Pelajaran Kesenian di Mata Pendidik

Seni salah satu aset budaya bangsa. Hilangnya budaya bangsa bagai cahaya di ambang mata, namun sulit tergapai. Fenomena ini menjadi problem bagi masyarakat pengemban seni budaya sehingga mereka tergerak untuk membangkitkan seni budaya dengan berbagai upaya. Yah, paling tidak, mereka mampu bertahan menjaga dan melestarikan seni budaya tersebut dari kepunahan. Sementara, sebagian masyarakat yang paham dan mengerti akan nilai seni budaya bangsa rindu ingin menyaksikan seni tersebut dalam setiap acara perayaan ataupun pagelaran, khususnya seni tari, lantaran seni tarilah yang jarang ditampilkan dalam setiap acara khusus dibandingkan seni musik dengan berbagai corak iramanya.

Upaya pengemban seni kita untuk mengangkat seni daerah sebagai budaya bangsa cukup mendapat respon dari pihak pemerintah. Namun, pancaran seni budaya tidak secerah di jaman masyarakat yang belum mengenal megahnya jaman modern. Kesibukan dan kepentingan pribadi turut menghalau perhatian, sehingga kiat mereka dalam menampilkan seni budaya hanya sebagai tontonan belaka, tanpa perduli arti nilai seni budaya. Masyarakat sekarang ini hanya tersorot kepada budaya asing, yang dianggap lebih mengangkat prestise diri di jaman modern ini.

Untuk mempertahankan eksistensi seni sebagai budaya bangsa, salah satu ruang yang lapang dan landasan pengenalan seni adalah pendidikan sebagai wadah utama. Dalam lingkup ini, guru pendidikan seni sebagai dinamisator menanamkan seni budaya daerah dalam jiwa anak-anak bangsa. Meski kita ketahui, guru seni memiliki suatu keterbatasan kompetensi dalam mengajarkan pendidikan seni di sekolah. Apalagi pelajaran seni sendiri mencakup empat cabang yang meliputi seni tari, seni musik, seni rupa; seni yang harus diajarkan dalam satu semester di tingkat Sekolah Dasar dan Menengah.

Keempat jenis kesenian ini tidak mungkin diajarkan oleh seorang guru seni saja. Tetapi diajarkan oleh guru-guru yang sesuai kompetensinya masing masing. Hal ini dapat terpenuhi apabila sekolah mampu mengadakannya, termasuk menyediakan fasilitas yang dibutuhkan. Apatah lagi dalam mengajarkan seni tari, yang butuh sarana alat musik daerah yang harganya cukup lumayan. Sementara dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang disiapkan belum tersalur dalam pelajaran seni tersebut.

Tantangan ini membutuhkan suatu kerja keras bagi guru-guru pendidikan seni. Gagasan dan kreatifitas guru pendidikan seni adalah modal utama, untuk meyakinkan pihak-pihak yang bersangkutan agar mereka tergugah memperhatikan lebih dalam nasib guru-guru pendidikan seni yang mengajar di sekolah-sekolah terpuruk dan belum mapan.

Mengajarkan pendidikan seni selain pemahaman konsep materi, penanaman kesadaran akan potensi yang dimiliki setiap siswa merupakan hal yang utama. Di samping itu pula siswa harus dapat menampilkan kreatifitas karya-karya seni melalui pameran dan pagelaran yang dilaksanakan di sekolah masing-masing.

Kegiatan pameran ataupun pagelaran harus terlaksana sebagai akhir tercapainya tujuan pembelajaran pendidikan seni. Dan sebagai penentu tercapainya aspek kompetensi yang terpatri dalam tubuh pendidikan seni adalah aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Oleh karena itu, tidak salah jika pelajaran ini dikategorikan sebagai mata pelajaran yang bersifat dinamis karena dalam kurikulum apapun yang berlaku, kateri kesenian tetap fleksibel dalam menerapkan metode dan strategi pembelajarannya. Terutama penerapan Kurikulum Berbasis Kompotensi (KBK) yang selanjutnya menuju Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

Dari ilustrasi di atas dapat kita pahami bahwa pendidikan seni memiliki kekhasan tersendiri yang tak dimiliki mata pelajaran lain. Namun toh pelajaran ini masih dianggap tidak urgen. Guru pendidikan seni dianggap biasa-biasa saja karena pelajaran ini dianggap ringan, tidak membutuhkan pengolahan intelektual untuk mencapai hasil pembelajaran.

Pandangan ini sudah mendarah daging dalam dunia pendidikan. Mereka kurang menyadari bahwa dalam mempelajari seni, pengolahan intelektual amat berperan, baik dalam penanaman konsep maupun penerapannya melalui demonstrasi. Dalam seni tari, misalnya, pemahaman gerak dan kemampuan melakukan gerak tari secara ekspresif serta penyesuaian ritme irama, tak akan mungkin tercapai apabila seorang penari tidak memiliki kompetensi dan kecerdasan yang tinggi saat melakukan gerakan-gerakan tersebut.

Begitu pula dalam menikmati suatu karya seni. Dibutuhkan kemampuan apresiasi yang tinggi untuk memahami lebih dalam nilai-nilai karya seni, yang tentunya dapat tercapai apabila penikmat seni itu memiliki tingkat kecerdasan dan kemampuan menanggapi makna-makna yang terkandung dalam karya seni tersebut. Desantara

BAGIKAN: