Nama Joko Samudro alias Sunan Giri bukanlah nama yang asing bagi masyarakat Banyuwangi. Hal ini terutama karena adanya hubungan yang cukup istimewa antara Sunan Giri dengan rakyat Banyuwangi. Sunan Giri konon masih merupakan keturunan (trah) Kraton Blambangan, cucu Prabu Menak Sembuyu dari Putri Sekardalu yang diperistri oleh Maulana Ishak alias Syekh Wali Lanang
Maulana Ishak sendiri adalah tokoh yang tidak bisa dipisahkan dengan sejarah penyebaran Islam di Banyuwangi. Diceritakan dalam berbagai media, bahwa Maulana Ishak berhasil menyembuhkan Putri Sekardalu dari sakit, dan juga mampu memberantas pagebluk (wabah) yang melanda Kerajaan Blambangan. Karena itulah ia mendapat hadiah untuk mengawini sekaligus meng-Islam-kan sang puteri. Ditambah lagi Maulana Ishak secara resmi mendapat ijin dari Prabu Menak Sembuyu untuk menyebarkan Islam kepada masyarakat Blambangan dengan catatan: penyebaran Islam tidak boleh dilakukan oleh Maulana Ishak terhadap para kerabat keraton.
Permintaan ini dipatuhi oleh Maulana Ishak. Namun, rupanya Putri Sekardalu sendiri yang justru menyebarkan Islam kepada saudara dan kerabatnya di keraton Blambangan. Akibatnya, Maulana Ishak dianggap telah ingkar janji dan diusir dari Blambangan, meninggalkan Putri Sekardalu dan seorang bayi yang disuruhnya untuk dilarung di laut. Bayi itu lantas ditemukan oleh Nyi Ageng Pinatih, seorang saudagar wanita dari Tuban, dibesarkannya, dan disuruhnya menimba ilmu kepada Sunan Ampel, yang kemudian menjadi salah seorang dari Wali Songo dengan nama Sunan Giri.Sepeninggal Maulana Ishak, Islamisasi di Blambangan diteruskan penyebarannya oleh Putri Sekardalu dan para pengikutnya.
Islam di Banyuwangi ternyata berkembang dengan sangat pesat hingga menjadi agama mayoritas penduduknya, kendati sebagian besar masih mencirikan sebagai kelompok Islam abangan. Pola pesantrenisasi yang menjadi ciri khas penyebaran Islam di Jawa pun menjadi model proses Islamisasi di Banyuwangi. Metode akulturasi pun gencar berlangsung di tengah masyarakat, apalagi masyarakat Using terkenal kelihaiannya dalam meracik berbagai produk kebudayaan dari luar untuk kemudian diberi label sebagai kebudayaan Using. Contoh paling mudah dijumpai sekarang ini adalah kesenian Barong Kuntulan dan makanan Rujak Soto.
Kendati demikian, pengaruh Islam dan pesantrennya di Banyuwangi tak jarang menggelisahkan beberapa budayawan di sana. Misalnya apa yang dikemukakan oleh Hasnan Singodimayan dalam sebuah Sarasehan Budaya di Universitas Negeri Jember, “Jika sebuah daerah diekspansi oleh pesantren, maka punahlah tradisi budaya daerah tersebut”. Fenomena ini menurut Hasnan, jelas terlihat di wilayah kesenian. Contohnya, kesenian Barong, Damarwulan, Kebo-Keboan dan Angklung Carung. “Masyarakat pesantren mau menerima kebudayaan Banyuwangi asal dapat disinkretiskan dengan budaya Islam, seperti Hadrah Kuntulan, Kundaran dan sebagainya. Mereka mau menerima asalkan tidak mengandung unsur gong. Padahal, tanpa gong, sebuah tarian akan berkurang keerotisannya. Hal ini sangat merugikan karena berarti memandulkan kreativitas, dan menjadikan sebuah karya kesenian berkurang nilainya”, papar Hasnan seperti dikutip oleh Majalah IDEAS.
Apa yang dikemukakan Hasnan sejalan dengan paparan Drs. Sudardi, dosen Sejarah Universitas Negeri Jember. Menurutnya, keberadaan pesantren (Islam) telah berperan dalam menyusutkan tradisi budaya Banyuwangi. “Meski hal tersebut adalah proses yang wajar dan biasa dalam setiap kebudayaan,” ujarnya.
Nasib serupa juga dialami oleh kesenian Gandrung yang pada 2002 dikukuhkan sebagai Maskot Kabupaten Banyuwangi oleh Bupati Samsul Hadi, menggantikan maskot sebelumnya yang berupa ular berkepala Gatotkaca. Oleh kalangan pesantren, Gandrung dicitrakan sebagai kesenian yang dihiasi dengan minuman beralkohol, seks dan pemborosan. Akibatnya, Gandrung mengalami penurunan popularitas yang cukup tajam. Jumlah pementasannya pun berkurang secara drastis.
Mengenai kesenian Gandrung, Sudardi pun berpendapat,”…Gandrung yang tayub-nya dijawil gelem, dengan pakaian terbuka dan tarian erotis, otomatis bertentangan dengan ajaran Islam. Wajar jika kemudian Gandrung ditinggalkan massanya”.“Boleh sampeyan buktikan, Mas, dalam satu tahunnya, pementasan Gandrung di Banyuwangi sekarang ini tidak lebih dari sepuluh kali saja”, ujar Supriyadi, pemuda Using asli yang saat ini bekerja di DPU Pemkab Banyuwangi. “Masyarakat di sini sudah enggan untuk nanggap Gandrung karena takut dimarahi oleh kyainya. Lagipula masyarakat merasa lebih enak untuk nanggap video karena lebih murah dan praktis, tidak serepot kalau nanggap Gandrung. Saya sendiri nggak ngerti kenapa bisa terjadi semacam itu.”
Ungkapan Supriyadi ini jelas menggambarkan kebingungan masyarakat Using melihat keseniannya sendiri sedang didudukkan di kursi pesakitan oleh institusi agama. Kebingungan bersikap, antara ikut mendakwa dan berusaha membela. Atau, haruskah pertanyaan masyarakat tersebut disampaikan kepada Maulana Ishak, mengingat para wali pendakwah Islam di Tanah Jawa dahulu selalu mempunyai kearifan dalam menyikapi kebudayaan masyarakat terdahulu? Desantara