Bissu adalah pendeta Bugis Kuno yang ada sejak dahulu kala, bahkan dalam pandangan masyarakat Bugis keberadaannya bersamaan bahkan mendahului dunia ini. Para Bissu inilah yang merupakan pewaris tradisi bugis Kuno sampai sekarang, mereka tetap konsisten menjalankan tradisi itu walaupun berbagai tekanan dan hambatan yang mereka alami. Terkadang mereka dianggap sebagai komunitas sesat dan melakukan ritual setan, terkadang pula mereka dikalaim sebagai kelompok yang tidak ber-Tuhan atau atheis. Keberadaan merekapun yang sebagian besar berasal dari kalangan calabai atau waria membuat tekanan itu semakin keras. Mereka kemudian dianggap sebagai kompok masyarakat yang menyimpang, menyalahi kodrat dan mempunyai kelainan jiwa.
Sekalipun tekanan dan tantangan meyertai perjalanna sejarah kalangan Bissu ini, namun smapai saat ini mereka tetap bertahan. Dan celakanya ketika kebebasan itu mulai mereka dapatkan kelompok ini malah menjadi perebutan dari kalangan tertentu utnuk dipertontonkan dan dijual kemana-mana. Bagimanakah kisah perjalanan para Bissu ini, bagaimana pula tantangan yang dihadapinya, apa yang diharapkan saat ini ketika pintu kebebsan mulai terkuak untuk mereka. Untuk hal itu Srinthil telah melakukan wawancara dengan Puang Temmi salah satu Bissu Perempuan yang terdapat di Pangkep. Puang Temmi yang masih kelihatan muda dalam usia senjanya ini telah dikaruniai delapan orang anak dan lebi dari sepuluhorang cucu. Ditemui dirumahnya yang saat itu sedang menagadakan acara Abbiasang Ri Ulleng Langi di Sampakang desa Kanaungan kecamatan Labbakkang. Dengan ramah perempuan yang usianya sudah beranjak senja itu bercerita kepada Srinthil dengan bahasa bugis, tak lupa Puang Temmi yang masih terlihat muda diusinya yang sudah tua ini menjelaskan pula tentang keberadaan waria biasa .
Bagaimana sebenarnya sejarah dari Bissu ini ?
Sejarah dari Bissu sebenarnya dimulai sejak belum adanya dunia tengah ini. Sebab dulu sebelum adanya dunia tengah ini dikenal dua dunia. Pertama Dunia Parahiyangann atau dunia atas biasa juga disebut dengan dunia langit disitu dihuni oleh Dewa-dewa Parahiyangan seperti Dewa Patotoe dan anaknya batara Guru. Yang kedua adalah dunia paratihi atau dunia bawah tanah, disitu dihuni pula oleh para Dewa-dewa. Sejak saat itu para Bissu juga sudah ada, dan memang dikenal sebagai bukan laki-laki dan bukan juga perempuan. Dia bertugas menjadi penghubung para Dewa saat itu. Setelah masa kerajaan para Bissu menjadi penasehat raja dalam hal spritual. Saat itu tidak ada acara ritual tampa kehadiran para Bissu.
Apakah Bissu memang harus berasal dari kalangan yang “bukan laki-laki dan juga bukan perempuan”?
Pada masa awal munculnya dunia ini para bissu itu memang “bukan laki-laki dan bukan perempuan”, mereka dikenal sebagai calabai (wadam atau waria), tapi bukan calabai biasa mereka adalah calabai Tungke’na Lino (waria kodrati). Namun ternyata belakangan yang mendapatkan karunia dari yang Maha Kuasa untuk menjadi Bissu bukan hanya kepada kalangan calabai tetapi juga bagi kalangan perempuan seperti saya ini. Artinya saya dapat pula melakukan tari maggirik atau madewata, dapat pula berkomunikasi dengan yang ghaib dan dipercayakan untuk menjaga arajang. Sekalipun demikian pada hakekatnya Bissu itu seperti yang saya katakan tadi adalah calabai.
Apakah proses menjadi Bissu antara perempuan dengan calabai (waria) sama?
Ya, prosesnya sama. Dilakukan semacam upacara yang disebut dengan irebba yaitu upacara pengujian kepada calon Bissu, biasanya mereka dikafani lalu dimasukkan kedalam liang selama semalam bahkan kadang lebih. Namun tentunya tidak serta merta semua kalangan bisa dilakukan proses Irebba, harus memang merekalah yang mendapat petunjuk dan jauh sebelumnya sudah sering berkomunikasi dengan yang ghaib yang bisa melakukan hal tersebut.
Bisa diceritakan bagaimana ibu sendiri berproses sampai menjadi Bissu seperti sekarang ini?
Proses itu dimulai sejak saya masih kecil. Nenek saya kebetulan adalah salah seorang sesepuh adat di daerah ini. Setiap kali ada acara-acara adat dia pasti mengajak saya untuk ikut, dan saya memang tertarik mengikuti acara seperti itu. Kebetulan saat itu saya hanya bersaudara dua orang dan perempuan semua. Namun kakak saya yang bernama Puang Kindong tidak terlalu menyukai upacara-upacara adat, tidak seperti saya, sehingga dia walaupun diajak oleh nenek saya tidak pernah mau ikut. Pada masa saya masih kecil saya sudah sering didatangi oleh sesuatu yang bersifat ghaib, belakangan saya ketahui bahwa yang datang itu adalah Petta Malampee Mesana, Dia kadang-kadang mengajarkan sesuatu kepada saya saat itu. Memang pada waktu itu saya belum terlalu memperhatikannya maklum saya masih terlalu anak-anak untuk memahami hal seperti itu. Bahkan saat itu mempelajari al-Quran saja saya tidak pernah serius dan bahkan sering mempermaikan guru mengaji saya. Namun ternyata Tuhan memang memberi anugerah kepada saya. Makhluk yang pernah mendatangi saya masih terus datang kepada saya memberi petunjuk, dan yang aneh kalau saya kembali didatangi oleh Petta Malampee Mesana saya justru lancar membaca al-Quran dan saya bisa adzan dengan suara merdu. Saya mulai mabissu ketika usia saya masih remaja, saat itu saya belum menikah. Sampai sekarang ini saya masih sering mabissu disamping itu saya juga mendapat amanah untuk merawat dan menjaga arajang. Sampai saat ini juga sering banyak masyarakat yang mendatangi saya untuk melakukan berbagai acara ritual.
Dalam perjalanan ibu menjdai bissu apakah pernah mendapat tantangan atau semacam pandangan negatif dari masyarakat?
Sering sekali, saya sudah sering mabissu pada masa gerombolan (DI/TII), masa itu adalah masa yang paling suram yang pernah saya rasakan. Kami para Bissu harus lari bersembunyi karena terus menerus diincar oleh gerombolan, acara-acara adat dan trdisi yang selama ini kami lakukan terpaksa harus dengan cara sembunyi-sembunyi dan rahasia. Banyak diatara Bissu saat itu yang tertangkap dan kemudian di hukum mati saat itu. Saya sendiri kebetulan saat itu adalah gadis yang menurut orang berwajah lumyan cantik (kata-kata itu diucapkan sambil tersenyum kecil tapi pandangan matanya nampak menerawang bias-bias kesulitan dan kesedihan masa lalu). Karena itulah saya juga diburu-buru oleh gerombolan diantara mereka banyak yang memaksa saya untuk diperistrikannya. Akhirnya saya dinikahkan oleh paman saya saat itu. Namun demikian godaan dan keinginan dari beberapa kalangan gerombolan untuk memperistrikan saya tidak pernah surut. Pernah suatu saat saya sedang hamil tiba-tiba terdengar kabar bahwa gerombolan mau mendatangi rumah saya, terpaksa saya bersama kakak saya lari dari rumah dengan menumpang kendaraan yang sama dengan becak sekarang ini. Pada saat diperjalanan ketika memasuki jalanan yang disepanjang sisi jalannya ada parit yang cukup dalam becak yang kami tumpangi tiba-tiba tidak mampu diklendalikan oleh pengendaranya, maklum jalanan saat itu licin dan rusak. Saya sendiri saat itu terlempar masuk kedalam parit, syukur anak yang saya kandung tidak mengalami apa-apa.
Setelah masa gerombolanpun tekanan dan hujatan kepada kami masih terus berlangsung, terkadang kami dianggap sebagai kelompok orang-orang sesat yang masih sering meyembah-nyembah pohon, bahkan tak jarang beberapa kelompok agamawan bersama dengan aparan mendatangi acara-acara adat yang kami gelar lalu membubarkannya.
Sekarang ini tekanan itu sudah mulai berkurang, sekalipun pandangan miring sebagian masyarakat masih sering kami dengarkan. Namun ketika ruang itu muali terbuka bagi kami, justru banyak kelompok yang seakan-akan mau memanfaatkan keberadaan bissu.
Bisa dijelaskan apa maksudnya Bissu saat ini dimanfaatkan oleh beberapa kelompok?
Perlu diketahui Bissu itu adalah semacam ahli spritual, kegiatan yang mereka lakukan adalah kegiatan yang berkaitan dengan tradisi bugis kuno yang mengandung ritual. Jadi apa yang kami lakukan dalam maggirik bukanlah mau mepertunjukkan kebolehan kami, tapi itu adalah tradisi yang kami lakukan sesuai dnegan keyakinan kami dan keyakinan nenek moyang kami. Kami juga melakukan ini semua bukan untuk mendapatkan kekayaan materi yang banyak; Purioi maceddee ta nupurioi maegae ( Lebih baik hidup secara sederhana daripada mengejar yang banyak dan melimpah ruah). Sekarang ini ada kelompok-kelompok tertentu yang justru menjadikan acara bissu dan bissu itu sendiri sebagai bahan tontonan dan bisa dipamerkan kemana-mana. Inilah yang membuat kesakralan dari Bissu dan acara-acara adat yang kami gelar terasa mulai berkurang bahkan ada beberapa barang-barang pusaka
yang mulai pergi meninggalkan kami (mallajang).
