(Refleksi Proses Transformasi dalam Advokasi Masyarakat Lokal dan Sedulur Sikep di Pati, dalam Menolak Pabrik Semen)
Etnografi selama ini mungkin hanya digunakan sebagai laporan bagi penelitian antropologi untuk melacak sejarah, struktur sosial dan makna simbol dalam suatu masyarakat tradisi (lokal). Kebutuhan etnografi di kalangan intelektual selama ini hanya menjadi intelektual exercise (kegenitan intelektual) berupa tulisan-tulisan dan buku yang pada dasarnya tidak mempunyai kontribusi positif dan konkrit bagi subjek yang ditelitinya.
Salah seorang nama pencetus ide etnografi adalah Snock Hurgronje sebagai salah seorang etnograf klasik yang dengan latar intelegen, justru memanfaatkan penelitian etnografinya bagi kebutuhan kolonial dalam menertibkan masyarakat lokal (Aceh). Boleh dikatakan ilmu etnografi ini juga bagian dari metoda kolonial dalam menjinakkan kaum pribumi dalam siasat sosial yang efektif, selain melalui ancaman senjata dan penguasaan aset ekonomi. Warisan bahasa-bahasa kolonial tersebut, masih berkeliaran di kehidupan akademis kita sampe hari ini, tercampur baur antara mana yang nyata dan mana yang manipulasi!!!
Bagi kaum positifistik memandang secara naif bahwa ilmu pengetahuan itu adalah netral. Sesungguhnya korelasi kepada manusia lah yang kemudian menyebabkan ilmu pengetahuan menjadi relatif. Sehingga sebagai basis artikulasi, pengetahuan mengandung keberpihakan berserta kekuasaan didalamnya. Peran strategis ilmu pengetahuan inilah yang kemudian menjadi relefan untuk direfleksikan, selain pengetahuan sebagai alat identifikasi dalam merumuskan realitas, pengetahuan juga mengandung kekuasaan. Menurut Foucault alam pengetahuan terdapat kaidah kekuasaan dalam klaim keberannya, sehingga pengetahuan itu sendiri pada dasarnya dapat membatasi tindakan-tindakan dalam ketegori-kategori, disiplin dan tertib lainnya.
Bahasa! mungkin adalah awalnya. Pengalaman inilah yang kemudian juga dijadikan awal kesadaran oleh para kaum pergerakan kita. Lahirnya kata pemuda, merdeka, nasionalisme sampai dengan sosialisme, membawa kesadaran baru masyarakat pribumi di awal abad XIX untuk bisa lepas dari kungkungan alam pikir kolonial yang membelenggu kehidupan manusia Indonesia pada saat itu. Mungkin dari bahasa pulalah yang kemudian dapat menterjemahkan kondisi eksploitasi dan eksistensi dari hubungannya dengan lingkungan dan sesamanya Indonesia untuk bisa menentukan nasibnya sendiri. Sebaliknya dari bahasa pulalah masyarakat pribumi Indonesia pernah didikte oleh kekuasaan kolonial, untuk melanggengkan praktek imperialisme di Indonesia. Sejauh ini warisan bahasa kolonial Belanda masih beredar dalam keseharian masyarakat kita, sebagai bentuk endapan dalam mitos dari intensitas praktek kekuasaan yang mengkonotasikan bahasa.
Bahasa tentu didalamnya tersirat bentuk kekuasaan. Dari semangat inilah yang kemudian dalam refleksi pergerakan Indonesia berusaha mencari subyektifitasnya untuk keluar dari batas kapitalisme dan sosialisme yang menyempitkan kecerdasan dan artikulasi dari entitas masyarakat Indonesia. Dalam prespektif politik Soekarno dan Tan Malaka adalah salah satu nama yang mampu mengorganikkan bahasa ideologi dalam karakter sosiologi masyarakat Indonesia. Sehingga sebagai alat produksi pengetahuan, bahasa menjadi alat efektif dalam menggerakkan kesadaran masyarakat beserta perubahan sosialnya.
Merumuskan ulang definisi penindasan, plus metoda perlawanannya dalam konteks masyarakat lokal menjadi relevan dalam proses transformasi masyarakat ketika berhadapan tekanan globalitas modal. Pengalaman-pengalaman pendampingan di masyarakat Sedulur Sikep yang sedang menghadapi pembangunan Semen Gresik di Sukolilo Pati Jawa Tengah, merupakan pengalaman dialektis dalam membentuk bahasa bersama diantara pihak masyarakat yang mengalami marginalisasi beserta kelompok pendamping yang melakukan advokasi atau pembelaan.
