Jangan Samakan Lidahku dengan Lidahmu

Kalau Anda coba jalan-jalan ke Kota Jogjakarta, Anda pasti menemukan masakan (makanan) khas daerahnya; mulai dari Gudeg hingga Bakpia. Atau kalau Anda jalan-jalan lagi ke kota Semarang; di sana pun Anda pasti menemukan masakan khas-nya yaitu Lumpia. Atau daerah-daerah lain di Indonesia bisa dipastikan sama –mempunyai masakan khasnya masing-masing.
Di balik masakan-masakan khas dari daerah-daerah yang kita kenal dan sering kita dengar itu, ada masakan-masakan (makanan) lain yang jumlahnya tak bisa dihitung lagi, sama, ciri khas dari daerah tersebut juga. Tetapi mengapa, yang sering muncul hanya ada beberapa yang merepresentasikan makanan “asli” daerah tersebut.
Dari banyaknya model, bentuk serta rasa dari setiap makanan yang dibuat, juga sebenarnya merepresentasikan dari karakter, sifat dan rasa dari daerah-daerah tersebut; tetapi karena sudah di“akomodir” menjadi hanya beberapa macam makanan yang mewakili, maka, ketidaksamaan rasa yang asalnya dimiliki setiap orang dengan orang lain -berangkat dari fenomena ini- tentu bisa disamakan. Kalau Sunda masakannya manis, Jogjakarta karena diwakili dengan Gudeg-nya kemudian diklaim semua orang Jogja suka yang pedas-pedas, begitu juga dengan orang Padang.
Dari realitas ini, kemudian muncul apa yang disebut “masakan nusantara” –masakan yang merepresentasikan seluruh rasa dari semua masakan yang ada di Indonesia dan menenggelamkan masakan atau makanan-makanan daerah yang lain walau pun jumlah dari masakan-masakan daerah itu sudah tidak bisa dihitung lagi. Lidah yang mempunyai tugas merasakan –dan setiap rasa orang tentu berbeda, harus coba disamakan antara lidah satu dengan lidah-lidah yang lain, dengan “lidah nusantara”. Barangkali, “hibriditas lidah” bisa mewakili sebutan yang lumayan cocok dengan realitas ini untuk bisa didengungkan lagi.
Apalagi sekarang, setelah ide globalisasi ditemukan –dalam jurnal-jurnal bisnis pada akhir 60-an dan awal 70-an, diyakini akan membawa manusia berada pada era di mana kehidupan sosial ditentukan oleh proses global, zaman di mana rambu-rambu batas budaya nasional, ekonomi nasional dilanggar serta wilayah nasional semakin tidak ada. Tapi kemudian konsepnya yang berkembang adalah glokalisasi, di mana penyesuaian produk global dengan karakter pasar (lokal).
Kalau mau dilarikan lebih jauh dari masalah makanan ke ekonomi, glokalisasi menjadi strategi yang muncul sebagai kritik terhadap konsep perdagangan bebas neoklasik, yang tidak lagi menspesialisasikan sebuah negara dalam satu produk sesuai dengan potensinya. Karena itu para produsen mengkondisikan sebuah negara (pasar) agar berada dalam satu latar belakang sosial-budaya yang sama dengan negara lain.
Banyak sekali contoh yang sudah membuktikan, kalau glokalisasi sudah merambah ke jalur-jalur makanan. Mulai dari lokal ke daerah, daerah ke nusantara (nasional) sampai nasional ke internasional. Indo Mie salah satu contohnya. Makanan ini –dengan berbagai rasa yang ditawarkan- bisa menyamakan rasa dari semua lidah yang ada di dunia, tidak peduli daerah, nasional atau pun internasioanal. Bayangkan saja, lidah yang secara kodrati memiliki ketajaman merasa yang berbeda-beda, dengan adanya Mie ini diasumsikan lidah semua orang yang makan makanan ini mempunyai rasa yang sama semua. Apalagi didukung dengan iklan-iklan, fesyen serta budaya yang menguatkan hegemoni ini. Seakan-akan semua orang dihipnotis untuk makan Mie. Mulai dari kota sampai desa, pun dari Sabang sampai Merauke. Bayangin saja, hanya lidah kok harus disamakan.
Dapat diamati bahwa pada satu sisi globalisasi secara konkrit telah menciptakan kelimpahruahan material, sedangkan pada sisi lain menciptakan penduniaan budaya konsumtif yang mengancam peradaban manusia. Budaya konsumtif dikemas dalam “gaya hidup internasional” dan merupakan simbol modernitas
Salah satu bunyi iklan IndoMie di TV ini barangkali bisa mewakili, kalau terjadi “pemaksaan rasa besar-besaran” serta masakan ala-Indonesia sudah tidak jelas lagi. Sekarang, jarang sekali ditemukan masakan lokal (di desa-sesa terpencil) kalau tidak mau dibilang sudah tidak ada lagi. Semua digantikan makanan-makanan yang memang “tidak jelas” asal-usulnya.
