“Status saya sebagai seorang pastor perempuan adalah valid, tapi ilegal,” ujar Victoria Rue di Acara diskusi "Meretas Spirit Multikulturalisme untuk Perdamaian," Widjodjo Center, Jalan Sudirman, pada Jumat (25/07) sore kemarin. Tokoh feminis lesbian dari Amerika itu diundang oleh Kumpulan Masyarakat Pluralis ke Jakarta bersama pasangannya, Khatryn Poetgig, seorang aktivis yang juga didaulat untuk berbagi cerita tentang perkembangan dunia LGBTIQ (lesbian, gay, biseksual, transeksual, interseks, dan queer). Sebagai seorang feminis lesbian, sosok Victoria Rue menjadi sangat unik ketika ia menjadi seorang imam perempuan, dimana tradisi dan hukum kanonik gereja menetapkan bahwa yang bisa, dan hanya bisa ditahbiskan menjadi imam hanyalah seorang laki-laki. Saat ini Victoria diakui sebagai imam meski Gereja Katolik Roma,Vatikan, tetap tidak merestuinya.
Sejak kecil Victoria berkeinginan untuk menjadi seorang pastor. Menurutnya, Yesus dalam perjamuan malam terakhir menggambarkan hubungan antarsesama tanpa membedakan laki-laki, perempuan, tua, ataupun muda untuk bersama dalam kerajaan kasih-Nya. Demikian juga dengan masalah kepemimpinan parokial beserta konsep liturgis, yang sangat merepresi perempuan untuk tidak bisa menjadi seorang pemimpin. Seharusnya gereja juga mengizinkan seorang perempuan untuk bisa menjadi imam. Gereja memiliki sejarah yang panjang dalam membangun kebencian dan misoginisme terhadap kaum perempuan, saat ini pun mereka masih tidak mendukung terhadap gerakan perempuan.
Feminis yang gandrung dengan dunia repretoar itu beranggapan bahwa menjadi seorang imam perempuan, meski ilegal, sangat mempengaruhi tradisi dan hirarki kepemimpinan gereja. Dan sisi lain, gerakan perempuan menemukan arah geraknya, ketika mulai melakukan kritik dan perubahan terhadap doktrin agama, dimulai dari perempuan yang bisa menjadi imam. Jika saat ini ia menjadi seorang imam perempuan dan lesbian, bukan sebuah hal yang menyimpang dari ajaran-Nya. “Yesus identik dengan wajah masyarakat dan umat-Nya, hal ini berarti di dalam masyarakat yang beranekaragam itu bisa menerima cinta kasih-Nya. Tak terkecuali kaum lesbian dan homoseks yang menjadi bagian dari umat serta meneladani ajaran-Nya,” ujar perempuan yang menikah beberapa waktu yang lalu di Amerika sebelum berangkat ke Jakarta. Ia pertama kali bertemu dengan Kathryn Poetgig, pasangan hidupnya itu, sewaktu bersama menempuh pendidikan teologi di seminari.
Victoria sebagai seorang Pastor Katolik Perempuan dan pengajar Perbandingan Agama Universitas San Jose, Amerika Serikat, memiliki komunitas lesbian yang menjalankan ibadah dan melakukan misa seperti umat Katolik pada umumnya. Dan ia pun sering diundang ke beberapa daerah yang memiliki komunitas lesbian untuk memberikan pelayanan dan pemberkatan.
Perempuan yang memiliki bakat dalam mengajar itu sangat memperhatikan metode pembelajaran, terutama pemahaman antaridentitas agama. Ia bercerita, saat mengajar tentang perbandingan agama, ia kerap mengajak murid-murinya untuk langsung mengetahui pandangan masyarakat dan agama yang mereka anut. Ia dan murid-muridnya mulai melakukan serangkaian wawancara sederhana. Ia menyarankan kepada para muridnya untuk memulai dengan pertanyan sederhana: apakah keislaman itu, apakah keyahudian itu, apakah kekristenan itu, dan seterusnya. Hasilnya? Para pemula itu dengan sukses mengetahui pandangan dari masing-masing pemeluk agama secara langsung beserta argumen-argumen yang bisa menjadi materi pembanding. Metode tersebut sangat membantu masing-masing pribadi untuk memahami perbedaan keyakinan dalam frame yang anti sektarian dan menjadi lebih humanis.
Kepiawaiannya dalam membangun suasana yang dialogis, tidak kaku, dan kesan tidak formal dibuktikannya dengan mengajak peserta diskusi untuk bereksperimen tentang bentuk dan bunyi, ia mencoba menggunakan tubuh sebagai media. Beberapa orang peserta pun maju ke depan, penasaran, ingin segera memulai eksperimen tubuh itu. Peraturannya sederhana tiap orang berhak untuk menjadi segala macam bentuk asalkan tetap bersentuhan, berkoneksi secara fisik dengan orang lain. Setelah tiap orang sudah saling bersentuhan secara fisik, mereka boleh berekspresi dengan masing-masing suara, dimulai dengan instruksi sentuhan tangan victoria. Maka masing-masing orang pun mengeluarkan suara yang berbeda tingkat emosinya, saat Victoria mulai menyentuh mereka satu per satu. Victoria menyudahi eksperimen itu dengan pertanyaan baru, bagaimana bentuk tubuh Tuhan? Menurutnya, tubuh adalah anugrah tuhan yang sangat indah karena telah diberikan seksualitas sebagai bentuk ekspresinya. Jika demikian, seksualitas adalah ekspresi tuhan, jika ia memiliki tubuh.
Di akhir sesi tanya jawab, Victoria menutup acara tersebut dengan doa multikultural, doa disertai dengan gerakan-gerakan tertentu untuk lebih diresapi dan dihayati semua yang hadir. Ia berharap semoga keberagaman yang diberikan tuhan akan membawa pada perdamaian di dunia. Desantara / FU