancaroba.
Ketegangan itu menciptakan posisi yang berhadap-hadapan secara diametral. Kedua kubu saling menegaskan purbasangka yang mereka ciptakan sendiri: Wilders dan wacana Barat memandang peradaban Islam identik dengan kekerasan, teroris, rendahan, kumuh, dan bodoh. Sedangkan sebagian kaum migran menistakan Barat “kafir”, sombong, dan eksploitatif.
Akulturasi budaya menjadi kontraproduktif karena keduanya sama-sama memproduksi stigma yang dipijakkan pada purbasangka masing-masing. Karena ketakutan Islam akan jadi ancaman masa depan Eropa, maka atas nama warga lokal mereka perlu menata wilayah politik dan menyelamatkan budaya agar tidak punah. Sebaliknya, karena merasa didiskreditkan dan dianggap rendah, maka migran Islam perlu membela diri dengan segala cara, dan akhirnya jatuh pada kubang eksklusivitas. Keduanya berjarak dan sulit dipertemukan.
Akhirnya, penyelesaian terhadap persoalan multikulturalisme ini pun menjadi buram. Wilders yang geram dan kuatir, menggelontorkan wacana penghentian arus migran Islam. Padahal itu jelas-jelas kontradiksi dengan nilai-nilai anti-rasisme, pluralisme, dan toleransi yang dijaga dan dikembangkan pasca Perang Dunia II. Sementara Muhammad Bouyeri menjatuhkan vonis sepihak kepada Van Gogh karena dianggap melecehkan Islam dengan cara menggorok lehernya.

Jika kedua pihak tetap kukuh dalam purbasangkanya sendiri-sendiri dan tidak mau membuka diri untuk berdialog, maka jurang lokal-migran akan kian menganggah lebar. Dan, multikulturalisme yang tengah meradang di Negeri Kincir Angin itu akan berubah menjadi rasisme.[] M. Kodim adalah staf advokasi Desantara . Tulisan ini telah dimuat di majalah MaJEMUK edisi 32 Mei-Juni 2008 di rubrik Fokus

BAGIKAN: