Beberapa tahun ini iklim perfilman nasional kembali bergeliat. Berbagai topik film kembali dihidupkan dari petualangan anak-anak, kisah cinta anak SMU, hal mistik sampai penyimpangan nilai-nilai agama. Tidak ketinggalan film “Kafir”, film yang dibintangi oleh H. Sudjiwo Tedjo dan Meriam Bellina dan disutradarai oleh Mardali Syarif. Sebagaimana film-film yang lain, film itu pun dibanjiri banyak pengunjung dan dengan bangga sang sutradara dan produser film dari Starvision, Chand Parvez, mengatakan ke berbagai media bahwa itu juga merupakan sumbangan dakwah Islam yang ia berikan kepada masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam.
Film itu menggambarkan tentang seorang tokoh sakti, Kuntet Dilaga, dukun yang banyak dimintai tolong banyak orang. Dukun itu memiliki ilmu kanuragan yang cukup tinggi dan ajaran sesat sehingga menyebabkan kesombongan pada dirinya. Kisah itu diakhiri dengan kematian sang dukun yang kematiannya tidak diterima oleh bumi karena berbagai perbuatan yang dilakukan semasa hidupnya.
Film itu sesungguhnya tidak berbeda dengan film-film yang lainnya. Tetapi, yang istimewa dalam film itu adalah efek ketika sutradara film diwawancarai oleh wartawan SCTV mengenai keberhasilan film itu dalam menarik perhatian masyarakat. Sang sutradara mengatakan film itu diilhami oleh sebuah kisah nyata seorang sakti yang bernama Madrais yang hidup di Desa Cigugur, Kuningan, Jawa Barat.
Keterangan ini kontan saja membuat banyak masyarakat yang berasal dari Cigugur bereaksi tidak membenarkan keterangan Mardali. Walaupun Mardali menyatakan bahwa keterangan itu tidak dimaksudkan sebagai penjelas cerita film itu, tetapi tetap saja masyarakat Cigugur yang memiliki ingatan kolektif tentang Madrais merasa bahwa keterangan yang dimiliki oleh Mardali adalah keterangan yang leupat (salah).
Demikian dinyatakan Abah Entang, seorang yang selama 17 tahun dekat dengan keluarga Madrais. Sebagian orang lagi mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Mardali adalah cara yang tidak manusiawi dan etis, lepas dari cara-ciri manungsa. Demikian dikatakan Abu Naim, pengikut ajaran Mad Rais dari generasi yang lebih muda. Sehingga kemudian para ais pengampi (tetua adat) mengklarifikasi berbagai karakter yang dibunuh seperti sebagai dukun santet, menebarkan ajaran sesat, dan kematian yang tidak diterima bumi. Mereka mengklarifikasi dengan karakter seorang pluralis, patriot, anti-dikultuskan dan pecinta tanah air.
Bagi masyarakat Cigugur, Mad Rais adalah seorang patriot yang mengajarkan nilai-nilai spiritual yang universal yang pluralis. Mad Rais oleh Pemerintah Kolonial sempat dikhawatirkan sebagai seorang penggerak gerakan protes yang marak pada masa rust en orde (keamanan dan ketertiban) diakhir awal abad ke-19 dan awal abad ke-20. Bahkan, Pemerintah Kolonial Belanda meminta keterangan dari para pamong praja seperti Patih Kanoman Cirebon dan pejabat kolonial: pejabat kontrolir dan assisten residen.
Dari keterangan mereka bagi masyarakat Cigugur selama ini stigma yang ada pada masyarakat mengenai Kiai Mad Rais timbul. Prasangka buruk itu muncul disebabkan Pemerintah Kolonial mencap Kiai Mad Rais adalah penganut ajaran sesat. Bagi masyarakat Cigugur stigma ini diciptakan oleh Belanda karena Kiai Mad Rais adalah seorang patriot yang berjuang untuk membebaskan diri dari kungkungan Kolonialis Belanda. Selain disebabkan oleh kesalahan mata-mata kontrolir yang menafsirkan perkataan Kiai Mad Rais bahwa manusia harus hidup dengan memakan-minum air keringat, mata-mata itu menafsirkan itu secara letterlijk. Padahal menurut pengikut Mad Rais itu berarti manusia harus mandiri, berdiri di atas kaki sendiri dan merdeka dari kungkungan orang lain. Yang terakhir ini menurut para pengikut Madrais adalah ajaran patriotisme Kiai Madrais.
Dengan demikian para pengikut Mad Rais ingin mengatakan bahwa apa yang mengilhami pembuatan film itu adalah sangat bias kolonial dan bias SARA yang bisa menimbulkan perpecahan antar agama. Rama Djati, panggilan akrab Pangeran Djatikusuma, mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh film itu dikhawatirkan bisa menggoyahkan tatanan yang sudah damai dan tenteram hidup dengan nilai-nilai tradisi yang diwarisi. Karena masyarakat Cigugur adalah masyarakat yang cukup plural. Di sana komunitas Katolik dan Islam berdiri berdampingan bersama-sama masyarakat penganut penghayat, para pengikut ajaran Kiai Madrais dalam bingkai ajaran Kiai Madrais. Apa yang dilakukan oleh Mardali adalah upaya melakukan afirmasi definisi “kafir” yang beredar di kalangan Islam. Definisi ini dikhawatirkan oleh Rama Djati akan diterima oleh komunitas Islam Cigugur dan diarahkan kepada komunitas penghayat yang masih memegang teguh ajaran Kiai Madrais. Kekhawatiran berikutnya adalah penegasan stigma sesatnya ajaran Kiai Madrais yang terdapat pada masyarakat umum. Ditambah lagi persebaran film yang sudah beredar di tengah masyarakat.
Di sisi lain akhir-akhir ini wacana keagamaan, terutama Islam, sedang mengangkat wacana pengkafiran di kalangan kelompok Islam fundamentalis. Sehingga dari sini kemudian timbul kecurigaan di sini apakah pernyataan Mardali mengenai sumbangan dakwahnya terhadap Islam adalah pernyataan yang sungguh-sungguh atau hanya ingin menyesuaikan diri dengan wacana yang sedang dominan sehingga pernyataan itu kemudian dicurigai—lagi-lagi—sebagai upaya promosi di tengah masyarakat yang sedang gandrung secara tren terhadap Islam.
Dalam kasus ini terjadi beberapa pelanggaran cultural rights yang dimiliki oleh masyarakat Cigugur. Pertama, pelanggaran sejarah masa lalu Kiai Madrais yang dimiliki oleh memori kolektif, kedua, stigmatisasi yang negatif komunitas pengikut keyakinan ajaran Madrais lewat penamaan judul. Ketiga, penyebaran stigma negatif kepada masyarakat lewat film dan keterangan sutradara sehingga bisa menimbulkan kebencian terhadap satu komunitas. Keempat, mengusik ketenangan dan tatanan yang sudah masyarakat adat yang sudah terpelihara dalam waktu yang cukup lama. Desantara / Anuri Furqon