Dayak Baru?

Jika di Jawa pernah ada tesis se-islam-islamnya orang Jawa tetap Jawa, mungkinkah di Kalimantan dibangun tesis serupa bahwa sekristen-kristennya orang Dayak tetap Dayak? Kristen dan Islam memang beda, begitu pula bagaimana kedua agama itu didakwahkan di bumi Jawa dan di Kalimantan. Persis seperti perbedaan orang Jawa dan orang Dayak terutama dalam menghadapi, menyikapi, dan menafsirkan agama samawi tersebut. Tetapi dalam hal puritanisasi di tengah agama lokal, kedua agama samawi itu nyaris sama. Bisa dipastikan bahwa keduanya mempunyai semboyan bahwa pemurnian, kesucian, dan keaslian agama adalah sesuatu yang harus dijaga, ditegakkan.
Entah secara kebetulan bersama atau memang merupakan bagian yang menyertainya, kehadiran Kristen di Kaltim seiring-sejalan dengan kehadiran dan perluasan kekuasaan kolonial Belanda. Para misionaris menebarkan pekabaran Injil dan para penguasa kolonial menjejalkan modernitas via pendidikan dan kesehatan, di samping penancapan kekuatan politik dan ekonomi. Pusat kegiatan di Melak (pos pertama di pedalaman) dibangun untuk berbagai kegiatan politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, sekaligus penginjilan.
Hasil-hasil riset sejarah dan antropologis melukiskan bagaimana seluruh aktivitas misi (dakwah) tersebut berujud dalam pemaksaan dengan berbagai cara dari yang halus (hegemonik) sampai intimidasi dan kekerasan. Sebuah buku, Sejarah Gereja Kemah Injil Indonesia:1995, menyebutkan bahwa mereka yang tidak mau mengikuti pekabaran Injil dikucilkan bahwa dianggap sebagai ‘buaya Mahakam’, orang yang tersesat, ‘teman-teman setan atau iblis’, dan orang-orang yang harus diselamatkan.
Kristenisasi Dayak memang tidak memutus hubungan genealogis dan identitas etnis seperti halnya Islamisasi yang ‘membersihkan’ kedua hal itu dari diri seorang Dayak. Tidak seperti mereka yang muslim dan harus menjadi halo, orang Dayak Kristen tetap menjadi Dayak dengan subetnisnya masing. Namun demikian, ternyata Kristenisasi itu telah mengubah banyak hal dalam diri orang Dayak, termasuk hal-hal yang paling subtansial dari kedayakan.
Goa, tengkorak, gunung, hutan, dan burung sebagai bagian amat penting dari agama orang Dayak berubah menjadi sebuah bangunan lengkap dengan bentangan salibnya. Para dewa dan arwah leluhur yang menjadi pusat religius mereka harus berganti Roh Kudus, Yesus Kristus. Bukan itu saja. Buku di atas menceritakan: “Sesudah itu, rumah adatnya dibongkar, bahkan lumbung padinya juga dibongkar karena dulu dibangun dengan upacara adat kafir. Sang kepala adat kemudian memerintahkan agar patung-patung dicabut dan dibuang ke sungai dengan segala alat kafirnya” (hal. 104).
Dayak kini telah mengalami reintepretasi, pemaknaan ulang. Rumah panjang atau (L)amin memang masih berdiri tegak di banyak desa dan kampung di Kaltim. Begitu pula patung-patung penanda desa atau perkampungan. Arsitektur rumah dan bangunan-bangunan lain juga masih terlihat bahkan di perkotaan Kaltim termasuk gedung-gedung perkantoran. Banyak benda-benda khas Dayak seperti mandau, keranjang, gendongan bayi, tikar rotan, sumpit, dan lain-lain bertebaran di banyak tempat. Tetapi, semua itu tak lebih dari sekedar aksesoris dan souvenir yang laris untuk para pelancong dan wisatawan. Bahkan Dayak itu sendiri cendrung dikomodifikasi murni untuk kepentingan eksternal.
Dengan demikian maka apakah kita bisa bilang bahwa sekristen-kristennya orang Dayak tetap Dayak? Tetapi yang lebih penting: masih mungkinkah kita berkata bahwa semua itu adalah perwujudan dari apresiasi gereja terhadap Dayak dan kebudayaannya? Desantara

BAGIKAN: