Apa yang mendorong negara dengan mudahnya membatasi hak-hak komunitas Ahmadiyah, hingga membenarkan pengusiran dan pengrusakan pemukiman mereka? Jawabannya mengemuka ketika sejumlah kawan dari Working Group Anti Diskriminasi Agama dan Kepercayaan bersilaturahmi dengan sejumlah pejabat di lingkungan pemerintah kabupaten Kuningan, Jawa Barat.
Sebagaimana pernah diberitakan beberapa bulan lalu, sejumlah warga Ahmadiyah di Desa Manis Lor, Kuningan, terganggu dengan ulah sejumlah orang yang tidak menginginkan kehadiran mereka. Pihak pemerintah kabupaten pun turun tangan. PAKEM (Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat) Kuningan turun tangan, dengan alasan Ahmadiyah sudah meresahkan masyarakat.
Pihak Departemen Agama Kuningan juga ambil bagian bahwa Ahmadiyah mendakwahkan ajaran yang berbeda dengan mayoritas umat. Maka pihak pemerintah kabupaten Kuningan pun mengumpulkan sejumlah orang yang dianggap tokoh agama dan masyarakat. Dan tanda tangan pun dikumpulkan. Tentu isinya menolak kehadiran jamaah Ahmadiyah di wilayah Kuningan.
Menurut pihak pemerintah Kuningan, ada sejumlah pertimbangan mengapa Ahmadiyah dilarang. Pertama, alasan teologis. Tentu kita bisa bertanya, mengapa pihak pemda menggunakan argumen teologis, yang sebenarnya adalah urusan kalangan agamawan. Kalau kita buka sejenak UU No. 1/PNPS/1965 pasal 1, terungkap bahwa pemerintah (pusat maupun daerah sama saja) punya hak untuk ikut campur tangan ke dalam urusan agama sejauh kalau ada kasus yang dianggap menyimpang dari pokok-pokok ajarana agama. Di bagian penjelasan disebutkan, “Penetapan Presiden ini pertama-tama mencegah agar jangan sampai terjadi penyelewengan-penyelewengan dari ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan”. Dan kata “menyimpang” dan “penyelewengan” inilah yang mengundang suatu penafsiran dan kegiatan keagamaan yang dianggap “lain” sebagai sebuah kriminal yang membutuhkan penanganan – atau katakanlah intervensi – negara. Untuk memperkuat argumen teologis pihak pemda senantiasa berkonsultasi dengan Departemen Agama di pusat. Karena agama tidak terkena urusan otonomi daerah.
Argumen kedua, argumen sosiologis. Kalau suatu praktek keagamaan itu mengundang keresahan masyarakat, maka itu perlu diluruskan dan ditertibkan. Di sinilah peranan PAKEM dalam Kejaksaan. Ini kelanjutan dari argumen pertama. Kalau sudah dianggap menyimpang pada level teologis, tentu logikanya akan juga dianggap meresahkan dan mengganggu ketertiban masyarakat. Dan pihak polisi juga dilibatkan untuk mengontrol dan mengukur sejauhmana keresahan itu menggangu keamanan. Dan kalau sudah mengancam betul, tentu akan ditindak tegas, seperti dalam kasus Haur Koneng, atau dilarang saja oleh kejaksaan untuk menjalankan aktifitasnya seperti Darul Arqam.
Ketiga, argumen komparatif. Kata orang pemda, Arab Saudi, Birma (Myanmar), Pakistan dan Malaysia sudah melarang Ahmadiyah. Maka Indonesia pun bisa melarang seperti halnya negara-negara itu. Rujukan ke negara-negara yang dianggap relevan dalam soal pelarangan tentu mengundang tanda tanya. Negara kita sedang bergerak menuju pencapaian demokrasi yang lebih baik dan lebih dewasa. Kita juga sedang berusaha menegakkan hak-hak mendasar warga negara yang sempat terabaikan di masa orde baru. Tapi merujuk kembali ke negara negara yang belum beres dalam soal memenuhi tuntutan demokratisasi dan penegakan HAM di kalangan warganya, tentu mengundang masalah, kalau aparat birokrasi kita betul-betul mau menunjukkan itikad baiknya untuk menegakkan HAM dan menghapus segala macam bentuk diskriminasi terhadap warga negara.
Keempat, argumen yuridis. Kata pihak pemda lagi, pihak PTUN (Pengadilan Tinggi Usaha Negara) tidak mengabulkan gugatan pihak Ahmadiyah terhadap pemerintah Kuningan. Karena tidak ada bukti formal (berupa SK, surat edaran atau surat sakti semacamnya) yang membenarkan tindakan pengrusakan dan pengusiran jamaah Ahmadiyah di Manis Lor. Tapi argumen ini pun bisa dipatahkan kalau gugatan itu dilayangkan ke pengadilan negeri untuk menunjukkan bahwa ada bukti surat pernyataan bersama (lengkap dengan sejumlah tanda tangan) yang berlaku efektif menggerakkan orang untuk membenarkan dirinya berbuat anarkhis terhadap jamaah Ahmadiyah.
Dari keempat argumen di atas, tidak satu pun yang menunjukkan penghargaan terhadap hak hak asasi manusia. Terutama pengakuan persamaan dan kesederajatan warga negara tanpa mempertimbangkan perbedaan agama, keyakinan dan kepercayaan. Ini belum termasuk upaya untuk memberi jaminan perlindungan terhadap hak-hak sipil dan budaya warga negara yang sudah diamanatkan dalam Amandemen 2 UUD 1945 dan dalam UU No 39 tahun 1999 tentang HAM. Itu kalau para birokrasi kita serius memikirkan dan menjadikan negara kita ini sebagai negara demokrasi yang menghargai HAM. Bukan malah menjadikannya sebagai negara otoriter yang serba melarang dan membatasi kebebasan beragama, berekspresi, dan berkeyakinan. Desantara / A Baso