Sebagai sebuah organisasi masyarakat sipil di Jawa Barat, LBH Bandung memiliki pandangan bahwa penyelenggaraan negara haruslah mampu melindungi dan menjamin pemenuhan hak keadilan hukum, politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang merupakan hak-hak dasar setiap individu warganegara Indonesia. Saya memandang bahwa rakyat harus diposisikan sebagai subyek dalam membangun dan mewujudkan keadilan serta demokratisasi dalam kehidupan ketatanegaraan di negeri ini.
Dalam penanganan kasus-kasus hukum yang terjadi di masyarakat, kami berprinsip bahwa kasus hukum tidak hanya dipandang dari kepentingan satu sisi penyelesaian kasus semata. Tetapi harus dilihat sebagai indikasi adanya konflik yang sangat dalam. Sebagai contoh misalnya, di dalam kasus buruh, agraris, dan lingkungan hidup harus dilihat dalam konteks yang lebih luas. Yakni persoalan kepentingan struktur penguasaan terhadap sumber daya ekonomi, sumber daya alam, dan adanya hegemoni negara dalam setiap permasalahan yang berkembang di masyarakat yang berhadapan dengan kasus hukum.
Oleh karena itu langkah-langkah antisipasi dan penanganan yang dilakukan tidak hanya terbatas legal formal, tetapi juga upaya memperkuat lembaga-lembaga masyarakat dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat untuk mengakui keberadaan hak-hak rakyat, proses implementasi hukum yang adil serta upaya melakukan penolakan terhadap kekuasaan yang sewenang-wenang.
Implikasi dari cara pandang ini terhadap sistem evaluasi kerja LBH Bandung adalah bahwa ukuran keberhasilan pelaksanaan program tidak hanya dilihat dari sisi kalah-menang dalam penanganan kasus secara legal formal (putusan lembaga peradilan) semata, tetapi juga dipertimbangkan pula dampak sosial konkrit lainnya yang dihasilkannya.
Dalam suatu kondisi di mana posisi tawar rakyat yang memiliki kasus hukum masih sangat lemah (misalnya decade 1998-2000), untuk kepentingan proses penanganan kasus hukum, kami memandang perlu mengembangkan suatu program "pemberdayaan rakyat", dalam bentuk pendidikan-pendidikan hukum kritis dan pengorganisasian rakyat yang ditujukan untuk mendorong adanya suatu kondisi meningkatnya kesadaran kritis dan kemampuan rakyat dalam menyikapi setiap kasus hukum yang terjadi sejalan dengan proses penanganan kasus-kasus hukum dimaksud.
Sekarang ini menata diri dan memberdayakan masyarakat nampaknya masih menjadi pilihan yang patut kita pertimbangkan untuk terus kita lakukan. Yang diharapkan dapat mendorong kesadaran dan pemahaman kritis masyarakat tentang berbagai aspek yang senantiasa berkembang dalam kehidupan masyarakat. Mendorong digunakannya kearifan-kearifan budaya sebagai alat dalam mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat dan negara yang lebih demokratis maupun dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang terjadi di masyarakat.
Pendekatan kekerasan baik yang dilakukan oleh instrument negara maupun masyarakat sendiri tidak akan pernah mampu menjawab dan menyelesaikan persoalan yang berkembang dalam masyarakat. Sebaliknya pendekatan yang lebih mempertimbangkan aspek keadilan hukum, politik, ekonomi, sosial, dan budaya seharusnya kita dorong agar diterima oleh pemerintah dan smeua pihak untuk dapat dijadikan dasar setiap penyelesaian masalah. Lalu bagaimanakah strategi advokasinya?
Dalam merumuskan strategi advokasi lebih baik kalau kita merumuskan secara bersama-sama dengan masyarakat korban. Hal ini sangat penting untuk mengukur dan mengetahui tingkat akurasi perumusan strategi advokasi, tingkat kesiapan semua pihak yang akan dilibatkan dalam proses advokasi serta penghitungan pencapaian target dari advokasi yang akan dilakukan.
Kita sadari banyak cara advokasi yang bisa kita lakukan, namun sampai saat ini belum ada strategi advokasi yang cukup efisien dan efektif bagi penyelesaian masalah dalam masyarakat. Persoalannya, apakah suatu bentuk pendekatan dan mengadvokasi suatu masalah memang merupakan pilihan stategi yang baik? Bagaimana pula dengan ekses negatif yang berkembang di masyarakat apakah tidak perlu kita pedulikan?
Mengingat sikap represif yang sering masih menjadi pilihan negara dan sebagian kalangan yang memiliki kepentingan yang kuat atas negeri ini, dan pada sisi lain euphoria reformasi yang juga masih melatarbelakangi sikap agresif sebagian kalangan masyarakat kita yang cenderung kurang mampu mengendalikan situasi. Belakangan bebarapa NGO/LSM mencoba mengembangkan konsep Adam, Making Peace (London: Tavistock Press, 1971) yang konsepnya disesuaikan dengan kondisi dalam negeri sebagai berikut:
Skema negosiasi untuk kepentingan penyelesaian konflik
Dalam skema di atas digambarkan dua hal openting. Pertama, dalam kondisi posisi tawar yang seimbang, kondisi lapangan cenderung statis/stabil/nyaris tidak ada gejolak, dan dalam proses negosiasi cenderung mudah dicapai adanya kesepakatan damai atau kesepakatan bersama bagi penyelesaian konflik di antara pihak-pihak yang berkonflik.
Kedua, menggambarkan situasi konflik dalam skala laten, dalam kondisi di mana kekuatan tidak seimbang, kondisi lapangan cenderung tidak kondusif, pihak yang posisi tawarnya kuat cenderung melakukan penekanan terhadap pihak yang posisi tawarnya lemah, dan yang lemah kurang siap untuk melakukan konflik secara terbuka. Pada kondisi seperti ini disarankan pihak-pihak yang lemah untuk melakukan pemberdayaan diri. Untuk kepentingan penyelesaian konflik biasanya pilihan yang diambil dalam penyelesaian konflik adalah melakukan konfrontasi apabila pihak-pihak tidak berkehendak untuk negosiasi, dengan konsekuensi salah satu pihak kalah. Kemudian diikuti dengan dibuatnya keputusan penyelesaian atas permasalahan tersebut dengan memberikan hak kepada pihak yang menang dalam konfrontasi yang terjadi. Atau yang kalah tetap mencoba bertahan. Pilihan kedua apabila tidak siap berkonfrontasi dapat diambil jalan negosiasi yang proses dan outputnya sama dengan gambaran yang pertama.
Negosiasi sebagai pilihan dalam proses penyelesaian konflik tentunya mensyaratkan beberapa hal mendasar sebagai berikut:
Pertama, adanya keinginan dan niat baik dari masing-masing pihak untuk musyawarah demi kepentingan penyelesaian konflik yang terjadi. Kedua, adanya fasilitator yang mampu memosisikan diri secara netral antara kedua belah pihak berkonflik. Ketiga, adanya keseimbangan posisi tawar antara pihak-pihak berkonflik.
Keempat, adanya situasi kondusif. Kelima, adanya kesadaran dari masing-masing pihak tentang permasalahan yang melatarbelakangi konflik. Keenam, adanya sikap konsisten dari masing-masing pihak terhadap segala hasil yang dicapai dalam musyawarah penyelesaian konflik. Ketujuh, tidak adanya campur tangan negara dan aparat dalam proses negosiasi, kecuali atas kehendak kedua pihak. Dalam posisi demikian negara/aparat harus netral konsisten dan memerankan diri sebagai mediator yang baik. Kedelapan, adanya kesamaan paradigma antara pihak-pihak bahwa negosiasi bukan arena memaksakan kepentingannya masing-masing. Kesembilan, adanya kesadaran saling menghormati. Dan kesepuluh, adanya keputusan formal yang bisa dijadikan pegangan masing-masing pihak sebagai bentuk penyelesaian konflik.
Konsep seperti ini umumnya bisa berjalan efektif apabila kesepuluh prasyarat tersebut bisa terpenuhi dengan baik. Namun harus dipahami bahwa untuk konflik-konflik hukum yang bersifat struktural, proses negosiasi umumnya bersifat alot. Sehingga membutuhkan waktu yang panjang. Kami sadar bahwa apa yang kami berikan kepada masyarakat Jawa Barat melalui kegiatan LBH Bandung selama ini belumlah mencapai hasil yang optimal. Mengingat segala keterbatasan kami sebagai umat manusia. Akan tetapi kami terus berharap agar kita dapat menikmati hidup dalam suatu tatanan bermasyarakat dan bernegara satu sama lain (tidak terkecuali negara) saling menghormati dan menghargai hak asasi manusia dan hak konstitusional setiap warganegara.[] Desantara / Gatot Rianto PBHI