Sejarah Bisa Berulang

Mungkin sudah tidak diingat, bahkan oleh orang Dayak sendiri, bahwa pada pertengahan 50-an abad ke-20 pernah terjadi hiruk-pikuk politik berkaitan dengan agama dan etnisitas di Kalimantan. Separoh pulau milik Indonesia itu pada 1956 dibagi menjadi 3 propinsi. Kalimantan Barat mencakup batas perairan dari sungai Kapuas dan sungai-sungai lain yang mengalir ke arah barat; Kalimantan Timur mencakup batas perairan dari sungai Mahakam dan seluruh sungai lain yang mengalir ke timur; dan Kalimantan Selatan meliputi batas perairan dari seluruh sungai yang mengalir ke selatan, seperti sungai Barito dan sungai Kahayan. Daerah yang kini disebut Kalimantan Tengah termasuk ke dalam wilayah Kalimantan Selatan.

Bagi propinsi Kalimantan Timur dan Barat perbedaan topografis masih dianggap cocok, namun tidak demikian pada kasus batas perairan dari sungai-sungai yang mengalir ke arah selatan. Kelompok Muslim Banjar, yang secara kuantitatif dan politik superior, mendominasi propinsi Kalimantan Selatan. Masyarakat Dayak di wilayah itu yang merasa terdesak segera melangkahkan berbagai upaya ke pemerintah pusat di Jakarta untuk memperoleh pengakuan Dayak Besar dengan propinsi yang terpisah dari kekuasaan Banjar muslim Kalimantan Selatan. Tetapi seluruh upaya itu menemui kegagalan; pemerintah pusat tak mengabulkan permohonan mereka.

Tak puas dengan itu, sebagian masyarakat Dayak menegaskan perlawanan fisik, sebuah gerakan (disebut pemberontakan) mengikuti garis agama dan etnis berkobar. Kelompok utama Dayak Ngaju pada 1956 mulai menyerang berbagai bangunan pemerintah terutama di Banjarmasin. Tujuan utama gerakan tersebut adalah untuk memperoleh pengakuan terhadap eksistensi Dayak Besar dalam putaran politik pemerintahan dengan mendirikan propinsi otonom terpisah dari Kalimantan Selatan. Sadar bahwa ini persoalannya sudah menyangkut persoalan mengancam persatuan dan kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Presiden Soekarno akhirnya (1957) mengabulkan permohonan Dayak untuk mendirikan propinsi sendiri bernama Kalimantan Tengah (Miles, 1976). Sebuah kebijakan yang sebelumnya diberikan kepada Daerah Istimewa Aceh.

Kenyataan Kalimantan Timur sekarang memang tidak persis sama dengan kenyataan Kalimantan Selatan waktu itu. Dominasi agama tertentu di Kalimantan Timur kini tidak terlihat sebagaimana di Kalimantan Selatan tempo dulu. Akan tetapi membanjirnya migrasi orang-orang Jawa, Bugis, Mandar, Banjar, dan Madura yang memperoleh sambutan dari kalangan muslim Kutai (halo) tidaklah mustahil jika akan melahirkan dominasi sebagaimana yang terjadi di di Kalimantan Selatan tempo dulu. Sebuah dominasi yang melebar dalam berbagai hal dan sektor; sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan.

Laporan-laporan yang disiarkan, hutan dibabat, jalan sungai diubah menjadi darat, industrialisasi yang hanya menimbang skill dan pengetahuan digelar, migrasi berlangsung deras, peng-agama-an meluas, dan orang-orang Dayak terkena re-setlement tanpa ujung. Semua itu menghasilkan orang-orang Dayak semakin tersudut dari “pentas” ekonomi, politik, dan budaya.

Memang benar bahwa banyak dari penduduk Dayak yang beralih profesi (Weinstock dan Sunito, 1989; Eghenter, 1995). Tetapi, akses Dayak terhadap berbagai sumber ekonomi masih sebatas di wilayah pinggir. Perdagangan di kota maupun di desa didominasi oleh para pendatang (Bugis, Banjar, dan Jawa). Begitu pula partai politik, birokrasi, dan kebudayaan, posisi pentingnya didominasi non Dayak.

Tampaknya, kita harus melawan lupa. Desantara

BAGIKAN: