Agama dan kesenian seringkali digambarkan sebagai dunia yang berbeda, sulit dipertemukan. Agama berisi aturan dan norma moral, sementara kesenian mengeksplorasi kreatifitas dan kebebasan. Di banyak tempat ketegangan antar dua komunitas ini kadang tak terelakkan. Tapi tak sedikit pula pesantren dan kaum seniman mampu berdialog dan bersandingan.
Pertengahan Mei 2007 lalu, seperti terlihat di area lapangan dekat masjid sebuah pesantren di Kecamatan Pare, Kediri, para santri dan warga desa setempat tumpah ruah. Sambil menikmati penampilan artis di atas panggung, mereka bergoyang dan ikut bernyanyi mengiringi lagu Warung Doyong yang dibawakan seorang artis sebuah grup dangdut lokal. Malam itu, dua grup musik, dangdut dan campursari, memang tampil bergantian menyanyikan lagu-lagu yang sudah tak asing lagi di telinga penonton. Seperti Warung Doyong, Goyang Kerawang, Begadang, dan lain-lain. Semakin malam pertunjukan makin meriah, apalagi di atas panggung sana seorang artis penyanyi terus mengajak penonton bergoyang, mengikuti irama lagu.
Para penonton yang mayoritas santri itu juga ikut menikmati hiburan, berdendang, dan bergoyang. Terbius oleh para artis yang menyuguhkan lagu dan alunan musik dangdut dan campursari yang mengayikkan.
Di kampung kecil masuk kabupaten Kediri, panggung kesenian memang rutin digelar. Setiap empat tahun sekali para santri itu—dan tentu atas seizin sang kiai, pengasuh pesantren itu—menggelar syukuran, haflah, setelah sekian waktu bergulat dan melahap beberapa jilid kitab kuning yang biasa diajarkan sang kiai. Selama bertahun-tahun pula pagelaran seni semacam ini ikut mentradisi. Wayang, Jemblung, Rebana, Banyolan, Gambus hingga orkes dangdut ikut meramaikan perayaan ini.
Bila di pesantren Kediri, ini santri dan warga menyatu dan bergoyang bersama artis dangdut dan campursari. Lain lagi kisahnya di pesantren Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah.
Pesantren warisan Kiai Khudori yang kini diasuh oleh putra-putranya, Kiai Abdurrahman Khudori dan adiknya Kiai Yusuf Khudori, ini rutin menggelar berbagai pertunjukan kesenian tradisi di area jalan raya sekitar pesantren. Peristiwa terakhir berlangsung selama kurang lebih seminggu, pada 30 Agustus hingga 5 September 2006 lalu, sekitar 120-an jenis kesenian tradisi dipentaskan bertepatan dengan haflah akhirussanah, perayaan akhir tahun pelajaran. Jathilan, reyog, ketoprak, wayang kulit, barongsai, warangan dan masih banyak lagi kesenian tradisi lain yang sengaja didatangkan dari berbagai daerah. Kegiatan kesenian ini hampir bisa dipastikan menjadi aktifitas tahunan. Dan yang lebih penting, ia hampir selalu melibatkan kalangan pesantren, seniman dan masyarakat setempat secara bersama-sama.
Antara teks dan kehidupan Kesenian
Jelas, pengalaman pesantren di Bendo dan Tegalrejo bukanlah sekadar kekecualian.
Gus Mardi, putra Kiai Chotib dari pesantren Curahkates di Jember, Jawa Timur, suka mementaskan Gandrung Banyuwangi setiap tahun di pesantrennya. Di Pesantren Sunan Drajat, Lamongan, grup musik Sudra dikelola sendiri oleh kiainya. Bahkan selain memainkan kasidah dan musik dangdut di acara-acara resmi pesantren, grup ini beberapa kali memasuki dapur rekaman dan kasetnya pun beredar di sejumlah kota di Jawa Timur.
Di Lombok ada Kiai Wahab Zarkasyi, Kiai Thontowi Musyaddad di Garut, Jawa Barat, dan Kiai Adib Masruha di Brebes, Jawa Tengah, mereka juga memiliki apresiasi tinggi terhadap kesenian tradisi yang dimiliki masyarakat setempat. Mereka sama sekali tak memalingkan muka, apalagi melarangnya.
