Sinden Yeyen dan Sumarni

Dominasi Pengrawit Perempuan Madura dari Nayaga, Ron-toron sampai Tandha’. Jika seni karawitan atau tayuban di berbagai daerah di pulau Jawa lazim dimainkan oleh laki-laki, maka tidak demikian di kabupaten Sumenep, Madura. Beberapa kecamatan di Sumenep, terutama kecamatan Kalianget dan Saronggi, seni karawitan atau kaleningan (tayuban) didominasi oleh kaum perempuan. Ada sekitar 27 kelompok karawitan di kabupaten Sumenep, dan lebih dari dua pertiganya didominasi oleh pengrawit perempuan.
Pada awalnya seni karawitan di Sumenep memang dimainkan oleh laki-laki, tapi sejak tahun 1980-an ibu-ibu PKK mengorganisasi diri untuk belajar mementaskan seni karawitan. Abdul Kamar pemimpin kelompok karawitan Irama Putri dan juga salah satu pelopor karawitan di Kalianget Timur menjelaskan, “awalnya karawitan PKK ini diundang oleh kepala desa Kalianget Timur pas ada hajatan. Nah dari sini mulai banyak yang ngundang sampai kita kewalahan.”
Di antara komunitas karawitan perempuan, yang paling mendapatkan sorotan tajam dari masyarakat adalah profesi sinden atau tandha’. Semua sinden di Sumenep hampir pasti mendapat pandangan negatif dari sebagian masyarakat. Seperti yang dialami Yeyen, sinden papan atas di tahun 80-90-an. Pada sebuah pementasan di Lenteng, dia dilempari kerikil oleh para ibu-ibu karena cemburu.
Umumnya peristiwa seperti itu dialami ketika Yeyen manggung di luar Kalianget. Namun selama dia manggung di Kalianget, tidak pernah dia mengalami hal semacam itu karena mayoritas masyarakatnya menerima tayub sebagai kesenian masyarakat. “Kalau di sini tidak ada yang sampai begitu. Masyarakat pada umumya senang. Malah ngerem juga istrinya,” tutur wanita yang sudah menikah dua kali ini.
Yeyen kini adalah seorang ibu rumah tangga biasa. Dahulu pada masa kejayaannya, Yeyen adalah sinden kaya, punya mobil dan rumah tiga. Dalam satu hari dari sawerannya saja, dia bisa mendapat 1,5 juta rupiah lebih. Apalagi saat dia pentas di desa seperti di Slopeng dan Talango. Satu hari satu malam itu rata-rata dapat dua juta rupiah. Bahkan Yeyen pernah mendapatkan enam juta ketika manggung satu hari satu malam di rumah seorang kalebun di daerah Ganding.
Meski pernah bergelimang harta, perjalanan hidup Yeyen dilalui dengan penuh getir. Meski terlihat selalu ceria dan ramah, di wajahnya tampak guratan beban hidup yang penuh liku. Sewaktu masih SD, wanita asli Malang ini pergi dari rumah setelah dipukul ayahnya. Dalam perantauannya, dia hampir terjebak dalam lokalisasi di Tulungagung. Untung atas kebaikan seorang kerabatnya dia diselamatkan dan pergi ke Dasuk, Sumenep untuk mengikuti semacam pendidikan sinden. Yeyen memang sejak kecil suka nembang. Bakatnya diakui oleh semua gurunya sewaktu masih sekolah di Malang. Dengan berbekal pendidikan itu, Yeyen kemudian menjadi seorang tandha’ di usia yang masih sangat muda, 11 tahun. Empat bulan menjadi sinden, dia sudah bisa beli rumah di Dasuk.
Berangsur-angsur nama Yeyen dikenal sebagi sinden asal Jawa dengan suara merdu. Yeyen mangakui bahwa profesi sebagai sinden di Madura lebih menjanjikan karena tayub di Madura lebih ramai dan meriah. Sinden yang bagus bisa cepat kaya. Selain itu, seorang sinden bisa memilih siapapun yang dia suka untuk dijadikan suami. Ketika ditanya jika suka kepada laki-laki apa yang dia lakukan, dengan blak-blakan dia menjawab, ”Ya, langsung saya ambil saja, saya tidak mau ini-itu. Kalau saya mau si A misalnya, sudah mau sama mau, langsung saya ambil jadi suami. Sinden di sini memang berkuasa, kuasa karena uangnya. Jadi kalau suka ya langsung saja nikah.”
Menurut Yeyen, profesi sebagai sinden memang harus pandai menjaga diri baik untuk menjaga keluarga maupun menjaga kepercayaan masyarakat. Tidak semua masyarakat bisa menerima profesi seperti itu. Jangankan sinden, menjadi pengrawit saja sudah dianggap negatif.
Beberapa pengrawit perempuan harus rela berhenti berprofesi sebagai pengrawit karena diminta oleh suaminya untuk berhenti. Menurut Sumarni, larangan ini dikarenakan profesi pengrawit pada hari-hari tertentu terkesan mengabaikan suaminya karena jarang di rumah. Terlebih pengrawit sekarang sering diminta ron-toron. Kebanyakan suami tidak suka kalau istrinya ron-toron karena cemburu ketika melihat istrinya di panggung bersama dengan orang lain. Namun, ada juga titik tengah yang disepakati oleh keduannya, misalnya, memberi izin kepada istrinya untuk ikut karawitan namun dengan syarat tidak ron-toron. Sumarni misalnya, dia memang tidak dilarang untuk ikut karawitan ataupun ron-toron, namun sang suami akan sedikit merasa malu kalau sang istri sampai ron-toron. Makanya Sumarni jarang mau untuk turun, kecuali jika dia dimnita turun rame-rame dengan rekan-rekannya.
Sumarni sejak duduk di kelas dua SMP sudah bertunangan. Setelah lulus SMA dia menikah. Suaminya dahulu juga bekerja di karawitan. Suami Sumarni sekarang mengelola lahan pertanian garam yang hasilnya cukup besar. Sekalipun demikian, sampai sekarang dia tetap aktif di kaleningan karena dia satu-satunya anak Abdul Kamar, pendiri Irama Putri, yang mewarisi darah seni keluarga. Kemungkinan besar dia yang akan menggantikan posisi ibunya untuk memimpin Irama Putri, karawitan putri pertama di Kalianget, bahkan di Sumenep. Banyak mantan seniwati Irama Putri yang setalah lama di Irama Putri kemudian membentuk kelompok baru. Tomo dan anaknya, Hartini, yang kini mengelola karawitan Putri Ken Dedes juga sebelumnya menjadi pendukung inti di Irama Putri. Desantara / Inung dan Franditya Utomo

BAGIKAN: