Menarik, jika benar, bahwa kesuksesan Harun al-Rasyid di masa Abasiyah karena peran seorang pelawak jenius Abu Nawas (sering disebut: Abu Nuwas). Beberapa sejarawan muslim bahkan berasumsi jika tak ada Abu Nawas bisa jadi khalifah terkenal jujur, adil, dan sukses menebarkan kesejahteraan rakyat itu akan seperti pendahulunya, diktator, suka represi, dan berfoya-ria (musrif).
Tetapi, siapakah Abu Nawas? Dia memang penasihat sang khalifah, tetapi juga seorang penyair ulung dan intelektual yang kritis dan independen. Abu Nawas tak pernah toleran terhadap setiap penyimpangan kekuasaan yang merugikan agama maupun rakyat, dan dalam konteks seperti itu ia selalu melancarkan kritik keras. Konon, sang khalifah pun teramat sulit menghindar dari kritik Abu Nawas. Dan Harun al-Rasyid sendiri menerima dengan legowo kritik demi kritik itu, lalu menjadikannya sebagai bahan pertimbangan penting untuk mengambil kebijakan politik.
Yang lebih menarik lagi, penerimaan sang khalifah atas semua kritik itu justru karena cara penyampaiannya yang humoris, tidak kaku, dan tidak pula bernada menekan seperti umumnya kritik zaman sekarang. Semua kritik Abu Nawas disampaikan dengan pilihan diplomasi dan lawak yang jenius-orisinal, lebih menonjol rangsangan untuk berpikir, bukan untuk membangkitkan emosi. Mendengar –bahkan sekarang membaca teks-teks– kritik Abu Nawas yang pertama kali muncul adalah senyum dan ketawa sekaligus terangsang berpikir. Kalangan muslim sekarang, ketika mendengar Abu Nawas disebut, yang terbayang adalah kemampuannya berdiplomasi dan melawak. Bahkan kunci gembok pintu makam Abu Nawas di Baghdad yang konon lebih besar dibanding daun pintunya menjadi imajinasi umum sebagai kelucuan luar biasa. Enam bait syair Abu Nawas (Ilahi lastu lil firdausi ahla…) yang sampai sekarang didendangkan oleh mayoritas muslim Indonesia setiap menjelang shalat memperlihatkan kemampuannya berdiplomasi secara jenius dengan Tuhan. Banyak orang menyebut: Abu Nawas sedang bercanda dengan Tuhan.
Lawak dan kritik tampaknya merupakan tradisi tua. Kecuali yang diciptakan khusus untuk kritik (kesenian satire), kesenian tradisi kita selalu menyediakan episode lawak yang dalam bahasa wayang kulit Jawa di sebut goro-goro. Bahkan dalam kesenian semacam ludruk Jawa Timur, lawak menghiasi hampir setiap adegan (tampak jelas dalam kethoprak humor, suatu genre kesenian yang berkembang dari ludruk). Mungkin penyajian episode itu dimaksudkan untuk mengendorkan otot saraf yang lelah mengikuti episode-episode sebelumnya yang serius dan menegangkan urat-saraf. Tetapi, juga bisa jadi untuk menyediakan ruang dimana para seniman mengambil peran kritikal terhadap sesuatu yang dianggapnya harus diubah. Dalam kenyataannya, hampir semua episode lawak diisi dengan lontaran-lontaran kritik terhadap berbagai ketimpangan sosial, politik, ekonomi, dan budaya.
Beberapa belas tahun silam, pelawak Kirun dari Jawa Timur ditangkap aparat karena menghubungkan gambar monyet dalam pecahan 500 rupiah dengan gambar Soeharto dalam pecahan 50 ribu rupiah. Dan publik paham bahwa melalui dua pecahan rupiah itu, bisa dibaca hubungan antara kedua gambar tersebut. Tak pelak lagi, mungkin karena peristiwa itu terjadi pada 90-an, Kirun pun lalu digiring ke dalam penjara, meski sebenarnya ia hanya bermaksud melawak.
Mengritik lewat lawak seperti yang dilakukan Abu Nawas memang taktis dan strategis, tetapi hal serupa seperti yang dilakukan Kirun menuai petaka. Tampaknya, kemampuan jenius sang pelawak justru yang paling utama, karena tanpa itu kritik terkesan vulgar dan emosional. Apalagi jika kritik menjadi komoditas politik dengan rutinitas yang monoton dan akhirnya membosankan. Desantara