“Orang-orang datang bersama-sama
di suatu kota untuk hidup.
Dan mereka tetap bersama-sama
untuk menikmati kehidupan
yang menyenangkan.”
(Aristoteles, filsuf Yunani, dalam Politics)
Katanya, Jakarta sebagai megapolitan—bukan lagi metropolitan, ternyata telah membuat berbagai problematika yang hingga kini tak terpecahkan. Mulai dari perumahannya yang semrawut, limbah yang tidak diketahui asalnya dari mana, hingga transportasi dengan berbagai kemacetan jalannya pun dijadikan sebagai make up kota. Memang semua realitas ini merupakan sesuatu yang klasik, tapi ternyata, dengan realitas ini, masyarakat penghuni Jakarta menghadapinya dengan berbeda-beda pula. Realitas macet contohnya.
Kalau anda coba tanyakan tentang macet ini kepada masyarakat Jakarta; entah itu sopir, penumpang, pedagang, polisi, pelajar atau pun masyarakat di luar Jakarta, kira-kira jawaban yang muncul pasti berbeda-beda. Tapi ada satu muaranya, kemacetan di Jakarta sudah biasa, kalau tidak macet, bukan Jakarta namaya. Masyarakat hanya pasrah dan mengikuti apa adanya. “Habis gimana lagi, lha wong tiap harinya juga begini,” ungkap Bang Untung, sopir angkutan D.01 Ciputat–Kebayoran Lama.
Laju urbanisasi yang begitu pesat, tidak mungkin bisa dikejar dengan laju pembangunan kota di megapolitan Jakarta. Pada awalnya, laju urbanisasi masih bisa ditampung dan dilayani oleh sarana dan prasarana yang ada; tetapi, makin lama sarana dan prasarana itu pasti tidak lagi bisa memadai dan akan menimbulkan kemacetan-kemacetan di banyak sektor yang tidak bisa dihindarkan. Para perencana pembangunan telah menyadari, bagaimana Jakarta yang didesain untuk penduduk enam juta jiwa, kini dihuni oleh sepuluh juta jiwa (2002) dan akan mencapai pelipatan ganda pada tahun 2020 (Ahmadin Ahmad, 2002).
Makin banyaknya kendaraan-kendaraan pribadi atau pun umum seperti misalnya bis – umum – kota, bemo, mikrolet dan minibus sering tidak lagi dapat ditampung oleh sarana jalan yang ada. Akibatnya, kemacetan lalu lintas sudah merupakan pengalaman biasa, bahkan telah menjadi ritus yang harus dijalani oleh masyarakat. Kapasitas terminal-terminal yang dibangun, praktis sudah tidak dapat melayani jumlah angkutan kota yang beroperasi dan melampaui daya dukungnya. Belum lagi di daerah yang sudah ada terminalnya, tetapi tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Di Ciputat misalnya, walau pun terminal sudah ada, kemacetan tetap menjadi fenomena sehari-hari. Kenapa tidak berfungsi? “Itu karena, ada salah satu angkot yang tidak mau menempati, gara-garanya kurang strategis. Jadi, sewangadem di depan Mall Ramayana Ciputat sehabis pulang kerja. (istilah untuk menyebut penumpang) tidak bisa ke sana,” tutur kang Nardi, tinggal di Kedaung, Ciputat. Sewaktu kami wawancarai, dia lagi
Kemacetan, rasa tak sabar, suasana kota yang menekan dan persaingan yang cukup keras membuat disiplin para pengemudi dan wibawa polisi lalu lintas makin merosot. Hal ini memperparah suasana kemacetan lalu lintas, lebih-lebih dengan tidak teraturnya nyala lampu lalu lintas dan menjamurnya petugas informal (polisi cepek/pak ogah) di sudut-sudut kota dan di persimpangan jalan.
Kendaraan-kendaraan umum yang terbatas jumlahnya, pada jam-jam puncak sudah tidak lagi dapat menampung arus penumpang yang membutuhkan jasa angkutan kota, sehingga sudah menjadi biasa kalau kita melihat pemandangan bis-bis kota yang penuh sesak pada jam-jam masuk dan keluarnya kantor-kantor.
Tata Kota Jakarta;
Benarkah Sarat Kepentingan dan Kekuasaan?
“Pada mulanya orang-orang
membangun kota-kota dan gedung-gedung.
Kemudian justru gedung-gedung
itulah yang membentuk
identitas orang-orang yang membangunnya.”
(Sir Winston Churchill, mantan PM
Inggris pada Perang Dunia kedua)
Perlu Anda ketahui, bahwa kemacetan di Jakarta berada pada titik-titik tempat yang memang kurang begitu strategis bagi “kecantikan” tata kota. Titik-titik rawan kemacetan, biasanya berada di pinggir-pinggir perkotaan yang memang jauh dari pusat kota. Entah karena memang kemacetan memperjelek tampilan kota, ataukah memang kemacetan hanya ada pada orang-orang pinggiran yang kurang begitu mepermasalahkan “kedisiplinan,” atau tidak sama dalam mendifinisikan apa yang namanya disiplin.
Anda tentu tahu yang namanya Bundaran HI (Hotel Indonesia), di mana tempat ini merupakan titik-pusat kota Jakarta; makanya, demi keindahan dan keteraturan tempat ini harus tetap dijaga. Kalau ada kemacetan sedikit, polisi sebagai pengawas kemacetan pasti akan segera turun tangan untuk “membereskannya.” Karena takut akan mengganggu pemandangan orang serta keindahan pusat kota.
Apa kata tamu dari negara lain, kalau tata kota Jakarta semrawut, jalanan macet, mobil angkutan bebas ke kiri ke kanan, banyak sampah di mana-mana dan orang hanya bisa bengong saja. Pasti jawabannya tidak jauh dari geleng-geleng kepala sambil cek, cek, cek cek, negara apa ini!
Tentu, pemerintah tidak menghendaki fenomena demikian. Makanya, desain pusat kota harus dibuat sedemikian rupa agar segalanya berjalan sesuai dengan apa yang dikehendakinya. Jalanan harus lancar, polisi di mana-mana, pedagang kali lima walk out, tukang becak sekaligus becaknya dipulangkan ke tempat “asalnya,” petugas kebersihan terus menjalankan tugasnya, dan sebagainya.
Dus, di sisi lain, pemandangan yang begitu “indah” di tengah kota serta tanpa kemacetan ini, pun dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok ekonomi papan atas untuk mendirikan bangunan-bangunan entah itu rumah, apartemen atau kantor. Karena memang – bagi mereka, waktu lebih efektif dan tempat lebih strategis kalau berada di pusat kota. Dan realitas ini pun berimbas pada mahalnya harga tanah, bangunan, dan akhirnya membuat style seseorang berbeda. Fenomena ini yang kemudian merubah seseorang untuk disebut “orang kota.”
Dan di sisi lain juga, tempat-tempat yang berada di kawasan pinggir Jakarta, yang namanya kemacetan merupakan menu setiap harinya, dan realitas ini pun akhirnya dihadapi masyarakat dengan biasa-biasa pula. Karena tidak bisa berbuat apa-apa juga. Ciputat salah satu contohnya. Karena kawasan ini berada di pinggiran kota Jakarta, maka macet merupakan ritual yang harus dihadapi penghuninya. Jangankan hari kerja, hari libur pun – kadang – macet menjadi fenomena yang biasa pula. “Hari Minggu mendingan Mas, tetapi kadang masih macet juga,” tutur salah seorang pedagang gorengan yang mangkal di depan Mall Ramayana Ciputat yang dengan pasrah mengomentari kemacetan yang ada di Jakarta dan Ciputat khususnya.
Karena berada di pinggir kota, fenomena kemacetan di Ciputat akhirnya kurang begitu dipermasalahkan, kalau tidak mau dibilang tidak sama sekali. Bayangkan saja, angkutan yang berjubel jumlahnya, ditambah banyaknya perempatan yang menghiasinya, mall, pasar dengan segala tetek bengeknya, dan jumlah penduduk yang besar, ternyata membuat pemerintah “kehabisan akal” untuk mengatasinya. Berbeda dengan pusat kota yang selalu banyak akal untuk mencari jalan keluarnya. Memang, desain kota Jakarta terkesan menghendaki demikian.
