Bangsa Indonesia adalah masyarakat yang plural dan beragam dari segi ras, etnis, agama, dan budaya. Mereka pun ikut menyumbang saham dalam menegakkan dan membangun negara kesatuan Republik Indonesia. Namun betapa mengherankannya hidup di negeri ini. Praktek diskriminasi rasial, etnis, agama, dan kepercayaan telah memenjara kebebasan asasi manusia dan prinsip kesetaraan warganegara. Praktek diskriminasi ini bukan produk budaya bangsa, melainkan hasil konstruksi negara atau penguasa untuk mengeliminir peran komunitas tertentu dalam kehidupan publik.
Jejak diskriminasi ini bisa dilihat, di antaranya dalam Undang-undang (UU) Catatan Sipil yang selama ini dipraktekkan. Di sepanjang sejarah sejak kemerdekaan hingga sekarang, penyelenggaraan catatan sipil masih menggunakan kebijakan Hindia Belanda (Staatblad) yang membagi atau membedakan warga masyarakat atas dasar etnis dan agama, yaitu: Staatblad 1849-25 tentang kelahiran untuk golongan Eropa, Staatblad 1917-130 jo 1919-18 tentang kelahiran untuk golongan Tionghoa, Staatblad 1920-751 jo 1927-564 tentang kelahiran untuk golongan Indonesia (non-Kristen), dan Staatblad 1933-75 jo 1936-607 kelahiran untuk golongan Indonesia.
Pemberlakuan terhadap produk hukum warisan Hindia-Belanda tersebut jelas berdampak buruk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di samping dasar hukum pencatatan kelahiran yang ada saat ini hanya bisa menunjukkan asal etnik dan atau agama seseorang, bukti pencatatan kelahiran tidak selalu dapat menentukan hukum waris yang berlaku sesuai agama dari pemegang salinan pencatatan kelahiran. Misalnya, seorang WNI etnis Tionghoa beragama Islam, dasar hukum pencatatan kelahiran anak tunduk pada hukum Staatblad 1917-130 jo 1919-81, sedangkan orang WNI asli/pribumi beragama Islam, dasar hukum pencatatan kelahiran adalah Staatblad 1920-751 jo 1927 -564. Singkatnya, meski keduanya beragama Islam, tapi berbeda dalam penerapan hukum kewarisannya.
Pembedaan serupa juga terjadi dalam masalah perkawinan, terutama perkawinan pasangan yang seagama dan etnis berbeda. Misalnya, WNI beragama Islam, landasan hukum pencatatannya adalah Staatblad 1917-130 jo 1919-81, sedangkan etnis Tionghoa Islam atau Arab Islam landasan hukum pencatatannya menggunakan Staatblad 1920-751 jo 1927-564. Dari situ tampak, bahwa meskipun sama-sama orang Indonesia, namun dasar hukumnya berbeda.
Selanjutnya berkaitan dengan UU Catatan Sipil ini, juga terdapat diskriminasi dalam UU Perkawinan No 1 tahun 1974. Pada pasal 2 yang membahas tentang keabsahan perkawinan, terlihat jelas bahwa UU tersebut tidak memberi celah pada kesetaraan dan pengakuan atas hak-hak asasi manusia dalam hal pasangan yang menikah di luar lima agama resmi yang telah ditentukan. Dalam hal perkawinan antara pasangan yang berbeda agama yang hidup dalam lembaga perkawinan. Hal ini lalu juga dijabarkan dengan Surat edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/47054 tanggal 18 Nopember 1978 jo instruksi Menteri Agama No. 4/1978 yang membatasi lima agama resmi. Rangkaian perundang-undangan ini akhirnya juga berimplikasi hukum terhadap kelahiran seorang anak hasil perkawinannya di luar lima agama resmi serta pembedaan pencatatan kelahiran berdasarkan etnis. Hak-hak sipil mereka diabaikan dan tidak lagi punya kepastian/status hukum keperdataan mereka.
***
Dari uraian di atas tampak dengan jelas, upaya penguasa untuk membeda-bedakan dan mengkotak-kotakkan manusia yang secara kodrat amat sangat mulia dan setara di hadapan Tuhan. Suatu sikap dan perlakuan yang juga melanggar prinsip hukum dalam Konvensi Internasional No. 36/55 tanggal 25 Nopember 1981 pasal 1-8 tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi dan intoleransi agama dan kepercayaan, juga Kovenan tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial pasal 5 poin d nomor 4, serta Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik.
Dari legalisasi praktek diskriminasi dalam UU Catatan Sipil di atas, jelas pula harga mahal yang harus dibayar oleh bangsa yang sedemikian majemuk ini tanpa perlakuan yang setara terhadap sesama warga negara. Harga itu bisa berupa perlakuan tidak adil terhadap komunitas satu oleh komunitas lain, atau semacam penindasan mental maupun fisik, atau konflik sosial yang tak pernah ada ujung, segregasi antar warga negara, dan bahkan berwujud disintegrasi bangsa.
Oleh karena itulah, segala bentu diskriminasi harus dilawan dan dihapuskan di muka bumi ini. Segala instrumen yang mendukung praktek-praktek diskriminasi harus dikikis habis karena melanggar kodrat kemanusiaan itu sendiri. Dalam kerangka itulah, UU Catatan Sipil harus dirombak, direformasi. Kita perlu membangun sistem hukum yang bertumpu pada kesetaraan dan kepastian hukum bagi semua warganegara, tanpa membedakan mereka berdasarkan ras, etnis, suku dan agama. Dengan undang-undang yang baru ini diharapkan hak-hak sipil semua warga negara dijamin oleh negara dalam pencatatan sipilnya. Karena, pencatatan sipil, yaitu pencatatan kelahiran, adalah hak hukum perdata pertama yang harus dijamin oleh negara. Ini pulalah yang mendorong Konsorsium Catatan Sipil membuat legal drafting tentang RUU Catatan Sipil yang baru. Desantara / Ari Masyhuri