Ternyata dalam kesatuan kehidupan sosial dan kultural yang terkecil pun tak luput dari retak, plural, dan diaspora. Komunitas, kelompok sosial, entitas budaya, etnik, dan identitas yang hampir selalu kita imajinasi tunggal, saat-saat tertentu menampakkan pluralitas, partikular, dan diasporiknya. Pengalaman dalam skala yang lebih makro, ketika kesatuan bangsa Indonesia semakin hendak diwujudkan justru di saat itulah suku-suku bangsa, etnisitas, dan pluralitas budaya menampakkan diri dalam berbagai konteks dan tampilan.
Proyek “periuk pelebur”nya Anglo-Saxon Amerika yang dirintis sejak akhir abad ke-19 pada tahun 1960-an tiba-tiba meledak memunculkan pecahan-pecahan kecil, memecah kesatuan Amerika dan menggiring ke arah kesadaran pluralisme dan multikulturalisme. Keturunan para migran awal dari Eropa, seperti Italia, Swedia, Irlandia, Skotlandia, dan Jerman bergerak mengidentifikasi diri ke arah leluhur dan negeri asal mereka. Meski kebudayaan dan negeri asal telah dihapus oleh pendahulu mereka, keturunan ketiga tersebut menganggap penting identifikasi itu digerakkan. Itulah sebabnya, penegasan-penegasan seperti “saya adalah orang Swedia, saya adalah orang Skotlandia, saya adalah orang Italia”, sangat umum saat itu di seluruh wilayah negeri Paman Sam itu. Sederet ungkapan yang cukup aneh di dalam puncak proyek penyatuan Amerika dan penguatan nasionalisme.
Banyak alasan, motivasi, dan tujuan yang menyertai “ledakan” dan manifestasi pecahan-pecahan tersebut. Baik dari pengalaman Amerika maupun Indonesia tertangkap bahwa sebagian karena dialasi oleh ketiadaan pengakuan, diskriminasi, dan represi dalam kehidupan politik, ekonomi, dan budaya. “Warga Italia-Amerika mengecam proyek “periuk pelebur” sebagai satuan mitos yang dilestarikan sistem pendidikan Amerika yang didominasi kaum elite demi pemusnahan budaya rakyat.” (Arthur Mann; 1979). Konflik horisontal dan aspirasi pemisahan diri (gerakan kemerdekaan) di beberapa daerah di Indonesia ditengarai sebagai akibat dari proyek kesatuan dan persatuan di masa orde baru yang diskriminatif-represif.
Meski lebih diakibatkan oleh ketidak-adilan sosial, gerakan pemisahan diri dari kesatuan (bangsa manupun etnik) tersebut ternyata tidak seluruhnya bermaksud untuk meretas keadilan yang merata. Sebagian gerakan pemisahan diri tersebut justru dikerangkai oleh kepentingan-kepentingan politik elite tertentu terutama untuk memperoleh posisi runding di tingkat nasional yang pasti berimplikasi peningkatan ekonomi, kesejahteraan, dan gengsi sosial bagi mereka. Dalam konteks yang terakhir ini, sudah pasti warga kebanyakanlah yang menjadi korban.
Menyalahkan elite gerakan pemisahan diri mungkin tidak sepenuhnya tepat dan tidak pula strategis, karena tekanan struktural yang lebih makro juga persoalan serius yang perlu mendapat perhatian. Menyalahkan elite Massenrengpulu bisa jadi tak terlalu bijak, karena siapa tahu Bugis dan keindonesiaan lebih berperan sebagai “periuk pelebur” yang memusnahkan kekayaan warna-warni kehidupan secara berkesinambungan. Yang terpenting adalah kemampuan negosiasi warga yang dimobilisasi untuk itu. Siapa tahu mereka orang-orang yang tangguh dalam memainkan diri di tengah kegaduhan politik itu.
Bisri Effendy