Siasat-Men(siasat)i Kemacetan
“Orang ceritai aku tentang Jakarta
gedung-gedung, monumen dan tugu
bertahta megah
di hatiku: alangkah kaya tanah air Indonesia…”
(Mansur Samin, Sketsa Jakarta, 1966)
Saking biasanya meghadapi kemacetan; akhirnya, masyarakat pun tidak kehabisan akal untuk menghadapinya. Lihat saja, bagaimana Jakarta di pagi hari. Jam enam saja, ramainya bukan main. Sewa sudah pada rebutan bis umum, kantor-kantor sudah buka, dan kemacetan sudah menghiasinya. Barangkali, jam enam-nya Jakarta, sama saja dengan jam tujuhnya daerah-daerah lain – tentu selain kota-kota besar, apalagi yang kerjanya atau aktivitasnya ke tengah kota, maka berangkatnya akan lebih awal lagi karena baginya nanti akan menghadapi titik-titik pusat kemacetan. Telat sedikit saja, jam enam lebih lima belas atau jam setengah tujuh misalnya, maka kejadiannya akan lain. Yang jelas, macetnya semakin menjadi.
Berbeda dengan orang-orang yang tinggal di pusat kota atau aktivitasnya tidak melewati titik rawan kemacetan, maka dia akan lebih santai untuk menghadapinya. Jam enam masih digunakannya untuk senam pagi, fitness, jogging, atau segala tetek bengek-nya yang berhubungan dengan kesehatan badan. Bagi dia, udara pagi harus digunakan sebaik-baiknya, karena kalau sudah siang sedikit saja, udara sudah “tidak orisinal,” mobil banyak, dan sudah tidak nyaman lagi untuk kegiatan bagi kesehatan.
Gara-gara banyaknya mobil dan kemacetan, antara satu orang dengan orang yang lain, menghadapi dan menyiasatinya berbeda-beda. Orang yang kena imbasnya macet tentu akan menyiasatinya dengan berangkat lebih pagi, “Tapi ‘kan lagi enak-enaknya tidur mas,” lanjut bang Nardi.
Gara-gara kemacetan, orang jadi numpuk di dalam kendaraan pengap, banyak orang lalu lalang, buru-buru, dikejar-kejar waktu, takut telat masuk kerja, dan masih banyak lagi. Fenomena ini, kemudian dijadikan orang-orang yang “nalar bisninya jalan,” sebagai aset yang tidak bisa ditinggalkan. Gara-gara di kendaraan pengap, haus – lebih-lebih kalau siang, maka tukang jual minuman langsung menyodorinya, dari es, hingga kopi semua ditawarkan di jalanan. Atau kalau mau shadaqah karena takut tidak ada waktu yang lain, banyak pengamen, bantuan pembuatan tempat ibadah, sampai pengemis pun siap menerimanya.
Bagi orang yang buru-buru, dikejar-kejar waktu, takut telat kerja, tukang-tukang ojek sanggup mengantar sampai tempat tujuan–tergantung ongkos. Tetapi, kalau sudah telat masuk kerja, mau kasih informasi kalau jalanan lagi macet, takut kolega marah, sudah janjian dan telat; mau nelpon? Jangan khawatir, di pusat-pusat kemacetan pasti di sekitarnya ada wartel. Pokoknya, serba tersedia. Macet di satu sisi merupakan fenomena yang harus ditakuti, di benci dan harus dimusnahkan, tetapi di sisi yang lain, macet merupakan berkah yang harus disyukuri, dinikmati, dan menambah “kreatifitas” – khususnya bagi orang yang dibuat untung dengan kemacetan, dan tidak mempermasalahkan.
Terus, bukan berarti kemacetan, jalanan ramai penuh sesak itu baik, dan jalanan lancar, tidak ada pedagang yang seliweran itu buruk, tetapi yang terpenting dari yang paling penting adalah, bagaimana menyiasati (menghadapi) makhluk yang namanya kemacetan ini; pemerintah bagaimana, polisi bagaimana, pedagang, tukang ojek, sopir angkot dan penumpangnya, serta warga pun bagaimana. Serahkan saja sama diri sendiri dan Yang Di atas Sana.
“Bulan telah pingsan
di atas kota Jakarta
tapi tak seorang pun menatapnya.”
(W.S. Rendra, Bulan Kota Djakarta, 1955)
Desantara/ Fahmie Arif el-Muniry