Asumsi-asumsi yang dibangun oleh para kaum intelektual dan akademisi, seringkali justru menciptakan jarak antara gagasan dengan realitas yang dialami masyarakat. Paradigma ilmiah yang notabena berasal dari positivistik seringkali memberikan jarak kesadaran antara realitas yang dialami oleh masyarakat, dengan gagasan yang dibangun oleh advokat atau para pendamping dalam melakukan proses transformasi kepada masyarakat. Jarak bahasa yang membawa pada jarak kesadaran inilah yang kemudian tentu berdampak pada hubungan pihak yang mengadvokasi dengan masyarakat yang di bela (direpresentasikan), nampak sebagai hubungan lawyer (pengacara) dan klien, sehingga akan berdampak pada problem representasi, ketergantungan, claiming, bahkan sampai pada persoalan yang sangat manipulatif sekalipun. Pengalaman advokasi yang memperjuangkan hak-hak masyarakat yang termarginalkan di era Orde Baru adalah satu catatan dari gagalnya gerakan sipil yang masih menyisakan hubungan lawyer-klien. Sehingg problem-problem dan konflik struktural yang terhadi di akar rumput tidak menghasilkan proses transformasi dan edukasi bagi rakyat dalam mengapresiasikan dan menterjemahkan realitasnya sendiri.
Hubungan lawer-klien pada dasarnya adalah proses penangan permasalahan di masyarakat dengan menyerahkan penyelsaian sepenuhnya pada pihak yang mengadvokasi. Kosa kata bahasa yang digunakan dalam merumuskan realitas pada pola hubungan top-down ini, lebih banyak kosa kata yang tidak bisa mengorganikkan kesadaran masyarakat. Jarak bahasa dengan kesadaran masyarakat inilah yang kemudian bisa diidentifikasi dari struktur sosial lawyer-klien, yang kemudian menghasilkan bahasa yang tidak mem-bumi bagi kesadaran masyarakat.
Pendekatan advokasi dalam pola hubungan lawer-klien biasanya menggunakan cara pandang fungsional dengan mengasumsikan realitas penindasan sebagai tidak berfungsinya suatu sistem yang ada. Tanpa mengasumsikan adanya kondisi konflik kepentingan dari strata sosial yang ada, paham fungsionalisme ini memberikan jawab-jawab penyelsaian masalah sesuai dengan peran legal-formal yang terdapat dalam pranata sosial politik yang ada.
Proses transformasi yang dilakukan oleh beberapa pihak stake holder (LSM, Universitas, Institusi Lingkungan, dan lain sebagainya), memiliki agenda sektoral masing-masing, yang selama in belum maksimal dikomunikasikan serta diposisikan secara etis dengan pihak masyarakat maupun diantara kelompok pendamping yang mengadvokasi. Bahasa-bahasa sektoral seringkali justru memperkuat hubungan lawer-klien, karena peran sektoral yang bersifat legal formal dalam menangani permasalahan advokasi di masyarakat. Tanpa harus meninggalkan hal taktis dalam menyelsaikan permasalahan di masyarakat, peran kultural menjadi penting sebagai bagian dari pendekatan edukasi bagi masyarakat dalam membangun kesadaran akan realitas penindasannya.
Pengalaman pembelaan dan pendampingan masyarakat Sukolilo Pati Jawa Tengah, merupakan satu daru dialektika masyarakat lokal yang sedang menghadapi ekspansi modal global PT Semen Gresik (sekitar 40% saham asing), sesungguhnya adalah usaha menemukan bahasa bersama sebagai bagian proses transformasi. Selain bahasa bersama juga merupakan bagian dari sikap etik dan representasi hubungan antara pihak pendamping dengan masyarakat Sukolilo itu sendiri yang hak nya terancam dari adanya pembangunan pabri Semen Gresik.
Sedulur Sikep merupakan salah satu entitas di Sukolilo Pati yang sedang mengalami ancaman pendirian pabrik Semen Gresik. Dampak lingkungan dirikannya pabrik Semen Gresik yang berasal dari keberadaan gunung Kendeng yang tidak hanya sebagai sumber ekologi (air, gua, hewan, tanaman) masyarakat Sedulur Sikep yang bermata pencaharian bertani, pegunungan kapur tersebut juga memiliki makna budaya dan sejarah bagi masyarakat Sedulur Sikep yang memiliki ekologi kultural nya sangat berelasi dengan lingkungan (gunung). Peran pegunungan secara kultural bagi masyarakat Sedulur Sikep dan masyarakat lokal lainnya di wilayah Sukolilo Pati memiliki ikatan kesadaran simbolis yang terdapat dalam situs-situs kebudayaan yang banyak terdapat di pegunungan Kendeng.
Kesadaran masyarakat lokal Sukolilo Pati yang mengikat dengan pegunungan Kendengan diantaranya Watu Payung yang merupakan simbolisasi dari sejarah pewayangan Dewi Kunti, dimana beberapa situs narasi pewayangan tersebut terartikulasikan dalam beberapa relief alam yang terdapat di pegunungan Kendeng. Di sekitar situs watu payung juga terdapat banyak narasi yang berhubungan dengan kisah pewangan seperti kisah tentang cakar kuku bima, dan lain sebainya. Kemudian di sekitar Watu Payung di pegunungan Kendeng juga terdapat Watu Kembar yang berisikan tentang kisah Hanoman yang sedang menaiki puncak gunung sambil berma
in bintang dilangit, kemudian dewa marah lalu pindahkannya puncak gunung dan kemudian runtuhannya jatuh menjadi Watu Kembar. Selain kisah pewayanga juga terdapat situs yang memiliki kaitannya dengan Angling Dharma di sekitar lereng pegunungan Kendeng Sukolilo, kemudian ada gua Jolotundo yang memiliki korelasi dengan kisah Laut Selatan Jawa. Kemudian ke arah Kayen juga terdapat makam Syeh Jangkung yang dianggap sebagai salah satu tokoh lokal dalam mitologi masyarakat lokal di wilayah Pati. Beberapa situs yang ada di pegunungan Kendeng saat ini, masih diyakini oleh para penduduk sebagai bagian dari kesadaran simbolisnya, hal ini terlihat masih banyak peziarah atau para pengunjung yang datang sebagai bagian dari bentuk kesadaran kultural dan spiritualitas. Kekuatan simbolik situs-situs kebudayaan yang ada di wilayah pegunungan Kendeng memiliki ikatan kultural tidak hanya seputar Sukolilo Pati, hal ini terlihat banyaknya peziarah dan para pengunjungan yang hadir di beberapa situs Watu Payung dan lain sebagianya berasal dari wilayah Demak, Jepara, dan sekitarnya.
Kesemua kisah mitologi lokal diatas sangat memiliki basis material pada wilayah pegunungan Kendeng di wilayah Sukolilo Pati. Sebagai proses antara yang natural dengan yang kultural, mitologi lokal ini memang berasal dari tradisi tutur (lisan) yang memiliki kekuatan identitas bagi banyak entitas masyarakat di Sukolilo Pati. Dalam prespektif ekologi sosial, mitologi lokal tersebut mereduksi alam menjadi bahasa masyarakat (kebudayaan) yang berbasis lokalitas. Sehingga menjadikan lingkungan (pegunungan) bukan saja memiliki kekuatan ekologi pertanian (mata pencaharian), namun juga terdapat kekuatan budaya yang menyatu dengan kehidupan masyarakat.
Kisah-kisah tersebut akan menjadi kekayaan ekologi, sejarah dan budaya bangsa, selama situs-situs mitos yang berada di pegunungan Kendeng tetap eksist dan dijadikan sebagai basis material kesadaran ekologi dan budaya masyarakat.
Proses transformasi akan lebih produktif ketika bisa merumuskan bahasa bersama antara nalar advokat dengan nalar masyarakat lokal yang termarginalkan. Asumsi ilmiah tentang pegunungan Kendeng yang memiliki nilai Krast No 1 menurut penelitian ASC (Acintyacunyata Speleological Club), dimana kekuatan Krast sebagai basis ekologi bagi kehidupan pertanian dan lingkungan di masyarakat sekitar, pegunungan Kendeng juga memiliki kekuatan kultural yang mengikat kebudayaan masyarakat luas. Proses edukasi pentingnya gua, air, dan pegunungan bagi keseimbangan alam dan lingkungan, harus mampu dibahasakan dengan modal budaya yang melekat dalam kesadaran sejarah masyarakat. Pengalaman pelatihan para legal masyarakat Sukolilo Pati yang menolak Semen yang dilakukan pihak Organisasi Non Pemerintah (Ornop) dan pihak Akademis, masih menyisakan bahasa-bahasa legal formal yang masih sulit ditangkap dalam kesadaran masyarakat lokal. Selain kosa kata bahasa ilmiah juga menyisakan proses advokasi yang lebih mengarah pada jalur legal formal, bahasa ilmiah tersebut juga masih memiliki jarak dengan kesadaran masyarakat lokal. Pendekatan bahasa ilimiah ini lah yang kemudian nantinya akan menjadikan proses advokasi yang tidak melibatkan partisipasi masyarakat, dimana proses legal formal menyisakan hubungan lawyer-klien, bersama bahasa-bahasa ilmiah yang tidak mampu diakses modal budaya dan kesadaran masyarakat lokal.
Strategi pendekatan kultural hendaknya juga menjadi strategi yang harus dijalankan sebagai sebuah usaha dari pemaknaan situasi konfilik sebagai alat transformasi, serta proses kesadaran mengorganisir dirinya sendiri di kalangan masyarakat lokal. Dengan meyakinkan masyarakat lokal untuk mampu membangun kekuatannya sendiri, beserta bahasa nya sendiri akan menjadikan proses advokasi dan pembelaan hak tidak lagi digantungkan oleh pihak akademis dan peran lembaga legal formal (lawyer-klien). Mitos-mitos lokal pada dasarnya adalah bahasa kebudayaan yang memiliki korelasi dengan penjagaan keseimbangan lingkungan, karena kisah tersebut mereduksi alam dalam simbol kebudayaan, yang menjadikan nalar budaya identik dengan nalar lingkungan. Beberapa diskusi yang dilakukan oleh Desantara dengan beberapa teman pendamping adalah dengan merumuskan bahasa-bahasa transformasi dan Edukasi yang dekat dengan kesadaran masyarakat lokal, seperti seni pementasan atau pertunjukkan yang dekat dengan masyarakat melalui narasi yang edukatif dan transformatif. Desantara / Akbar Yumni