Sinar mentari pagi tak mampu mengusir hawa dingin di perbukitan Tengger. Saputan kabut yang sesekali berarak menambah dingin makin menusuk persendian. Meski demikian, di berbagai jalan menuju perladangan, tampak masyarakat Tengger berlalulalang, seakan tak hirau dinginnya pagi. Diantara mereka tampak pula yang sedang membersihkan kuda agar tampak menarik sebelum disewakan kepada para wisatawan yang ramai di sekitar kawah Gunung Bromo.
Dalam buaian alam nan indah masyarakat Tengger lama dikenal sebagai masyarakat yang selalu hidup dalam ketenangan dan kedamaian. Di sana, waktu seolah tak terasa, berlalu dengan cepatnya. Keindahan ini pula yang memikat peneliti Amerika, Robert W Hefner yang beberapa kali melakukan penelitian di Tengger. Tak bisa menutupi keharuannya, ia menulis, “Orang Jawa di pedalaman itu memiliki kepekaan sosial dan moral yang luar biasa; pelajaran yang saya peroleh dari sikap tanggap dalam hubungan antar pribadi telah menantang kepribadian Amerika saya,” tulisnya dalam buku, Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik (1990). Situasi tenang dan damai di Tengger, disokong oleh tatanan budaya dengan berbagai kepercayaannya. Salah satunya adalah kepercayaan tentang “walat”, yang kurang lebih adalah hukum karma. Dalam ilustrasi Sujai, koordinator dukun Tengger, walat antara lain berarti, “sopo njupuk jarum kudu mbalekno kapak” (barangsiapa mengambil sebatang jarum—dengan tidak sah—maka dia harus mengembalikannya dengan kapak). Sebuah konsep tentang karma dalam kepercayaan Hindu ataupun Budha. Memang, angka kriminalitas di Tengger terbilang sangat sedikit, bahkan bisa dikatakan nol. “Selama dua periode saya menjabat sebagai petinggi (kepala desa) di sini, hanya sekali terjadi kasus perampokan. Itupun dilakukan sekelompok orang dari Surabaya,” ujar Sunomo, Kepala Desa Ngadas, Kecamatan Sukapura, Probolinggo.
Pergulatan
Tapi, benarkah kedamaian dan ketenangan itu sejati? Dwi Cahyono, sejarawan dari Universitas Negeri Malang yang banyak melakukan penelitian di Tengger menyangsikan hal tersebut. Menurutnya, di Tengger sejak dulu, bahkan sampai sekarang, terjadi kontestasi antar agama, Budhis dan Hindu, yang berebut klaim atas masyarakat Tengger. Situasi ini memang tidak tampak secara formal, melainkan berlangsung di bawah permukaan.
Satu peristiwa yang dirujuk oleh Dwi Cahyono adalah kasus “Hinduisasi Tengger”, yang terjadi pada 1968 ketika Departemen Kehakiman RI menetapkan status “kepercayaan kepada Tuhan Yang Mahaesa” bagi ritual dan adat masyarakat Tengger. Sebelumnya, masyarakat Tengger, yang sudah sering disebut Budho-Tengger, tidak terlalu hirau dengan berbagai penamaan itu. Tetapi, hal ini menjadi masalah ketika pemerintah Indonesia pasca peristiwa 1965 mengharuskan setiap warganya untuk memeluk salah satu agama dari lima agama yang ditetapkan pemerintah.
Dalam konteks kebijakan pemerintah tersebut kepercayaan dan adat masyarakat Tengger tidak termasuk pada salah satu agama yang lima itu. Maka, masyarakat Tengger mendapatkan status baru sebagai “penganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Mahaesa”. Oleh sebagian masyarakat, status tersebut ditolak. Alasan penolakan tersebut, sebagaimana dituturkan Mujono, Dukun Tengger asal Ngadas yang sekarang menjadi ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kabupaten Probolinggo, “Masyarakat Tengger menolak status 'kepercayaan' karena berarti kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Tengger selama ini bukan merupakan bagian dari agama yang diakui oleh pemerintah.”
Berbagai penolakan muncul terhadap status “kepercayaan” ini. Banyak forum musyawarah digelar, berbagai upaya ditempuh. Hasil akhirnya, tahun 1973 kepercayaan masyarakat Tengger dinyatakan sebagai bagian (varian) dari agama Hindu. Alasannya, dalam peribadatan yang dipakai, banyak ritual yang bersumber dari kitab Weda. Begitupun dengan dewa-dewa yang mereka puja, sebagian merupakan dewa-dewa dari agama Hindu selain beberapa dewa lokal dari nenek moyang.
Hindu versus Budha
Berbagai kebijakan tersebut lambat laun mendorong hilangnya istilah “Budho-Tengger” dan digantikan dengan Hindu Tengger.Hal ini membuat kaum Budha bereaksi keras. Sebutan Budho-Tengger bagi masyarakat Tengger waktu itu sudah menunjukkan bahwa masyarakat Tengger merupakan penganut Budhisme. Dalam kajian Dwi Cahyono, Hinduisasi Tengger telah merisaukan banyak agama, diantaranya Budha. Peninggalan sejarah berupa candi di Tumpang, Kabupaten Malang seharusnya bisa menjadi petunjuk. Ada dua candi di sana, candi Kidal yang merupakan candi Hindu dan candi Jago yang merupakan candi Budha. Candi Jago berada di lereng sebelah atas dengan akses jalan menuju wilayah Tengger, sementara Candi Kidal terletak di lereng bagian bawah.
“Ini jelas menunjukkan bahwa sejak lama ada komunitas Budhis di Tengger. Bahkan kalau benar bahwa prasasti Parameswara Pura yang ditemukan di Desa Sapi Kerep baru-baru ini berasal dari jaman Sri Kertanegara, putra dari Sri Wisnuwardhana, ini semakin jelas menunjukkan keberadaan Budha di Tengger. Kedua raja tersebut kan merupakan penganut Budha,” tambah Dwi Cahyono
Lalu, bagaimana kisah peribadatan Hindu hingga menjadi bagian dari ritual adat Tengger? Menurut Dwi, ini tak lepas dari tipikal masyarakat yang jauh dari keraton sebagai pusat penyebaran agama, yang cenderung sinkretik. Sinkretisasi ini muncul karena informasi tentang ajaran agama induk, entah itu Hindu, Budha atau Islam, bersifat sepotong-sepotong dan lebih sering merupakan terjemahan sang pembawa ajaran. Dalam situasi demikian sangat mungkin telah terjadi reduksi atau mis-interpretasi ajaran.
“Dalam bingkai inilah kita melihat kepercayaan masyarakat Tengger. Artinya, bisa saja dulunya mereka mengaku sebagai kaum Budhis, namun karena lokasi Tengger yang terisolir dari keraton, ditambah dengan masuknya beberapa informasi mengenai pemujaan terhadap beberapa dewa selain dewa lokal yang selama itu mereka puja, terjadi proses kreativitas teologi yang membuat mereka kemudian melakukan sinkretisasi,” tegas Dwi.
Maka memandang Tengger memang tidak bisa secara monolitik. Karena pada kenyataannya memang kompleks. Misalnya ada komunitas Budha “Jawasunyata” yang memuja Semar (tokoh punakawan dalam cerita wayang Mahabarata), komunitas Islam dan bahkan Kristen, meski semua agama tersebut memiliki ciri khas ke-Tengger-an, karena dalam peribadatan mereka selalu melekat adat Tengger.
Islam
Selain komunitas Budhis dan Hindu, komunitas Islam juga telah ada di Tengger sejak dahulu. Bahkan penduduk Desa Wonokerto, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, tercatat seluruhnya telah memeluk Islam. Dalam Serat Centini, dikisahkan bahwa pengembaraan Jayengsari dan Rancangkapti, dua orang anak Sunan Prapen yang melarikan diri dari Giri ketika diserbu oleh balatentara Sultan Agung pada 1635 dalam peristiwa Geger Giri, sampai juga di dataran tinggi Tengger. Selain mempelajari sinkretisme Budha-Hindu dari Resi Satmaka, mereka juga memperoleh pelajaran tentang 20 sifat Tuhan dari Syekh Wahdat di sekitar Lumajang. Peristiwa yang dicatat dalam Serat Centini ini, menurut antropolog Dr. Ayu Sutarto adalah dialog budaya yang luar biasa antara rombongan Jayengsari-Rancangkapti, masyarakat Budo-Tengger dan komunitas Islam yang ada di Tengger.
Pengaruh Islam terhadap kepercayaan masyarakat Tengger, dapat dilacak dari Upacara Karo, salah satu upacara terpenting masyarakat Tengger selain Kasodo. Upacara Karo berpijak pada keberadaan dua tokoh Tengger yang bernama Seco dan Setuhu (salah satunya beragama Islam). Ketika keduanya bertempur dan sama-sama tewas, kepala keduanya terpisah, satunya berada di sebelah utara dan satunya lagi di selatan; ada istilah nggeblak lor nggeblak kidul. “Hal ini kemudian menjadi semacam kiblat bahwa kalau ada orang Islam meninggal, maka jasadnya dikubur dengan kepalanya berada di utara, sedangkan kalau orang Budo Tengger, kepalanya diletakkan di sebelah selatan,” ungkap Ayu Sutarto yang menulis disertasi tentang Tengger.
Dalam kaitannya dengan Hinduisasi di Tengger, Misjono, guru SDN Jetak, Sukapura Kabupaten Probolinggo, mengisahkan zaman kecilnya dulu ketika masih sekolah dan ditanya tentang agama yang dia anut. “Saya yang waktu itu masih SD juga nggak ngerti, Tengger termasuk dalam agama apa. Hanya saja, oleh orang tua, saya disuruh menjawab Budha. Ta
pi setelah tahun 1973, setelah tahu kalau Tengger merupakan bagian dari Hindu, agama saya ya Hindu,” ujarnya
Penuturan tersebut setidaknya menjelaskan adanya kebingungan masyarakat Tengger dalam mengidentifikasi “kepercayaannya” setelah dipaksa memeluk salah satu agama resmi oleh pemerintah. Kebingungan tersebut membuat mereka memberikan jawaban sesuai dengan identitas yang mereka ketahui. Tetapi, kepercayaan dan ketaatan mereka yang luar biasa terhadap para pemimpin mereka telah menjadikan jawaban itu harus berubah menjadi Hindu, setelah terjadi Hinduisasi.
Pada tahun 1980-an masyarakat Hindu membangun Pura Luhur Poten Bromo, tepat di kaki kawah Gunung Bromo, sebagai tempat berlangsungnya upacara Kasodo yang disucikan. Dulunya Poten Luhur Bromo hanyalah sebuah situs upacara biasa. Tidak ada bangunan megah di atasnya selain beberapa penanda bahwa tempat tersebut merupakan lokasi upacara suci. Tetapi, dengan alasan agar kekhusyu'an upacara tidak terganggu oleh wisatawan yang mulai ramai, dibuatlah bangunan yang sedianya difungsikan sebagai pembatas antara pelaku upacara dan penontonnya. Dan pilihan bentuk bangunan di situs Poten Luhur tersebut adalah Pura, yang dapat diartikan sebagai simbolisasi kemenangan Hindu dalam kontestasi agama di Tengger.
Tetapi pertarungan belum usai. Di luar perebutan klaim agama di atas, masyarakat Tengger kini menghadapi problem lanjutan, berupa intervensi adat Bali ke dalam struktur adat Tengger. Imbas dari bergabungnya mereka ke dalam agama Hindu, telah menjadikan beberapa tokoh Hindu Dharma berkeinginan untuk “memutihkan” keberagamaan masyarakat Tengger. Kenyataan ini diakui sendiri oleh Mujono. Dukun Tengger yang sekaligus ketua PHDI Kabupaten Probolinggo ini mengakui adanya tekanan langsung untuk mengubah Hindu Tengger menjadi Hindu Bali. “Memang benar, ada beberapa tokoh dari Bali yang sering membantu masyarakat sini dalam pembangunan sanggar dan pura serta membantu pembiayaan upacara-upacara yang mencoba membujuk saya untuk menyertakan adat kebiasaan Bali dalam upacara adat di Tengger. Tentu saja saya enggak mau, lha wong adat Bali sama sekali lain dengan adat Tengger,” tegasnya. Panorama Tengger yang sejuk nan indah, kini tetap menjadi medan pertarungan budaya yang abadi. Tragedi? Desantara