Tulisan ini mencoba mengevaluasi kegiatan audiensi dan dialog yang diselenggarakan Paguyuban Anti Diskriminasi untuk Agama Adat dan Kepercayaan (PAKUAN) dengan instansi-instansi pemerintah di Jawa Barat. Sejak bulan April dan Mei 2004, ada tiga instansi pemerintah yang menerima dan melayani tuntutan dialog ini, yakni Gubernur melalui BPMD (Badan Pemberdayaan Masyarakat Daerah), Dinas Pendidikan Nasional (Diknas) dan Departemen Agama.
Tentu saja, hal ini bukan langkah pertama ditempuh dalam menuntut hak-hak kewarganegaraan (civil rights) dan memperjuangkan penghapusan kebijakan diskriminatif. Jauh sebelum kami, komunitas-komunitas marjinal di Tatar Sunda telah memperjuangkannya selama puluhan tahun, di mana hasil yang diharapkan sampai hari ini belum terwujud. Dan selama rentan waktu yang panjang itu, dampak dari kebijakan diskriminatif itu sangat memilukan dan menyakitkan. Penyiksaan yang muncul dari dua arah, dari pemerintah dan dari masyarakat umum. Dari pemerintah, hak-hak sipil mereka, seperti hak memperoleh KTP, Akte Kelahiran, Surat Perkawinan, tidak pernah diterima. Meskipun hal itu sangat administratif sifatnya, namun sangat urgen dan signifikan di negeri ini. Sedangkan dari aras masyarakat, mereka dianggap kumpul kebo, anak-anak haram, kaum musyrik, animis, dan segala pandangan stereotipe dan kecurigaan lainnya.
Oleh karena itu, mendengar pengalaman mereka, kami agak miris dan pesimis serta menganggap langkah ini hanya buang-buang waktu dan energi dengan hasil yang bisa diduga. Namun, mau tidak mau, jalur ini harus ditempuh. Setidaknya untuk menunjukkan pada pemerintah bahwa PAKUAN dan komunitas marjinal bukan musuh negara yang patut ditakuti dan dicurigai. Kami semua adalah bagian dari bangsa yang besar ini, yang memiliki hak-hak yang sama dengan warga lainnya. Dan yang terpenting juga, PAKUAN, sebagai kelompok yang concern dalam penghapusan diskriminasi, bisa memahami karakter, watak dan sikap pemerintah dalam menanggapi persoalan diskriminasi, sehingga bisa merumuskan strategi dan langkah ke depan.
Berikut ini beberapa catatan tentang agenda audiensidi atas. Pertama, pemerintah selalu menawarkan sebuah solusi yang bukan solusi. Misalnya, berkaitan dengan persoalan adanya pemaksaan pengajaran agama di sekolah-sekolah umum, dan hal itu berimbas pada nilai raport dan prestasi si anak. Wakil dari Diknas, misalnya menyatakan bahwa ini persoalan siasat saja. Siasat yang dimakud olehnya adalah kebohongan administratif. Artinya, pura-pura menjadi Islam atau Kristen, karena yang terpenting si anak dapat nilai. Malah, untuk mendukung solusinya, ia menceritakan pengalamannya. Ia, katanya, pernah belajar di salah satu sekolah Kristen, mengikuti pelajaran agama Kristen, dan ikut ke gereja, tapi sampai saat ini akidahnya tidak luntur. “Saya tetap muslim”, ungkapnya. Hal yang sama juga dilakukan oleh pihak Depag ketika menanggapi keluhan Ketua Jema’at Ahmadiyah Tasikmalaya. Keluhan ini terkait dengan keputusan atau fatwa MUI Kota yang melarang kegiatan Ahmadiyah. Imbasnya, mesjid, rumah warga, dan panti asuhan mereka dirusak dan dilempari. Bahkan, kolam ikannya pun ikut dijarah. Wakil dari Depag itu hanya menjawab: bersabarlah dan menganggap bahwa fatwa itu sebagai solusi terbaik untuk meredam amuk massa.
Kedua, baik Diknas maupun Depag memiliki ketakutan yang sama ketika harus bergumul dengan hal-hal seperti ini, yaitu reaksi keras dan respon negatif dari mayoritas di kemudian hari. Ketiga, persoalan karir. Di mata mereka, memperjuangkan hal-hal seperti ini bisa menghambat, bahkan mematikan masa depan karir mereka. Ketakutannya ini terlihat jelas ketika Diknas Jawa Barat diminta inisiatifnya untuk mengeluarkan semacam perda yang bisa mengayomi semua elemen masyarakat. Katanya, “saya bisa dihabisin oleh atasan saya”.
Tentu saja, kami harus jujur bahwa bukan berarti tidak ada hal-hal atau kabar positif dari hasil audiensi dan dialog dengan pemerintah. Misalnya, tawaran dari ketua BPMD yang akan menjadwalkan dan merapatkan hasil pertemuan dengan PAKUAN dengan dinas-dinas terkait lainnya dengan Gubernur pasca pemilu, atau permintaan Diknas untuk melaporkan sekolah yang memaksakan pengajaran agama. Hal-hal seperti itu adalah kabar yang menggembirakan meskipun tidak memuaskan..
* * *
Ulasan berikut ini mencoba untuk mendiskusikan hal-hal yang tersebut di atas dalam pandangan saya. Secara keseluruhan, saya tetap masih menganggap bahwa problem utamanya terletak pada pemerintah yang tidak memiliki political will (kehendak politik), malah cenderung ingin melanggengkan hegemoni dan dominasi. Ungkapan “takut akan mayoritas” atau “demi stabilitas dan kedamaian” sekedar ingin melempar tanggung jawab itu.
Pertama, tentang istilah mayoritas. Bagi saya, kata ini tidak jelas dan kabur: siapa dan bagaimana mayoritas serta standar apa yang digunakan untuk mendefinisikannya? Kalau misalnya diasumsikan bahwa yang disebut mayoritas adalah umat dari lima agama resmi: Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha, mengapa pula penolakan nonmuslim atas RUU SISDIKNAS tidak dikabulkan? Akhirnya, dari sini asumsi yang berkembang tentang mayoritas adalah umat Islam. Asumsi inipun bisa dibantah. Misalnya Ahmadiyyah yang jelas-jelas muslim juga didiperlakukan tidak adil oleh penguasa. Jadi kelompok Islam yang mana? Jika ukurannya adalah yang seringkali tampil dalam demonstrasi, seperti Majlis Mujahidin, Hizb al-Tahrir, FPI, dan sebagainya maka mereka sangat sedikit dan tidak dianggap mewakili umat Islam secara keseluruhan. Malah, dalam kasus Abu Bakar Ba’asyir, kelompok garis keras ini juga dihajar.
Walhasil, istilah mayoritas adalah retorika yang dihembuskan oleh pemerintah untuk mem-pressure dan menekan kelompok-kelompok yang lemah agar tidak bersiul. Malah asumsi saya tentang mayoritas adalah lembaga-lembaga agama jelmaan pemerintah sendiri seperti MUI, PGI dan yang lainnya. Lembaga-lembaga inilah yang sering dirujuk dan didengar pandangannya dalam menetapkan atau mencabut kebijakan. DR. Musda Mulia yang pernah terlibat di birokrasi pernah mengutarakan pengalamannya ketika berbincang-bincang dengan menteri agama terkait dengan RUU Perkawinan. Pak menteri berpendapat bahwa hal itu merupakan desakan majelis-majelis agama resmi.
Kedua, keberagaman dan perbedaan dianggap sebagai ancaman yang bisa mengganggu stabilitas nasional. Ketika beragam keyakinan, kepercayaan, aliran, sekte dan faham tumbuh dan dianut oleh masyarakat di negeri ini, maka hal itu oleh pemerintah dipandang sebagai ancaman yang harus dikontrol, didisiplinkan, diarahkan, ditundukkan, bahkan dibungkam dan dimatikan. Seperti misalnya yang dilakukan rezim orde baru yang militeristik dengan membuat kebijakan tentang lima agama resmi.
Oleh karena itu, menurut saya hal-hal yang bisa menunjang keberhasilan perjuangan menghapus diskriminasi adalah sebagai berikut.
Pertama, menumbuhkan kepercayaan diri bagi komunitas yang marjinal untuk tetap berani dan tanpa henti menuntut hak-haknya. Sebab selama ini, ada beragam respon dan reaksi mereka atas berbagai kebijakan diskriminatif pemerintah. Yakni: a). Apatis, yaitu diam, menerima dan tidak melakukan tindakan apapun, bahkan akhirnya tertutup dan enggan terbuka dengan kelompok lainnya; b). Berontak, yaitu terus memperjuangkan tanpa peduli berhasil atau tidak, dan c). Akomodatif, yaitu menerima perlakuan diskriminatif itu, tetapi memainkan strategi dengan mengikuti mainstream.
Kedua, komunitas-komunitas marjinal harus selalu membuka diri, menjalin solidaritas dan menambah perkawanan dengan kelompok-kelompok yang selama ini dianggap sebagai mayoritas. Sehingga perjuangan menuntut hak tidak satu arah tetapi dari berbagai arah. Setidaknya hal ini untuk mematahkan logika mayoritas yang selalu dijadikan apologi itu. Desantara / M. Syafari PAKUAN