Jangan diragukan apalagi hendak dipertanyakan, apakah kiai dan para santri tidak membaca kitab Ihya’ Ulumuddin karya al-Ghazali yang mengulas luas dalam satu bab tentang kesenian, khususnya suara dan musik, dalam adab al-sama’i wa al wajd itu. Demikian juga kitab Sulam al-Taufiq yang selalu diajarkan kepada santri-santri junior di hampir setiap pesantren, dan tertulis di situ bab alat al-malahi atau alat-alat musik sekaligus musik yang diharamkan. Keduanya adalah kitab-kitab mu’tabarah, kitab standar yang selama ini menjadi acuan terpenting para ulama pesantren
Perkembangan macam apakah ini?
Kehidupan nampaknya memang lebih kompleks ketimbang realitas dalam teks yang hampir bisa dipastikan disusun dan dirumuskan dalam ruang sosial dan budaya masa lalu yang spesifik. Kehidupan selalu bergerak. Sementara teks tulisan senantiasa tetap, dan hanya tafsir kontekstual terhadapnya sajalah yang memungkinkan teks itu bergerak dinamis.
Mungkin kisah pesantren Tegalrejo yang “merawat” kesenian berikut ini menarik disimak.
Syahdan, suatu ketika warga desa Tegalrejo saling berseteru. Dua kelompok yang berseberangan ini saling ngotot soal kemanakah dana kas desa itu akan dibelanjakan. Sebagian warga yang terbelah itu mengusulkan agar dana itu diperuntukkan bagi pembangunan masjid setempat. Sementara banyak seniman desa itu berharap dimanfaatkan untuk membeli peralatan gamelan.
Berhari-hari lamanya perseteruan dua kubu itu berlangsung tanpa penyelesaian. Sampai akhirnya disepakatilah Kiai Khudori, pengasuh pesantren yang kini sudah almarhum, untuk menengahi persoalan. Dengan suara ringan kiai sepuh ini pun memutuskan, dana kas desa itu dibelikan saja seperangkat gamelan.
Warga terkejut. Kontan saja warga yang umumnya para santri itu mengajukan protes, seolah tak percaya, sang kiai, panutan hidup merek itu membuat keputusan yang, katakanlah, “kontroversial”.
Lalu, dengan nada bijak, Kiai Khudori pun mulai menjernihkan: ”yang penting sekarang kita guyub dan rukun dulu. Kalau sudah guyub dan rukun masjid akan berdiri dengan sendirinya.” Warga pun terdiam.
Sepenggal kisah yang telah tersiar luas di Tegalrejo ini kembali mengingatkan kita mengenai sejarah pergulatan antara Islam dan kesenian di Indonesia. Kita mungkin masih ingat cerita Sunan Kalijaga dan wayang kulit, juga cerita Betara Katong dan reog Ponorogo. Juga cerita yang beredar di Jember, Tulungagung dan sekitarnya tentang kesenian Jaranan yang dimaknai oleh beberapa kiai sebagai lukisan gerakan mengambil air wudlu untuk bersuci.
Kisah Sunan Kalijaga dan Betara Katong ini mungkin saja tidak bisa digolongkan sebagai apresiasi kesenian dalam “arti yang sebenarnya”. Lantaran ekspresi seni mesti dibebani oleh dakwah agama. Namun, cerita tentang keduanya dan kiai-kiai lainnya itu sangat bermakna tatkala aktifitas berdakwah sesungguhnya tak pernah dituntut dengan pemaksaan apalagi kekerasan. Berdakwah bukan pula suatu usaha “permurnian” yang berujung pada kebenaran tunggal, melainkan suatu dialog dan rekonsialiasi, atau guyub dalam bahasa Kiai Khudori.
Melihat hubungan Islam dan kesenian melalui kehidupan pesantren semacam ini memang terasa lebih dinamis, dan tentu saja lebih hidup. Justru karena kehidupan ini penuh keragaman dan terus bergerak dinamis, maka pesantren pun berdialog dan merawat kesenian. Desantara