Dayak, Daya, Daya’, atau Dyak, seperti disebut literatur terbaru, adalah nama-nama antropologis. Dan orang-orang Kayan, Kenyah, Bahau, Tunjung, Benua, Bentian, Iban, Klemantan, Ngaju, Maanyan, Lawangan, Murut, Punan, dan seterusnya hanya menerima secara pasif. Victor King (1993) menyebut beberapa kemungkinan asal kata Dayak, bisa dari kata daya (bahasa Kenyah) berarti hulu atau pedalaman, dari kata aja (bahasa Melayu) yang bermakna pribumi, atau dari istilah dalam bahasa Jawa (Tengah) yang berarti tindakan yang tidak sesuai.
Tidak hanya itu. Para antropolog Barat abad ke-19, kolonial, para penginjil, para da’i, dan birokrat hingga kaum terpelajar Indonesia pascakemerdekaan mengonstruksi bahwa Dayak pemburu kepala, pembuat rajah, perampok, penghuni rumah-rumah panjang, masyarakat terasing, tak beragama, dan perambah hutan. Saunders (1993) menegaskan bahwa karya Bock, The Head-hunters of Borneo (terbit 1881 di Inggris) berpengaruh besar terbangunnya citra Dayak seperti itu. Demikian pula bermacam gambar rekaan dari pariwisata yang bisa segera membangun image dan memancing perhatian atau menghadirkan sesuatu yang sebenarnya tidak ada (absent) dalam kenyataan. Persis seperti konstruksi yang dibangun berbagai program pembangunan seperti proyek pemukiman (resetlement) dan kebijakan penambahan departemen perambah hutan dan suatu kabinet di masa Orde Baru.
Selain King dan Saunders, McKinley (1976), Freeman (1979), Coomans (1987), dan Hoffman (1986), dan sejumlah intelektual-aktivis dari Kalimantan sendiri yang sejak lima belas tahun terakhir tumbuh subur di seluruh Kalimantan mengajukan kritik keras terhadap pencitraan tersebut. Citra tentang Dayak yang dibangun atas dasar politik dan kebudayaan si pemandang dan bukan dari sudut pandang orang-orang Dayak sendiri itu dinilai tidak adil, tidak manusiawi, menyesatkan, dan sangat kolonial.
Dayak juga disebut berasal dari Cina. Seluruh dokumen tentang asal mula Dayak selalu menyebut bahwa mereka adalah imigran bergelombang dari Yunnan, daratan Cina Selatan yang menyusur melalui Indo-Cina dan Malaysia hingga berakhir di Kalimantan. Coomans memperkirakan bahwa Dayak yang kini bermukim di Kalimantan Selatan dan tengah menyusur pengembaraannya melalui Sumatera dan Jawa, sementara mereka yang sekarang berdomisili di Kalimantan Barat dan Timur melalui Filipina. Sebuah Mal di Samarinda memajang replika perahu bermotif Cina yang diklaim sebagai “perahu pertama” rombongan Cina pertama yang memasuki Kalimantan.
Bisa jadi asumsi-asumsi historis itu benar. Pembakuan “sejarah asal usul dari Cina” itu sendiri menciptakan citra yang tak menguntungkan bagi masyarakat Dayak. Citra itu menjadikan Dayak sangat rentan dalam konteks sosial-politik Indonesia yang mempersoalkan “pri-nonpri”, WNI-WNA, “peranakan”, “minoritas-mayoritas”, dan problem rasial lain. Sebuah kelompok atau komunitas tertentu, dengan sangat gampang disudutkan hanya karena ia bukan pribumi, bukan WNI, Cina peranakan, dan bukan termasuk mayoritas.
Citra memang bukan yang sesungguhnya, karena ia lebih merupakan proyek politik mereka yang memandang. Tetapi, citra itu pula yang menentukan nasib bangsa Dayak kemarin, hari ini, dan esok hari. Tak mungkinkah kita memberikan ruang bebas sehingga orang Dayak dapat mencitrakan, merumuskan, dan mendefinisikan diri? Hanya arogansi politik dan intelektual yang tidak dapat menyediakan ruang bebas itu. Desantara