Jaranan dan Politik Kekuasaan

Bicara tentang jaranan, dengan seluruh nuansa sosial dan politiknya, kita terpaksa harus menyimpan dalam-dalam sebuah premis lama netralitas estetis seni, yakni seni untuk seni.Berkesenian bukan sekadar menyajikan suatu tontonan estetis, tapi juga medium ekspresi diri, yang kadang berbaur dengan ekspresi spiritual komunitasnya. Dalam konteks ini maka berkesenian sebenarnya sangat terkait dengan hal-hal yang ekstra estetis seperti lingkungan sosial budaya, bahkan secara tak terhindarkan ekspresi politik komunitasnya.

Tulisan 2:

Sejarah sosial dan politik jaranan melukiskan kenyataan itu. Di Kediri, Jaran Kepang memiliki akar komunitas yang kuat. Jika kita mengikuti kategori sosial ala Geertz, kesenian jaranan lahir dari komunitas abangan, yang biasa tampil bersamaan dengan tradisi ruwatan desa atau ritual lain untuk menghormati roh-roh leluhur. Woodward menggambarkan peristiwa ini sebagai media pertemuan mikrokosmos (jagad alit) dengan makrokosmos (jagad ageng), integrasi dunia manusia dengan dunia roh, yang dalam jaranan ditunjukkan dengan atraksi ndadi. Hanya pada saat tertentu jaranan dipertunjukkan, seperti malam Jumat (Legi), malam Bulan Suro dalam kalender Jawa, atau saat komunitas jaranan memenuhi nadzar. Dengan begitu kaum santri atau priyayi pada dasarnya tidak punya kaitan dengan tradisi ini. Kaum priyayi lebih dekat dengan dunia pewayangan mewakili ekspresi kehalusan bangsawan, adapun kaum santri lewat ekspresi kesenian seperti samroh dan hadrah.

Di masa-masa yang lalu, jaranan menjadi salah satu kesenian rakyat paling populer di Jawa Timur seperti halnya ludruk. Di Kediri saja hampir setiap desa ada kelompok jaranan. Seperti dituturkan Pak Cokro yang tokoh Jaranan Wijaya Putra waktu lalu. “Setiap desa punya jaranan, kadang sampai 3 grup. Bisa kita bayangkan alangkah banyaknya jumlah orang yang tergabung dalam jaranan sendiri, belum termasuk para peminatnya.”

Karena itu tak heran, kalau komunitas jaranan menjadi objek politik di antara berbagai kekuatan politik zaman Orde Lama. Melalui lembaga kebudayaan yang dibentuknya, PKI dengan Lekra-nya, PNI dengan LKN-nya, dan NU dengan Lesbumi-nya, jaranan menjadi media kampanye dan penggalangan massa politik.

Sejak saat itu pula karakter jaranan sudah mulai terpolarisasi. Jaranan yang dibina Lesbumi, misalnya, menghilangkan unsur ndadi (trance) karena dianggap bertentangan dengan Islam. Sementara LKN memiliki kedekatan dengan komunitas tradisional jaranan yang abangan dan mengorganisir mereka melalui ingatan akan situs-situs seperti Joyoboyo, Selomangkleng, dan Pamenang. Adapun Lekra memanfaatkan jaranan sebagai media protes atas ketimpangan sosial-ekonomi yang sebagian besar diekspresikan oleh kaum buruh dan petani pedesaan. Maka tak aneh jika Lekra sukses membina ribuan basis komunitas jaranan di Kediri dan memenangkan PKI pada pemilu 1955 di Kediri mengungguli NU, PNI dan Masyumi.

Tragedi G 30 S 1965 yang PKI sebagai kambing hitamnya, menjadi titik awal matinya berbagai kesenian rakyat pada umumnya, termasuk jaranan. Banyak seniman di Kediri enggan berkesenian karena takut dituduh komunis. Hanya beberapa kelompok jaranan saja yang masih eksis, seperti Jaranan Sopongiro di Bandar dan Jaranan Trunojoyo di Pakelan. Itupun karena keduanya berinduk pada Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN).

Baru pada 1977 seniman jaranan mulai menggeliat. Meski aktifitas mereka selalu dikontrol aparat birokrasi dan militer, terutama lewat pendaftaran Nomor Induk Seniman atau NIS. NIS adalah formulir pemberian ijin apakah seorang seniman itu layak mentas ataukah tidak. Di antara mereka juga mulai membangun afiliasi dengan partai, seperti Golkar dan PDI, yang dianggapnya lebih menjanjikan secara materi.

Meski belakangan masih tampak eksistensinya, jaranan di Kediri memang tidak semarak dulu. Ia kalah bersaing dengan industri kesenian modern, atau kesenian lain seperti wayang yang disokong kalangan pesantren, birokrasi, priyayi dan perusahaan besar, seperti PT Gudang Garam, Tbk. Karenanya bisa dinyatakan, dalam ruang politik dan ekonomi komunitas abangan yang pernah “berjaya” di Kediri lambat laun surut. Meski amat sadar hanya melalui kesenian, mereka punya ruang ekspresi yang longgar.

Maka menjadi sesuatu yang menarik, ketika Pemda Kota Kediri hendak mengangkat jaranan sebagai identitas daerah, tanggapan para seniman cukup beragam. Sebagian tanpa curiga menyambut kebijakan ini dengan suka cita, dan melihatnya sebagai peluang untuk tampil, dan bahkan menyikapinya sebagai kemenangan setelah lama eksistensinya terpinggirkan. Adapun yang lainnya bersikap hati-hati. Bisa jadi momen ini sebagai peluang bagi eksistensi jaranan secara keseluruhan, tapi di sisi lain menjadi tantangan komunitas jaranan yang beragam dan bermacam-macam itu. Apalagi jika pakemisasi ala Dinas Pariwisata nantinya justru hanya menguntungkan sebagian orang, atau sebagian kecil saja seniman jaranan.

Dengan sudut pandang lain, respon beragam seniman Jaran Kepang di Kediri barangkali bisa dilihat sebagai kepentingan komunitas jaranan sendiri yang makin beragam. Di satu sisi sebagian melihat agenda pemda akan jauh lebih menguntungkan posisi komunitas jaranan ketimbang kondisi yang ada. Mengingat selain terdesak oleh semangat purifikasi yang makin meminggirkan basis spiritual kaum abangan, mereka sudah lama tersingkir oleh laju gerak modernitas yang mengklaim diri paling rasional sementara yang lainnya irasional.

Apapun yang pasti, sejarah menunjukkan nasib jaranan ditentukan oleh siasat politik komunitasnya sendiri dalam pergulatan hidup melawan dominasi konstruksi elit politik kekuasaan. Desantara / Paring W U

BAGIKAN: