Jaran Kepang, hampir mustahil orang tak mengenal jenis kesenian ini. Di Jawa Timur, jaranan menjadi salah satu kesenian rakyat paling khas. Penampilannya atraktif, ekspresif dan dinamis.
Di berbagai daerah, kesenian jaranan sering disebut dalam banyak nama. Di Ponorogo disebut jathil, di tempat lain senterewe, atau juga dikenal dengan nama jaranan pegon. Penampilan kesenian ini cukup sederhana. Dimainkan oleh 4 sampai 6 orang yang mengapit kuda-kudaan dari anyaman bambu, menari-nari diiringi alunan ketuk kenong, gong gumbeng, kendang dan terompet, dan berujung pada atraksi ndadi atau kesurupan (trance) yang menjadi kekhasan jaranan. Di tengah masyarakat, berbagai atraksi itulah yang menjadikan jaranan sangat populer dan menarik minat banyak penonton.
Bukan hanya di kampung-kampung, yang kehadirannya untuk memeriahkan ritual-ritual tradisional seperti sedekah bumi atau ruwatan desa, akhir-akhir ini jaranan sering tampil untuk memeriahkan festival-festival budaya di kota-kota Jawa Timur. Para panitia biasanya merasa kurang sreg, kalau jaranan tidak ikut serta. Bahkan jaranan sering dapat posisi istimewa sebagai pembuka berbagai festival, skala besar maupun kecil. Berbagai modifikasi pun tak jarang dilakukan, agar lebih tampil menarik, katanya. Tak aneh, banyak jenis jaranan kini menyertakan alat musik modern dalam setiap kali tampil, seperti keybord dan drum.
Begitu populernya kesenian ini di Jawa Timur, tak heran kalau pemerintah Kota Kediri kini sedang berupaya keras mengangkat jaranan sebagai simbol identitas daerah. Rupanya Kota Kediri memang hendak mengikuti tren yang belakangan ini marak. Seiring dengan otonomi daerah beberapa kota beramai-ramai membangun identitas kotanya yang khas, unik dan spesifik, seperti Banyuwangi dengan gandrungnya, Ponorogo dengan reyognya, dan kini Kediri dengan jaranannya.
Dalam pengamatan Desantara baru-baru ini, Pemda Kota Kediri tengah berusaha membuat pakem resmi jaranan khas Kota Kediri, yang nanti akan dijadikan simbol identitas. Menurut keterangan beberapa pejabat setempat, proyek ini memang diusung Dinas Pariwisata, Dewan Kesenian Kota Kediri (DK3), dan rencananya melibatkan para sejarawan Kediri.
“Program Dinas Pariwisata untuk tahun ini dan satu tahun mendatang adalah mencari pakem jaranan terlebih dahulu. Karena itu kita sedang melakukan pengembangan dan pembimbingan pada jaranan-jaranan yang ada di Kediri,” ujar Guntur, salah satu pejabat Dinas Pariwisata di Kediri yang terlibat dalam proyek ini. Adapun pembimbingan yang dimaksud Guntur tak lain adalah tampilnya seniman-seniman jaranan di Taman Wisata Selomankleng yang secara rutin diagendakan setiap Minggu.
Pakem
Pakemisasi, saat ini, memang jadi agenda penting pemda Kota Kediri, entah atas nama pelestarian atau pembentukan identitas kota. Sejarahwan, seniman dan para sesepuh Kota Tahu itu rencananya akan dikerahkan untuk mendukung program itu menyusul disepakatinya jaranan sebagai simbol identitas. Mereka mulai menggali data-data kesenian jaranan, sejarah jaranan di sungai Brantas, asal-usulnya zaman pra Islam, sampai mencari akar sejarah kota Kediri yang katanya masih dalam perdebatan.
Tapi susahnya, jaranan di Kediri tidak hanya berbilang, tapi bermacam-macam pula. Bukan hanya tak mudah bahkan hampir mustahil mencari akar yang asli dan tunggal di tengah macam-macam jaranan itu. Belum lagi kesenian jaranan, yang seiring dengan perubahan zaman, juga terus berusaha memperbarui diri, menyesuaikan dengan kebutuhan komunitasnya.
