Dari Kultur Sungai ke Darat: Potret Ketimpangan Transformasi Sosial-Budaya Lokal

Hadirnya infrastruktur jalan raya (darat) yang membelah wilayah pegunungan dan pemukiman terpencil di pelosok-pelosok diyakini oleh para teknokrat pembangunan kita sebagai satu-satunya jalan kemajuan ekonomi dan sosial masyarakat. Sayangnya tanpa pertimbangan aspek sosio-kultural masyarakat setempat, proyek semacam ini hanya menghadirkan ketimpangan sosial.
Pertama kali menginjakkan kaki di perkampungan Muara Gusik dan Jambuk, Kecamatan Bongan, Kutai Barat, terasa biasa-biasa saja. Nyaris tak ada fenomena yang mengundang perhatian, selain beberapa warga yang sedang menjalankan aktifitasnya atau yang tengah bersiap-siap meladang.
Pemandangan kampung yang diapit oleh jalan raya dan anak sungai Mahakam ini kelihatan agak berbeda setelah melihat beberapa rumah warga yang berada di pinggiran sungai nampak sepi tak berpenghuni. Bangunan terbuat dari kayu ulin itu terkesan dibiarkan begitu saja tak terurus. Menurut sejumlah warga, rumah-rumah yang tepat berada di tepian dan menghadap sungai yang mengalir dari gunung meratus ke hilir Muara Muntai itu memang sudah lama ditinggal penghuninya. Diperkirakan sekitar tahun 2000-an seiring dengan dibangunnya jalan raya darat yang disusul dengan pengerasan jalan pada 1992, sejumlah besar warga kampung yang berpenghuni 1030 jiwa itu beralih tempat tinggal. Sebagian pindah ke Jambuk Makmur (berjarak 6 km dari Jambuk Kampung) dan sebagian lain mendirikan rumah di sepanjang jalan raya kampung.
“Beberapa rumah di sini ditinggal pemiliknya dan berpindah ke darat (mendekati jalan raya, red.). Maksudnya mereka ingin seperti orang kota, ingin majulah,” demikian papar Etoy Efendi, kepala adat kampung setempat. Bukan hanya rumah, sebuah masjid yang nampak masih berdiri kokoh pun terlantar lantaran masjid baru di pinggir jalan raya seolah mengambil alih perannya.
”Kemajuan”, kata ini memang menjadi impian setiap orang. Sejak modernisasi berderap bukan hanya membentuk dan memenuhi kota-kota, tapi juga menembus hutan belantara dan menularkan impian serupa kepada warga di sana. Persoalannya, kata boleh sama, tapi makna dan pemaknaan rupanya tak selalu serupa. Orang-orang kota menembus belantara lewat pembabatan hutan tanpa memperhitungkan kelestarian ekologi dan eksistensi kehidupan warga setempat. Sehingga keuntungan yang diperoleh dalam angan-angan kemajuan itu hampir tak sebanding dengan kerugian sosial yang ditanggung masyarakat. Tidak salah bila kemajuan lalu diasosiasikan dengan ketimpangan sosial.
Transformasi yang timpang
Bagi warga Muara Gusik dan juga kampung-kampung di Kalimantan pada umumnya jalur sungai merupakan urat nadi kehidupan warga sekitar. Selain sebagai sarana transportasi utama yang menghubungkan satu kampung dengan kampung lainnya, satu tempat ke tempat lainnya, sungai diyakini menyimpan pesona keilahian sekaligus ruang sosial penting.
Keyakinan ini nampak dalam pandangan kosmologi warga bahwa sungai menjadi tempat mengelola dan mengapresiasi kehidupan mereka. Jalur sungai bermakna perjalanan sekaligus pasar, pusat transaksi ekonomi sekaligus medan interaksi sosial. Lihatlah misalnya aktifitas warga yang mandi di sungai, misalnya, sekaligus menjadi arena pertemuan antar mereka yang kerap mengobrol dan membicarakan persoalan mereka di atas rakit. Selain itu, sungai juga merupakan ladang mencari ikan sekaligus tempat laku ritual.
Namun riwayat mengenai peradaban sungai beserta seluruh kosmologi warganya ini segera nampak berubah bersamaan dengan kehadiran jalan raya darat, yang seringkali dimaknai sebagai jalur baru kemajuan.
Sebagian besar warga Muara Gusik dan kampung-kampung lain sekitarnya menjadikan kepentingan ekonomi sebagai alasan migrasi mereka. Seolah-olah fasilitas jalan darat itu akan menjamin kesejahteraan dan kepentingan ekonomi mereka. Memang benar seperti yang sering dinyatakan oleh para kepala desa setempat yang menyarankan warganya mendirikan rumah di pinggir jalan, fasilitas jalan darat mempermudah akses dan mobilitas warga. Begitu juga dengan keuntungan yang diperoleh dari tumbuhnya pasar-pasar baru di bibir jalan. Tapi soalnya apakah derap pembangunan jalan raya darat itu lantas membuat warga setempat sebagai pemenang?
”Ya, jalannya mah agak bagus kelihatannya, tapi usaha susah,” ujar Jaman, salah seorang tetua kampung Muara Gusik. Nada keluhan semacam ini bukan hanya terdengar dari bibir Jaman, sejumlah warga yang kami temui pun juga mengeluhkan hal yang sama. Kenyataannya kekuatan armada jalan raya darat yang sebagian besar dimiliki oleh orang-orang kaya di kota justeru melibas kemampuan dan kreatifitas warga kampung yang berkebudayaan sungai ini.
Bayangkan saja, dulu hampir setiap keluarga memiliki perahu Ketinting sebagai satu-satunya alat transportasi utama di sungai dan mobilitas sosial dan ekonomi warga sepenuhnya mengandalkan sekitar 500-an Ketinting yang mereka kemudikan sendiri. Tapi kini dengan hadirnya jalan raya darat beserta kegiatan-kegiatan ekonomi yang terpusat di sekitarnya, seolah-olah mereka dipaksa untuk meninggalkan alat transportasi sungai yang telah dimilikinya, sementara di sisi lain armada jalan darat dikuasai oleh orang-orang luar.
Makin terkikisnya kemampuan sumber daya lokal warga ini juga terlihat dalam aktifitas ekonomi di pusat pasar-pasar baru. Pasar malam yang digelar seminggu sekali di kampung sebagian besar dikuasai pedagang-pedagang asal Samarinda, Tenggarong dan Balikpapan. Kondisi ini jauh berbeda dengan pasar tradisional yang dulu berpusat di tepian sungai dimana lebih banyak warga kampung sekitar yang saling bertransaksi.
“Dulu di pasar kampung sini, kami biasa membawa barang-barang seperti rotan dan sayur-sayuran untuk dipertukarkan. Saat ini dengan adanya pasar malam kami membeli semua,” tutur Omot, warga setempat. Rupanya apa yang dibayangkan sebagai kemajuan oleh warga kampung, dirasakan sebagai hasrat yang makin besar untuk mengkonsumsi barang! Pemandangan ini juga terlihat saat berjalan di sepanjang jalan raya Kubar-Kukar. Nampak berjejer warung-warung bermerek nama kota-kota di luar Kaltim, seperti Coto Makassar, Warung Kediri, dan sebagainya, menandakan begitu minimnya kemampuan dan sumber daya lokal masyarakat setempat.
Demikianlah kenyataannya. Derap kencang pembangunan yang digembar-gemborkan pemerintah demi kemajuan itu tidak selamanya mendatangkan keuntungan bagi warga masyarakat. Sebagian kecil masyarakat memperoleh keuntungan berlipat ganda, sementara sebagian besar lainnya justeru menderita kerugian, kemiskinan, dan ketertinggalan.
”Ibarat di sekolah kalau orang lain itu sudah naik kelas, kami ini ndak naik-naik, tetap saja begini-begini. Etam (kita) Kutai asli orang pribumi tak dapat apa-apa, selebihnya dikuasai sama orang luar,” ujar Pak Midin dengan logat Kutainya yang kental.
Memang, pembangunan jalan raya dan jembatan bukan tak penting. Tapi pembangunan infrastruktur tanpa menyiapkan instrumen masyarakat yang berkarakter sungai menuju jalan raya justru akan menyebabkan masyarakat sungai kalah. Di jalur sungai mereka kalah, di jalur jalan-jalan darat mereka seolah menjadi pecundang, korban pembangunan. Desantara

BAGIKAN: