Meski menyebut dirinya mewakili komunitas seniman, keberadaan Dewan Kesenian rupanya tak selalu dikenal oleh kalangan seniman. Mengapa?
Simaklah komentar para seniman yang tinggal di kampung-kampung dan pelosok kota Jember berikut ini. Meskipun Dewan Kesenian Jember (DKJ) telah terbentuk beberapa bulan yang lalu –bahkan diiringi ketegangan dan konflik kepentingan—kiprah lembaga yang dipimpin Gatot Sukarman ini belum juga terdengar.
“Saya nggak tahu apa itu Dewan Kesenian? Apa itu dibentuk oleh Pemda?,” tanya Suwito Hadi, pimpinan komunitas Jaranan Singo Gendheng Talangsari, kepada Desantara. Ia pun berharap bila lembaga itu memperoleh fasilitas dari pemerintah daerah seyogyanya bekerja maksimal dan mau berdiskusi dengan seniman kampung seperti dirinya.
“DKJ itu opo toh, Mas,” tanya Sutejo, Ketua Paguyuban Reog asal Kesilir, Ambulu. Pertanyaan Sutejo ini jelas bukan ledekan, atau gurauan kecil yang sering jadi ungkapan ringan sehari-hari. Ungkapan polos ini benar-benar ekspresi ketidaktahuannya mengenai organisasi kesenian yang digerakkan oleh orang-orang kota selama ini.
“DKJ itu urusannya memberi bantuan seniman ya? Saya cepek. Kalau ada bantuan ngurusnya susah. Saya harus pergi dari meja ke meja. Uangnya nggak seberapa, tapi capeknya ga karuan. Lebih baik kami berdikari,” kata Sutejo.
Ketidaktahuan yang sama juga dialami Nanang dan istrinya. Pasangan seniman yang tergabung dalam komunitas Ludruk Fajar Utama di Kecamatan Sumbersari ini cuma bisa bermimpi agar kaum seniman bisa saling bertemu dan berbagi cerita dalam rangka pengembangan kesenian di wilayah Jember.
“Apapun paguyuban itu, asal bisa jadi tempat komunikasi dan silaturahmi para seniman di Jember, saya sangat senang. Melalui paguyuban itu nantinya para seniman menggagas usaha-usaha pengembangan kesenian,” ujar Nanang. “Paguyuban ini tidak mesti bergantung pada pemerintah, tetapi kalau pemerintah memperhatikan ya silahkan saja.”
Bukan sekadar cari makan
Selain banyak ketidaktahuan, tak sedikit pula para seniman berpengalaman yang memahami benar seluk beluk institusi Dewan Kesenian ini.
Jazuli, seorang tokoh seniman Ludruk di Jember ini ternyata memiliki kesan tersendiri mengenai DKJ dan Pemkab Jember.
“Sekarang pemerintah itu ibarat bapak lupa anaknya. Saya tahu kalau DKJ punya anggaran. Saya ini orang lapangan, Mas,“ ujarnya. Seniman yang juga pemrakarsa kesenian Lengger di Tegal Gede ini menuturkan, bahwa dirinya pernah diminta manggung oleh Pemkab Jember dengan bayaran yang jauh dari harga pasaran. “Bayaran yang saya terima sangat tidak pantas.”
Berangkat dari pengalaman tersebut, Jazuli memperingatkan kepada para pengurus DKJ dan Pemkab Jember agar tidak menggunakan lembaga kesenian ini demi keuntungan mereka sendiri. “Siapapun yang perhatian terhadap seni harus punya semangat untuk memperjuangkan seninya. Kalau cari makan lewat (lembaga) kesenian nggak bisa begitu, Mas,” ujarnya.
Ungkapan ketidaktahuan, kekecewaan, sekaligus harapan para seniman yang terlukis di atas, patut kiranya menjadi bahan renungan kita semua. Terutama lembaga-lembaga kesenian dan berbagai Dewan Kesenian di negeri kita.
Ini mesti dilakukan bila Dewan Kesenian hendak membuktikan diri sebagai representasi kaum seniman, dan bukan representasi kekuasaan. Desantara