Penuturan Mbah Ketang ini mungkin baik kita simak. Seniman Jaran Kepang di tiga zaman ini bilang gerakan joget pada jaranan punya banyak pakem. “Kalau jaranan Wijaya Putra itu punya 24 macam, 5 hingga 6 gerakan,” ujarnya. Nah, bila demikian alangkah sulitnya mencari pakem tunggal dalam jaranan. Sanjoyo Putro 24 gerakan, Joyoboyo 14 gerakan, dan Ronggolawe hanya
Belum lagi bila masing-masing kelompok jaranan punya pakem yang menjadi bagian dari ritual dan warisan leluhur yang tidak bisa dirubah atau dikombinasikan dengan yang baru. Dua komunitas jaranan, Wijaya Putra dan Sanjaya Putra, bisa menjadi contoh. Mbah Ketang bercerita, Pakem bagi dua komunitas ini harus selalu digunakan pada saat-saat pertunjukan. Baru setelah pakem itu usai tampil, jaranan baru atau hasil kombinasi bisa dipertunjukkan. Bagi Sanjaya dan Wijaya menanggalkan pakem berarti menghilangkan naluri jaranan dan menghina tinggalan leluhur. Dalam pandangan mereka, yang bisa berubah hanya peralatannya, bukan pakemnya.
Lain Wijaya Putra, lain pula Jayabaya Putra. Komunitas terakhir ini selalu mengkreasi jaranan yang hendak tampil dengan yang baru, atau paling tidak menggabungkan antara yang tradisional dengan yang modern. Alasan mereka karena masyarakat menginginkannya. Misalnya lagu-lagunya dicampur dengan iringan musik samroh ataupun dangdut, yang biasanya lalu ditambah unsur sinden, alat musik drum dan keyboard. Jadi selera pasarlah yang menjadi acuan di sini. Hal yang sama juga dilakukan Jaranan Ranggalawe, yang mengedepankan keindahan tarian jaranan.
Jelaslah di sini, tiap jenis jaranan punya pakem sendiri-sendiri. Lalu pakem manakah yang hendak diingini dan dipilih menjadi identitas?
Berebut pengaruh
Di samping pakemisasi yang menyisakan sejumlah problem seperti standar apa yang dipakai, oleh siapa, pakem mana yang layak dan mana yang harus disingkirkan serta berbagai seleksi yang melibatkan banyak kepentingan, beberapa komunitas jaranan di Kediri kini mulai berupaya saling berebut pengaruh. Kalau para seniman selama ini hanya bersaing memperebutkan penonton, di antaranya melalui perang tarif, dan melibatkan persaingan antara jaranan yang dikelola para “bos” dan jaranan paguyuban, tampaknya para seniman jaranan kini sedang berebut sesuatu yang lain. Mereka beramai-ramai mencari peluang agar jaranan miliknya yang diakui. Jaranan model pegon, senterewe, maupun dor saling berkompetisi, mendeklarasikan miliknya sebagai yang paling patut dijadikan pakem.
Beberapa seniman yang tergabung dalam paguyuban-paguyuban setidaknya mengaku resah. Selain harus bersaing dengan para bos pemilik jaranan, mereka juga harus melayani perang klaim, dan pada akhirnya bersaing berebut akses ke kekuasaan. “Saya merasa kasihan. Sebab saya kira jaranan yang kecil itu nanti tidak akan bisa hidup.” Begitu kata Pak Gendut yang juga anggota jaranan Wijaya Putra Kota Kediri. Nasib para seniman ini tentu akan lebih tragis, bila jaranan nantinya hendak dipakemkan, diseragamkan!
Selain Gendut, Mbah Ketang pun kini mulai risau, mengingat konsep pakemisasi pemerintah ini cenderung berbeda dengan pemilik jaranan. Pakem bentukan Dinas Pariwisata, kata Mbah Ketang, tidak berakar pada ruang batin komunitas jaranan, tetapi sekadar untuk kepentingan industri pariwisata, yang keuntungannya pun belum tentu benar akan dinikmati komunitas seniman.
Yang pasti, proyek ini kini jalan terus. Dinas Pariwisata dan DK3 terus berusaha mendekati para seniman agar proyek pembentukan identitas Kota Kediri usai tahun 2008. Mereka tampaknya tak sadar, kalau apa yang disebut “identitas asli” itu ternyata dengan susah payah “dicari” dan “dibuat”. Begitu juga “keaslian” itu sendiri yang hanya mungkin bisa ditemukan bila realitas yang beragam itu diseragamkan dalam wujud yang tunggal. Jika pertanyaannya adalah demi keuntungan siapa, bukankah kepentingan si pembentuknya akhirnya lebih dominan ketimbang kepentingan komunitas seniman sendiri?Desantara / Paring W U