Pada pertengahan 2003, masyarakat adat penghayat kepercayaan di Cigugur, Jawa Barat, bersama beberapa anggota LSM termasuk Desantara mengadu ke Komnas HAM. Pengaduan ini terkait dengan penghinaan yang dilakukan oleh Mardali Syarif, produser dan sutradara film “Kafir”. Dalam film tersebut, Madrais tokoh penghayat kepercayaan dicitrakan sebagai tukang teluh, penyihir, dan ajaran-ajarannya dianggap menyesatkan masyarakat. Padahal masyarakat penghayat Cigugur meyakini dan menyaksikan bahwa Madrais adalah pejuang yang gigih melawan penjajah Belanda. Sikap nasionalismenya membuat Belanda dengan segala cara menfitnah Madrais dengan keji. Mereka juga menuntut agar identitas dan hak-hak kultural mereka diakui layaknya warganegara umumnya. Tuntutan ini disuarakan karena selama ini mereka dibelenggu oleh kebijakan diskriminatif yang tercermin dalam berbagai produk legislasi sehingga sulit memperoleh kejelasan status perkawinan maupun status keturunan mereka dalam catatan sipil.
Kini, praktek diskriminasi yang dilembagakan dalam regulasi negara semakin menggejala. Bukan hanya kelompok adat Cigugur yang merasa dieksklusi dan dilecehkan oleh negara, aktor-aktor non-state, dan para pemilik modal. Berbagai komunitas lokal, kelompok etnis, masyarakat adat, aliran kepercayaan, dan agama-agama lokal kini juga mulai tersegregasi dan terancam eksistensinya baik secara kultural maupun secara sosial-ekonomi. Mereka yang selama ini mengisi harmoni dan kebersamaan dalam keragaman sosial-kultural dan ikut menyumbangkan local wisdoms bagi bertahannya kebhinnekaan serta terlibat bersama-sama merekabayangkan sosok keindonesiaan, kini tidak lagi nyaman tinggal di tanah airnya. Celakanya, negara yang berkewajiban menjamin hak-hak warga justeru berperan serta mengeksklusi dan mengisolasikannya, baik atas nama “pemurnian”, rasionalitas, modernitas, ataupun kemajuan.
Multikulturalisme sebagai realitas dan kebijakan
Semakin terlembaganya praktek-praktek diskriminasi di atas menunjukkan, masyarakat dan pengelola negeri ini belum menyadari multikulturalisme sebagai sebuah fakta sekaligus realitas. Artinya, kemajemukan kultural yang mewarnai lapisan kebangsaan ini semestinya tidak hanya disikapi sebagai entitas kewarganegaraan di mana anggota-anggotanya memiliki kebebasan dan kesamaan di dalam hukum, tetapi juga adanya pengakuan atas hak-hak kultural dan perlindungan terhadap identitas dan eksistensi mereka.
Multikulturalisme adalah suatu sikap, politics of recognition yang memberi pengakuan ganda terhadap warga negara; yaitu respek atas identitas-identitas unik setiap individu tanpa memandang ras, etnisitas, agama, kepercayaan, adat dan sebagainya, serta respek atas kegiatan-kegiatan, praktek-praktek, ritual-ritual, dan cara-cara pandang mereka atas dunianya. (F. Budi Hardiman, 2003). Karena dalam sistem politik modern, negara adalah representasi kehendak seluruh rakyat dan dibentuk berdasarkan kesepakatan-kesepakatan bersama semua pihak, maka sudah menjadi keharusan bagi negara untuk mengakui, menjamin dan melindungi setiap corak identitas dan hak-hak kultural warganya. Dengan demikian, realitas masyarakat yang beragam dan multikultural ini haruslah dikelola dengan pendekatan dan kebijakan multikultural pula.
Politik multikultural merupakan kebijakan yang konsisten dan bahkan melampaui kebijakan-kebijakan yang lazim diterapkan dalam demokrasi liberal. Jika liberalisme menganut kesamaan semua orang dihadapan hukum dan menjunjung tinggi kebebasan dan hak-hak individu, maka multikulturalisme memungkinkan adanya pengakuan atas hak-hak kelompok “minoritas kultural” dan jaminan bagi mereka untuk menentukan dan menegaskan identitasnya di dalam sebuah negara nasional. Karenanya, penerapan kebijakan multikultural di Tanah Air sangat relevan untuk mengantisipasi dan membatasi dampak yang merugikan kelompok-kelompok yang ter(di)diskriminasi, baik langsung maupun tidak langsung, dari kebijakan-kebijakan yang diciptakan kelompok masyarakat yang lebih luas. Politik multikulturalisme juga memungkinkan suatu kelompok bebas mengekspresikan budaya dan menyatakan identitas kulturalnya, sekaligus melestarikan praktek-praktek sosial dan religiusitasnya tanpa gangguan, tekanan, penghinaan, dan pelecehan dari kelompok lain.
Seperti komunitas adat Cigugur di Jawa Barat, masyarakat adat Towani-Tolotan, masyarakat Bone, dan komunitas Bisu di Sulawesi Selatan, yang kerap diperlakukan secara tidak adil dan diskriminatif oleh masyarakat lebih luas, mereka pun berhak menuntut pengakuan atas identitas kelompoknya.
Islam dan Hak-hak Kultural
Di akui atau tidak, persoalan diskriminasi terhadap hak-hak kultural masyarakat lokal selama ini telah melibatkan kekuasaan negara yang begitu besar dan kurang-lebih melibatkan komunitas Islam. Kendati demikian, sesungguhnya Islam melihat perbedaan budaya, ras, etnis, agama dan kepercayaan adalah sunnatullah. Artinya, segala perbedaan yang melekat pada diri manusia harus dipandang sebagai kreatifitas Allah dalam mencipta ragam ciptaan. Setiap umat manusia dikaruniai kebijaksanaan Allah dan segala kebaikan yang akan menuntun mereka membangun harmoni dan berinteraksi dengan alam, sesamanya, dan sang Pencipta. Karena itu pula, Islam menentang sikap dan praktek-praktek diskriminasi berdasarkan perbedaan primordial di atas. Pesan perdamaian Islam selalu bersamaan dengan upaya menegakkan keadilan dan kebenaran, penghormatan terhadap hak asasi manusia dan pemeliharaan terhadap lingkungan hidup, yang biasa dikenal dengan “ishlahul ardh wa imaratul ‘ardh”.
Selain itu, Nabi Muhammad dalam Haji Wada (Haji Perpisahan) menyerukan dengan tegas agar umat Islam senantiasa menjaga hak-hak primordial umat manusia yang meliputi lima tema dasar, yakni: hifdzul hayat (perlindungan kehidupan), hifdzul syarof (perlindungan kehormatan), hifdzul nasal (perlindungan keturunan), hifdzul mal (perlindungan harta benda), dan hifdzul din (perlindungan terhadap agama dan kepercayaan). Prinsip-prinsip inilah, yang bila dielaborasi lebih luas, mendalam dan kontekstual, akan memperkuat relevansi dan signifikansi ajaran-ajaran Islam dalam menghadapi problem kemanusiaan mutakhir berkaitan dengan multikulturalisme, penghapusan diskriminasi, dan pembelaan terhadap hak-hak kultural masyarakat.
Politik Anti Diskriminasi
Dalam mengupayakan suatu kehidupan bersama yang setara, harmonis, dan berkeadilan tanpa diskriminasi dengan berpijak pada realitas sosial dan kultural ini, kita bukan hanya memerlukan perubahan kebijakan, tapi juga perlu suatu perubahan paradigma politik dan kebudayaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pertama, kita perlu merehabilitasi pengertian “yang politik” (the political) dan peran aktor-aktornya dalam masyarakat multikultural. Kedua, membaca dengan perspektif baru tentang “yang berbudaya” dan makna “kebudayaan” yang tidak seyogyanya dilihat dari perspektif tunggal, misalnya dalam narasi besar modernitas.
Rehabilitasi makna “yang politik” sangat penting untuk mendukung terealisasinya kebijakan multikultural. “Yang politik” adalah praktek kehidupan publik yang didasarkan atas komunikasi dan toleransi. Karena negara adalah lembaga publik maka ia harus mengakui dan melindungi kebebasan individu warga, dan tidak boleh mengintervensi apalagi “menegarakan” wilayah privat-parsial. Adapun praktek-praktek yang berseberangan dengan prinsip tersebut masuk dalam kategori “anti politik”. Absolutisme negara, intoleransi, militerisme, kekerasan agama, konflik etnis, proses legislasi yang diskriminatif adalah “anti politik”. Di sini, menurut saya diferensiasi antara “yang publik” dan “yang privat” masih bermanfaat untuk membatasi “yang anti politik” agar tidak melukai “yang politik”.
Kedua, untuk mendorong tumbuhnya sikap politik multikultural, negara harus membiarkan masyarakat menciptakan kreatifitas budayanya. Karenanya, makna “yang berbudaya” pun harus diserahkan pada pola relasi dan proses interaksi, interpenetrasi, serta hibridisasi antar masyarakat untuk menciptakan ruang dialog bersama. Artinya, kebudayaan tidak sekadar dilihat sebagai artefak atau produk teknologi. Melainkan sebagai arena dan ruang kontestasi, resistensi, negosiasi dan rekonsiliasi antara kelompok masyarakat untuk membangun harmoni, toleransi, dan kebersamaan.
Di sinilah apa yang saya sebut sebagai politik radikal anti diskriminasi menemukan relevansinya. Yaitu, politik yang mengaca pada realitas multikultural dan penghargaan pada setiap local wisdoms (di sini Islam dan masyarakat adat sebagai contoh) sebagai basis harmoni sosial, sehingga tidak ada lagi anggota warga negara yang dilecehkan, apalagi “dikelasduakan”. [] Desantara / Mh. Nurul Huda