Mengenai pandangan miring (stigmatisasi) terhadap Bissu, menurut Ibu apa yang meyebabkannya?
Ketidak-pahaman dan tidak adanya dialog antara satu dengan yang lainnya. Banyak yang menganggap apa yang kami lakukan adalah meyembah-nyembah berhala, batu atau pohon, padahal apa yang kami lakukan adalah juga proses penyembahan kepada Yang Maha Kuasa. Acara Masongka Bala misalnya adalah acara memohon kesalamatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar semua makhluk Tuhan di muka bumi ini senantiasa mendapatkan keselamatan dalam melakoni kehidupannya. Demikian juga acara mappeca sure juga merupakan acara yang sesungguhnya berkaitan erat dengan Islam. Acara ini adalah acara menyambut tahun baru Islam. Tentu saja cara kami menjalankannya dengan cara local, sesuai dengan pemahaman tradisi kami dalam menangkap ajaran agama. Perlu kami tegaskan disini bahwa kami ini adalah pemeluk agama Islam dan kami juga menjalankan ajaran-ajarannya. Kami juga shalat, puasa dan mengeluarkan zakat. Hanya saja dalam beberapa hal, kami memang meyesuaikan pemahaman agama Islam dengan yang bersifat tradisi di bugis ini.
Berkaitan dengan Bissu yang kebanyakan berasal dari kalangan calabai (waria), bagaimana pendapat ibu ?
Seperti yang saya jelaskan sebelumnya Bissu itu pada awalnya memang adalah calabai, dan bahkan Bissu itu pengertiannya adalah bessi artinya bersih, tidak kotor atau tidak haid dan itu menunjukkan kepada calabai . bagi kami pengikut tradisi bugis kuno keberadaan para calabai ini justru adalah anugerah dari Tuhan. Sebab dengan adanya mereka berarti akan ada yang menjadi pewaris Bissu. Bahkan sekalipun nantinya tidak menjadi Bissu tapi mereka bisa ikut dalam berbagai proses acara adat dan ikut membantu-bantu dalam acara tersebut. Perlu pula diingat bahwa keberadaan Bissu dengan jenis kelamin yang tidak pasti menunjukkan pula keberadaan Sang Pencipta yang kita tidak ketahui jenis kelaminnya apa.
Bagaimana dengan pandangan negatif masayarakat terhadap kalangan calabai, bahkan ada ungkapan siapa yang bertemu calabai maka akan celaka empat puluh hari?
Ceddemitu ko patapulo assona biasana engkato makkeda siratu assona (sedikit itu kalau empat puluh hari malah ada yang bilang sampai seratus hari). Kata-kata ini ditujukan kepada kalangan calabai bahwa mereka adalah manusia pembawa sial. Pandangan seperti ini sesungguhnya sangat keliru karena seorang yang lahir apakah laki-laki, perempuan ataupun calabai semuanya atas ketentuan dari Tuhan yang maha Kuasa. Mereka yang calabai itu bukan mereka yang menginginkan dirinya menjadi calabai, semuanya terjadi karena sudah merupakan kodrat. Memang ada orang yang hanya ikut-ikutan meniru gaya perempuan dan kalangan ini sebenarnya bukan calabai tapi calabai kedo-kedonami (hanya bergaya waria). Jadi kalau ada pernyataan seperti tadi bahwa celaka bagi yang ketemu calabai mungkin yang tepat kalau yang dimaksudkan calabai kedo-kedonami.
Bagaimana harapan ibu terhadap masyarakat yang lain, kalangan agamawan dan kepada pemerintah?
Terhadap masyarakat umum kami hanya mengharapkan bahwa mereka tidak terus-menerus memojokkan kami, sebab apa yang kami lakukan ini adalah bagian dari kebudayaan yang ada di Sul-sel. Sedangkan bagi kalangan agamawan yang sering menghujat kami mungkin kita perlu mabbicara (berdialog), kita diskusikan mana yang keliru yang kami lakukan selama ini kalau memang ada yang keliru mari kita luruskan bersama. Terakhir kami hany memohon kepada pemerintah agar bisa memberikan ruang kepada kami untuk tetap menjalankan tradisi yang selama ini telah kami lakukan. Dan kami mohon kami ini jangan sekedar dijadikan sebagai penari-penari untuk dipertontonkan belaka. Ijhal Thamaona