Perempuan seharusnya mempunyai kedudukan yang sama dalam memperoleh hak-hak sipil, spiritual, budaya, dan hak-asasi lainnya. Mereka memiliki derajat yang sama dengan laki-laki untuk memperoleh hak-hak tersebut. Mereka mempunyai kebebasan menentukan jalan hidupnya sendiri. Namun sering terjadi perempuan menjadi korban diskriminasi. Dalam masalah spiritual, misalnya, terutama dalam tradisi masyarakat patriarkal seperti di Indonesia, perempuan harus mengikuti jalan spiritual orang tua atau suaminya. Kebijakan spiritualnya ditentukan oleh mereka.
Demikian pun dalam masalah pendidikan, perempuan sering dianaktirikan. Seperti yang terjadi dalam tradisi masyarakat Indonesia, terutama di perkampungan. Laki-laki biasanya yang lebih didorong untuk mengenyam pendidikan lebih tinggi. Misalnya, kalau sebuah keluarga yang anggaran pendidikanny kecil dan tidak memungkinkan untuk mendorong semua anak bisa melanjutkan sekolah, maka yang menjadi prioritas utama untuk melanjutkan sekolah adalah laki-laki. Ukurannya jenis kelamin bukan kemampuan.
Berangkat dari realitas itu, maka pada tanggal 13 Februari 2004 bertempat di Gedung Sekolah Yayasan Tri Mulya, Cigugur Kuningan, Jawa Barat, beberapa perwakilan (mayoritas) perempuan dari kalangan Adat, Agama dan Kepercayaan, berkumpul bersama dalam kegiatan bertajuk “Pertemuan Perempuan Adat, Agama dan Kepercayaan: Gerakan Bersama Menghapus Diskriminasi Berdasar Agama, Adat dan Kepercayaan”, untuk bersama-sama melakukan sharing ide dan pengalaman atas adanya pelbagai kasus diskriminasi yang terjadi, yang akibatnya terutama banyak dirasakan oleh kaum perempuan.
Pertemuan ini membahas berbagai pengalaman atas banyaknya perlakuan diskriminasi dalam bingkai ketidakadilan gender, dan secara langsung menemukan hubungan yang sangat erat antara perlakuan diskriminatif dengan sistem dan paradigma pendidikan yang selama ini dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.
Perlakuan diskriminatif tersebut dilakukan baik oleh agama, negara, atau keluarga. Beberapa permasalahan diangkat dan didiskusikan. Di antaranya seorang peserta mengungkapkan perlakuan diskriminatif yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak perempuan. Seperti ketidakbebasan seorang anak perempuan untuk tertawa, keluar malam, dan cara duduk. Hal ini berbeda dengan perlakuan orang tua terhadap anak laki-laki. Ketidakbebasan tersebut tidak berlaku bagi anak laki-laki.
Dalam bidang pedidikan formal, perlakuan diskriminasi pun terjadi. Seperti ungkapan salah seorang perempuan penghayat bahwa ketika ia mampu dan berhasil mengikuti mata pelajaran agama (Islam), nilai raport yang seharusnya bagus, namun disebabkan ia seorang penghayat, maka nilainya jadi jelek. Bahkan di lain kasus, ada anak didik yang dipaksa terlebih dahulu untuk memeluk agama tertentu, sebagai syarat agar ia dapat mengikuti pelajaran agama. Dalam kasus tersebut, guru bertindak sebagai pelaku utama diskriminasi, karena ia tidak bisa betindak adil. Ia memaksakan kehendak dan melanggar hak asasi anak didik.
Perlakuan diskriminasi dalam pendidikan tersebut di atas juga didorong oleh kebijakan negara atau para pembuat kebijakan pendidikan yang tidak aspiratif, seperti Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. UU Sisdiknas tersebut belum mengakomodir semua keyakinan dan agama yang tumbuh dan berkembang di Indonesia.
Maka dari hasil dialog tersebut dibuat sebuah rekomendasi yang menekankan perubahan pada wilayah pendidikan. Bertempat Gedung Sekolah Yayasan Tri Mulya Cigugur, Kuningan, Jawa Barat.
Berikut rekomendasi kami tentang solusi konkret bidang pendidikan:
Pernyataan rekomendasi ini ditanda tangani oleh seluruh peserta. Selengkapnya sebagai berikut: Lida (Penghayat Garut), Sri (penghayat Cigugur), Thoyyibah (Pesantren Arjawinangun), Lia Aliyah (Pesantren Arjawinangun), Rosi (Gereja Katolik Cigugur), Tri (Gereja Katolik Cigugur), Juju (Penghayat Cigugur), Apong S (Penghayat Cigugur), Euis (Penghayat Bandung), Ai Robiatul Adawiyah (Ponpes Al-Masturiyah), Khusnul Khotimah (Ponpes Al-Masturiyah), Lina Tunaswati (LPIK IAIN Bandung), S. Haryono (Penghayat Budi Daya Bandung), P. Gumirat Barna Alam (Penghayat AKUR Cigugur), Th. Yanie (Gereja Katolik Cirebon), Koidah Kosim (Fahmina Institute Cirebon), Juwita Djati (Penghayat AKUR Cigugur), Emalia Djatikusumah (Penghayat AKUR Cigugur), Sari (GKI Cirebon), Ita Natalinasari (GKI Cirebon), Titi, Felia Salim (Yayasan TIFA Jakarta), Kemal S, Agus R (Penghayat), Ela Sulasmi (Penghayat Cigugur), Wawan Gunawan (Pakuan Bandung), Miftah Safari (Pakuan Bandung), Cian Ibnu Sina (Pakuan Bandung), Ira IndraWardana (Pakuan Bandung), Ceceng Salamudin AF (Pakuan Bandung), Daden Sukendar (Pakuan Sukabumi), Marzuki Rais (Pakuan Cirebon), Mia Faiza Imran (Pakuan Tasikmalaya), A. Setiarsa (Pakuan Bandung), Anisa Rahmawati (Desantara Jakarta).
Desantara-Mia Fauzia Amran dan Asep Setiarsa