DARI SABANG SAMPAI MERAUKE.
DARI LAUT SAMPAI PEGUNUNGAN.
INDONESIA TANAH AIRKU.
INDOMIE SELERAKU.
McDonald’s atau Coca Cola pun sama. Seakan-akan, makanan dan minuman ini harus dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Karena pencitraan yang timbul, bagi pemirsa –lebih banyak- dengan iklan televisi, citra yang dikonstruksi pada umumnya berganda, maka pemaknaan juga tidak pernah tunggal (Burhan Bungin, 2001, h. 202). Makna yang dikode oleh pemirsa pada umumnya selalu bermakna ganda. Iklan McDonald’s (McRendang) contohnya. Makna iklan tersebut dikode oleh pemirsa sebagai bagian dari kehidupan kelas sosial menengah ke atas yang bergaya modern, di bagian lain iklan tersebut adalah bagian dari kenikmatan, kemewahan dan persahabatan.
McDonald’s adalah simbol kebaratan, karena itu bermakna gaya hidup modern. Di sisi lain, dengan konstruk mereka, bahwa kenikmatan McDonald’s tak bisa dibantah lagi sebagai makanan orang kota yang konsumtif. Bahkan situasi tempat yang menyenangkan di counter McDonald’s memungkinkan terciptanya situasi persahabatan dengan makan di sana.
Media massa, baik elektronik maupun cetak merupakan sarana utama dalam penyebaran “epidemi global” budaya konsumtif internasional tersebut. contohnya, gaya memakan fast-food seperti hamburger, McDonald’s, Wendy’s, Arby’s, ayam goreng internasional Kentucky, Texas, California, dan lain-lain merebak di seantero jagat termasuk di Indonesia (Heru Nogroho, 98:98).
Sebagai ilustrasi, bisa dibayangkan bagaimana dahulu sewaktu makanan-makanan modern hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang, di desa-desa orang masih bisa dan sering membakar ubi (singkong) dan dinikmati bersama-sama. Kegiatan ini biasanya dilakukan di sawah-sawah, sekaligus menunggu sesuatu atau istirahat, setelah atau di sela-sela bekerja. Suasana keakraban, kebersamaan serta kedermawanan jelas terlihat di waktu itu. Nampak sekali di raut muka mereka bahwa hidup dengan begitu -makan makanan dengan sederhana- ternyata bisa menciptakan suasana yang tenteram. Realitas ini kemudian yang dipakai makanan modern untuk mengemas makanannya; baik tempat, rasa atau pun suasananya. Konsep ini jelas terlihat sekarang di warung-warung gaul, counter masakan-masakan “luar” dan tempat-tempat makanan lainnya.
Di desa-desa, fenomena yang dahulu oleh nenek moyangnya dilakukan (masak dan makan bersama dengan selera yang apa adanya) ternyata –kebanyakan- mulai bergeser sedikit demi sedikit tanpa mereka sadari. Mereka sekarang justru juga “ikut-ikutan” menikmati makanan yang justru datangnya “tidak jelas”. Entah karena apa, mode-kah? Budaya-kah? Atau pintarnya konstruk yang dibawa dengan kemasan-kemasan yang begitu menarik.
Dari kebiasaan-kebiasaan di desa-desa tadi yang sudah semakin jarang dilakukan, akhirnya membawa implikasi yang begitu dahsyat. Bagaimana tidak, orang ke sawah hanya sekedar ke sawah tok, habis melakukan pekerjaan rutinnya kemudian pulang dan besok berangkat lagi. Sawah bukan lagi tempat yang paling enak untuk melakukan curhat antarsesama warga dalam menyiasati hidup atau ajang curhat permasalahan apa pun termasuk permasalahan negara; tetapi sawah hanya digunakan untuk mencari materi ansich.
Dari jarangnya ‘ritus-ritus’ kebiasaan tadi yang dijalankan, di sawah, intensitas untuk terjadi keributan juga besar, entah rebutan gara-gara saluran air atau masalah-masalah kecil lainnya.
Dus, dari sini barangkali bisa direnungkan kembali, bagaimana kemodernan berhasil mengoyak kebiasaan-kebiasaan orang; yang memang dahulunya sudah “mapan”. Atau sekarang orang dipaksa untuk mengikuti yang namanya kemodernan; makan harus dengan makanan modern, dengan rasa yang modern, gaya modern, kemasannya juga harus modern, pun disertai suasana yang modern. Selamat menikmati !!! Desantara-Fahmi Arif el-Muniry

BAGIKAN: