Apakah berbicara tentang perjuangan bersama melawan diskriminasi hanya monopoli kaum laki-laki? Demikian pertanyaan yang mengemuka dalam forum Pengajian Agama dan Kebudayaan “Islam dan HAM Kultural”, Desantara. Forum yang mengangkat kasus diskriminasi yang dialami komunitas Adat Karuhun Sunda Cigugur memang menampilkan pembicara yang semuanya laki-laki. Meski demikian, ternyata ada sosok perempuan di balik layar yang terlibat bukan hanya dalam men-setting forum tersebut tapi juga aktif membangun siasat-siasat bersama dalam melawan diskriminasi, terutama di lingkungan komunitasnya. Dan itulah yang dilakukan oleh Ibu Emalia Djatikusumah (61 tahun), istri Pangeran Djatiksumah.
Dimulai dari perlakuan diskriminatif yang diterima oleh Komunitas Adat Karuhun Sunda dari negara (state), puncaknya adalah dijebloskannya Pangeran Djatikusumah yang merupakan keturunan langsung dari Pangeran Madrais atas dakwaan “meresahkan masyarakat”, oleh pemerintah ke balik terali besi. Desa Cigugur kemudian menjadi kampung yang senyap dan hampir mati. Akibatnya, komunitas Adat Karuhun Sunda juga mengalami stagnasi. Kebijakan pemerintah yang didasarkan pada stabilitas nasional dan diberlakukannya politik SARA, pada realitasnya kemudian membatasi aktivitas masyarakat, terlebih pada masyarakat Cigugur yang terlanjur diberi label “berbeda” dan menjadi “wong liyan” dari definisi agama yang resmi.
Adalah ibu Emalia Djatikusumah yang dengan caranya sendiri berupaya menerobos sekat-sekat diskriminasi dan sikap represif pemerintah melalui jalur budaya, tepatnya melalui kesenian, melakukan usaha-usaha penghidupan kembali ajaran dan budaya Karuhun Sunda. Di Lingkung Seni yang dirintisnya itu pula terjadi transformasi dan pewarisan nilai-nilai ajaran Sunda. Kelebihan ibu Emalia sebagai koreografer benar-benar mampu dimanfaatkan oleh beliau untuk menjadikan seni (tari) sebagai ladang penanaman kecintaan penghayat atas ajaran leluhur mereka. Dalam konteks sosial, hal ini juga berfungsi sebagai sarana “komunikasi publik” bahwa ajaran dan eksistensi mereka layak untuk diperhatikan dan disikapi secara wajar dan tidak perlu dicurigai oleh masyarakat sekitar. Dan berkat kreatifitasnya itu ia kerap diundang dalam beberapa forum internasional guna menyuarakan hak-hak sipil dan budaya komunitas adat Karuhun.
Dalam aktivitas berkeseniannya, ibu Emalia banyak melahirkan karya yang notabene mengandung filosofi mendalam mengenai konsep ajaran Sunda Karuhun mengenai konsep relasi gender di antara mereka yang kemudian melahirkan Tari Buyung, misalnya. Tarian ini menggambarkan kesetimbangan ajaran Sunda Karuhun dalam relasi maskulinitas dan feminitas dalam diri manusia, serta kaitannya dengan tata laku kehidupan sehari-hari. Tarian ini melukiskan dan dilhami dari ciri khas Desa Cigugur. Yakni kebiasaan mengambil air dengan buyung (sejenis alat yang terbuat dari logam maupun tanah liat yang digunakan perempuan desa mengambil air di sungai, danau atau kolam). Kebiasaan ini sudah lama berakar kuat dan menyatu dengan perilaku masyarakatnya yang suka menolong, hidup bergotong-royong tanpa memandang latar belakang status sosial maupun kepercayaan mereka. Ini dikemas dengan apik oleh Ibu Emalia dalam Tari Buyung ini.
Gerakan-gerakannya menggambarkan para gadis menjunjung kendi di atas kepala sehabis mandi bersama, bercengkerama dengan sebayanya, serta mengambil air di pancuran. Lewat gerak-gerik ini, Ibu Emalia berkehendak mengingatkan para penghayat dan umat manusia pada umumnya apa makna yang tersirat melalui air, buyung dan manusia. Ajaran kesetimbangan Karuhun Sunda tentang Tuhan, manusia dan alam terlukis begitu estetisnya dalam beberapa formasi, Jala Sutra, Nyakra Bumi, Bale Bandung, Medang Kamulan, dan Nugu Telu.
Selain Tari Buyung, Upacara Seren Taun, yang dirayakan tiap tahun, juga memperlihatkan nilai kesetimbangan tersebut. Juga penghormatan terhadap Sunan Ambu atau Pwah Aci Sahyang Asri (pada daerah agararis lainnya dikenal dengan sebutan Dewi Sri) sang penyedia kehidupan. Kemudian dianalogikan pada sosok perempuan yang juga menyediakan rahimnya bagi kelahiran putra-putri penerus bangsa. Pada upacara inilah kisah-kisah klasik pantun Sunda dituturkan, dan di antaranya kisah perjalanan Pwah Aci dilantunkan.
Sikap yang diperlihatkan ibu Emalia dan perempuan adat Sunda Karuhun lainnya merupakan refleksi dari konstruk yang berkembang bahwa konsepsi perempuan sunda Karuhun berpijak pada kesetimbangan antara maskulinitas dan feminitas, jadi tidak ada hambatan pada tingkat ajaran spiritual yang mengekang aktivitas dan ruang gerak perempuan, melainkan proses saling melengkapi yang kemudian melahirkan harmonisasi yang utuh.
Figur feminin yang dalam tradisi mereka disebut “Sunan Ambu” (the mother of earth) diyakini bertugas untuk membangun fungsi harmonisasi kondisi yang saling berhadapan. Pada energi feminin akan melahirkan “eros” yang bersifat :toleransi, keindahan, pengertian, persaudaraan dan kesinambungan. Untuk mengimbangi energi maskulin yang menghasilkan “thanatos”, yang bersifat: semangat kompetisi, Ambisi, Dominasi dan kekuatan. Sinergitas dari kedua energi itulah yang seharusnya dimiliki secara utuh yang kemudian melahirkan keseimbangan pada diri manusia, baik itu laki-laki maupun perempuan. Maka tidak ada pemilahan peran sosial dan struktural yang diskriminatif dalam komunitas mereka, yang ada adalah pembagian peran yang proporsional yang saling melengkapi yang pada akhirnya mewujudkan harmoni alami.
Istri Pangeran Djatikusumah ini mampu memposisikan perempuan sebagai garda depan pewaris tradisi leluhur Karuhun Sunda. Peran perempuan Karuhun Sunda tereksperimentasi dengan baik, justru ketika hak-hak politik dan sipil komunitas mereka ‘dikebiri’ oleh negara. Ibu Emalia lewat kesenian telah mampu membangkitkan kepercayaan diri komunitasnya dalam upaya survival living di tengah gerusan rezimentasi kekuasaan yang anti adat dan tradisi komunitasnya.
Ibu Emalia, dan para perempuan Cigugur lainnya, seakan tahu betul, bahasa seni adalah bahasa universal. Ia mampu melewati batas-batas geografis, demografis dan psikografis manusia, negara dan dunia itu sendiri. Karenanya, menjadikan kesenian sebagai ‘senjata perlawanan’ atas diskriminasi hak dan eksistensi sosial mereka merupakan sumbangsih tak ternilaikan dari perempuan Sunda Karuhun bagi kelangsungan Komunitas Adat Karuhun Sunda.
Ketika negara hanya mengakui lima agama, komunitas adat ini pun tergeser ke pinggir. Karena mereka tidak ingin mengakui kebijakan yang sangat diskriminatif itu. Seperti tampak dalam UU Perkawinan beserta instrumen hukum pelaksanaannya. Sekali lagi, Ibu Emalia dan perempuan Penghayat lainnya ikut lantang meneriakkan protes terhadap kebijakan tersebut. Posisi perempuan sangat dirugikan. Status perkawinan mereka tidak diakui keabsahannya oleh negara dan praktik penghukuman tersebut tidak berhenti pada kedua pasangan itu saja, melainkan berimbas pada kelangsungan hidup anak-anak mereka nantinya. Anak-anak mereka tidak diakui sebagai anak sah dalam akta kelahiran, kesulitan dalam kelanjutan pendidikan dan jenjang karir. Kalaupun ada maka redaksinya amat tidak manusiawi dan merendahkan posisi perempuan. Mereka tidak diakui sebagai ibu dari anak-anak mereka, dan bukan istri dari suami mereka. Aktanya jadinya adalah akta pengakuan. Lebih jauh protes sosial mereka ini disuarakan lewat berbagai forum HAM, nasional maupun internasional. Ibu Emalia tidak pernah lelah dalam memperjuangkannya. Justru peran itu dilihatnya sebagai tugas mulia yang sanggup mensejajarkan dirinya dengan para lelaki komunitas Sunda Karuhun lainnya.
Ketika masa pemerintahan berganti, dan mulai terbukanya alam demokrasi yang ditawarkan pasca orba, turut membawa perubahan yang signifikan pada masyarakat Cigugur, berawal dari interaksinya yang intensif dengan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang ketika itu masih menjabat Ketua Umum PBNU, tradisi spiritual Sunda Karuhun Urang Cigugur (mendapat nama Agama Djawi Sunda pada masa orde Baru) yang sempat dilarang, mulai muncul kembali. Peran publikasi isu hak-hak sipil dan budaya tersebut (baca:diskriminasi) dengan sendirinya berpindah pada sang pewaris zaman, putra-putri Kuningan, yang tergambar dengan sangat jelas pada sosok Dewi Kanti (29 tahun), putri bungsunya sendiri.
Dengan tidak bermaksud menyepelekan peran yang lain, Dewi Kanti adalah sosok yang kemudian lekat di mata teman-teman aktivis HAM karena intensitas dan integritasnya pada perjuangan penolakan diskriminasi pada masyarakat Cigugur. Berawal dari intensitasnya mengawal sang ayah, Pangeran Djatikusumah berinteraksi dengan tokoh-tokoh pejuang demokrasi, HAM, civil society di tingkat nasional, seperti Gus Dur, Bondan Gunawan dan Chandra Setiawan (MATAKIN), membawa Dewi untuk kemudian aktif di ICRP dan MADIA, dua wadah yang kian mengasah kepeduliannya pada segala bentuk tindakan diskriminatif yang dialami oleh masyarakat adatnya.
Perkenalannya dengan DESANTARA dan lembaga lain yang ditindaklanjuti dengan membentuk kelompok “Masyarakat Peduli Hak Sipildan Budaya”, diakui atau tidak, telah membawa Dewi Kanti semakin kencang memperjuangkan perbaikan di tingkat kebijakan dan melakukan kampanye publik atas perlakuan tidak menyenangkan selama ini.
Tulisan ini mencoba mengakhiri dengan sejumlah agenda yang menjadi harapan bagi terwujudnya kehidupan yang menjunjung tinggi dan terpenuhinya dasar-dasar Ham di Indonesia, khususnya bisa memberikan keleluasaan bagi komunitas adat untuk menikmati hak-hak kultural mereka. Dan mudah-mudahan mendapat perhatian khusus dari pemerhati dan aktivis perempuan untuk memberikan sumbangsihnya pada perjuangan ini, karena sampai hari ini, pada level gerakan perempuan sendiri, belum ada satupun organisasi perempuan yang membeikan perhatian dan melakukan advokasi terhadap kasus tersebut. Semoga. Desantara / Anisa Rahmawati Djaelanie