Dalam perspektif HAM, setiap orang memiliki hak hidup dan hak “berada” (existence) yang berbasis pada argumen kebebasan individu. Sementara itu, dalam masyarakat multi etnis, multi keyakinan dan multi bahasa, keberlanjutan keberadaan dan hidup seseorang tidak saja tergantung pada dirinya sendiri, tapi juga pada identitas kelompoknya dimana dia bisa bebas memeluk keyakinan dan mengekspresikan keyakinannya itu dalam nilai-nilai kelompoknya.
Meskipun UUD 45 menjamin setiap penduduk untuk bebas dalam berkeyakinan dan mengekspresikan keyakinannya, tetapi fakta sosial justru memunculkan hal yang sebaliknya. Bahkan, kriminalisasi terhadap para pemeluk aliran kepercayaan dan/atau aliran keagamaan tertentu masih saja berlanjut. Yang mencuat ke permukaan adalah justifikasi massif – juga cenderung didukung oleh statemen politik – bahwa kriminalisasi itu cukup berdasar karena telah terjadi “penyimpangan” terhadap ajaran yang “benar.”
Fenomena Shalat dua bahasa oleh kelompok Yusman Roy di Malang, kasus Gus Dur yang dihujat banyak pihak karena dianggap menodai Alqur’an, kasus Lia Aminuddin, Ahmadiyah, dan banyak lagi kasus lain di wilayah masyarakat dianggap melanggar aturan di dalam KUHP sekaligus dituding sebagai penodaan terhadap agama. Muncullah sebuah pertanyaan mendasar; adakah yang berhak untuk memberikan sebuah keputusan bahwa tindakan di wilayah keagamaan bisa dihukumi menodai, menghina, dan menyimpang, jika pada kenyataannya wilayah dan praktik keagamaan lebih bertopang pada tafsir? Dengan perkataan lain, sebuah hukum positif tidak akan memadai untuk menyelesaikan persoalan yang berakar pada bentuk dan praktik ajaran keagamaan yang multitafsir.
Di sinilah kita dihadapkan pada dua persoalan besar; di satu sisi jaminan negara untuk melindungi kebebasan beragama dan berkeyakinan justru ditabrak oleh kebijakan lain yang membatasi kategorisasi dan jumlah nama agama di Indonesia. Sementara di sisi lain, perbedaan penafsiran mengenai perilaku pemeluk agama dan kepercayaan tertentu justru diakhiri dengan pemenangan terhadap sudut pandang mayoritas sehingga merugikan eksistensi kehidupan minoritas.
Fenomena Hukum Kejahatan terhadap Agama
Dalam sejarah perkembangan hukum dan masyarakat Indonesia, salah satu akar dari kepentingan negara untuk mengontrol perilaku kehidupan masyarakat dalam kehidupan keagamaannya adalah dengan Penetapan Presiden – yang kemudian dikukuhkan menjadi UU – No. 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Akibat dari pelaksanaan penetapan inilah, sejak 1971-1989 terdapat 51 ajaran, aliran kepercayaan maupun keyakinan yang dinyatakan sesat atau dilarang beredar oleh Kejaksaan Agung dan Kejaksaan Negeri. Alasan pokok dikeluarkannya larangan-larangan tersebut adalah: (1) penodaan atau penistaan agama, (2) mengancam ketertiban umum dan stabilitas nasional. Belum lagi jika ditambah dengan kasus-kasus serupa pada era 1990-an sampai tahun-tahun terakhir, menunjukkan bahwa negara telah melakukan kesalahan karena telah membelenggu kebebasan masyarakat untuk memeluk dan mengekspresikan agama dan keyakinannya sesuai dengan aturan yang terdapat di dalam UUD 45.
Persoalannya menjadi kian rumit dan meyesakkan ketika agama dan kejahatan terhadap agama dalam hal ini adalah pemahaman yang telah diatur dan ditetapkan oleh negara. Masyarakat tidak pernah terlibat dan disertakan sebagai bagian dari proses pembuatan definisi mengenai agama dan kejahatan agama itu sendiri. Ironisnya, para penegak hukum tidak mampu membedakan wilayah penafsiran di dalam menjalankan ajaran keagamaan dan wilayah penyimpangan menurut hukum positif. Alih-alih menuai protes, pemerintah dengan para penegak hukumnya tetap berlenggang menurut selera dan pengetahuan yang mereka pahami.
Kejahatan terhadap Agama dalam Rancangan KUHP
Setidaknya terdapat delapan pasal dalam RKUHP yang mengatur tentang tindak kejahatan terhadap agama dan kehidupan beragama. Di antara pasal yang sangat krusial untuk diperbincangkan adalah:
Pasal 341:
Setiap orang yang di muka umum menyatakan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat penghinaan terhadap agama yang dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori III (Rp 30.000.000/tiga puluh juta rupiah).
Pasal 343:
Setiap orang yang di muka umum mengejek, menodai, atau merendahkan agama, rasul, nabi, kitab suci, ajaran agama, atau ibadah keagamaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV (Rp 75.000.000/tujuh puluh lima juta rupiah).
Pasal 345:
Setiap orang yang di muka umum menghasut dalam bentuk apa pun dengan maksud meniadakan keyakinan terhadap agama yang dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV (Rp 75.000.000/tujuh puluh lima juta rupiah).
Pasal 348:
Setiap orang yang menodai atau secara melawan hukum merusak atau membakar bangunan tempat beribadah atau benda yang dipakai untuk beribadah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV (Rp 75.000.000/tujuh puluh lima juta rupiah).
Dari sekian pasal yang terdapat dalam RKUHP, sama sekali tidak dipertimbangkan dan atau tidak dimuat mengenai definisi yang jelas tentang agama, pemeluk agama, dan tindakan kejahatan terhadap agama seperti; menodai, mengejek, menghina, dan sebagainya. Tentu saja, definisi yang dimaksud di sini bukanlah definisi dalam kacamata negara, tetapi definisi yang lebih dekat dengan pengertian dan sesuatu yang telah dijalankan oleh masyarakat. Dengan demikian, bagaimana perlindungan terhadap keyakinan “tidak resmi” ketika mereka mengalami diskriminasi dan kekerasan? Tidak mungkinkah mereka mengadukan persoalan itu hanya dengan alasan keyakinan mereka tidak dikategori sebagai “agama yang dianut di Indonesia”?
Pertanyaan lain; kenapa agama yang dianut di Indonesia hanya enam? Bagaimana dengan anggapan masyarakat bahwa keyakinan mereka lebih tepat dimaknai sebagai agama padahal menurut negara hanya diakui sebagai aliran kepercayaan? Lalu bagaimana dengan deret bentuk agama dan keyakinan lain di Indonesia yang jumlahnya sangat banyak dan plural ketika dikaitkan dengan kehidupan komunitas lokal yang memiliki tata cara adat dan keyakinan yang berbeda?
Dengan pengertian lain, aturan ini tidak memikirkan nasib komunitas adat (local) yang dalam tataran tradisi dan kehidupan mereka sehari-hari tidak bisa dipisahkan dengan keyakinannya. Negara tidak mengerti bahwa ketika salah satu bagian dari kehidupan komunitas lokal dicederai, otomatis juga telah mencederai tradisi dan keyakinan mereka.
Dengan demikian, aturan tentang kejahatan terhadap agama dan kehidupan beragama dalam Rancangan KUHP bukan hanya belum memadai, tetapi juga sangat jauh dari problem konkret yang ada di tingkatan masyarakat. Aturan ini bukan hanya menyisakan banyak pertanyaan, melainkan juga mencerminkan sebuah ketidakmengertian negara terhadap pluralitas perilaku, aliran dan ajaran keagamaan serta keyakinan di Indonesia. Karena jika asumsi Negara yang menganggap penting tentang rasa keagamaan dan menjaga ketertiban, masih perlukah agama dan Tuhan dilindungi? Sesuatu yang bukan hanya rumit, tetapi juga mereduksi keberadaan dan makna Tuhan itu sendiri. Desantara