Perih dan pasrah. Itulah yang dirasakan komunitas Towani-Tolotan. Betapa tidak. Untuk ‘sekadar’ menganut keyakinan saja mereka dilarang. Eksistensi keyakinan mereka –bak perusahaan bisnis—dipaksa untuk merger, bergabung dengan agama lain: Hindu. Mereka dituduh berbuat musyrik, tidak beragama (ateis) dan sebagainya. Bahkan pada tahun 60-an komunitas ini pernah dituduh sebagai bagian dari PKI. Saat itu banyak diantara mereka yang ditangkap dan diinterogasi dalam satu operasi Kodam yang bernama Operasi Mappakainge. Mereka telah mencoba meluruskan masalah ini kepada pihak penguasa di tingkat daerah sampai pusat, bahkan juga ke DPR. Tetapi yang keluar adalah Undang-undang Nomor 6/1966, yang menyatakan komunitas Towani-Tolotan bermadhzhab Hinduisme. Jadilah mereka sebagai ‘penganut’ Hindu.
Bagaimana perasaan dan pandangan warga komunitas Towani-Tolotan ini dalam menghadapi berbagai tekanan seperti itu. Berikut wawancara kami dengan salah satu sesepuh (yang sekaligus juru bicara komunitas Towani-Tolotan) La Unge Setti. Dengan ramah dan sabar, lelaki yang sudah beranjak senja ini menerima kami di rumahnya, di kawasan Kelurahan Amparita, Kecamatan Tellu Lompoe, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan. Berikut petikan wawancara tersebut: Bagaimana pandangan Anda tentang keberadaan masyarakat lokal seperti Towani-Tolotan saat ini?
Kami merasa masyarakat lokal seperti kami ini belum mendapatkan penghargaan yang wajar. Padahal banyak ajaran yang bisa kita timba dari masyarakat seperti ini.
Misalnya apa itu?
Tentang kejujuran, kebenaran dan juga tindakan konsekwen, tidak membedakan satu dengan yang lain, harus adil dan bijaksana. Misalnya kami di sini sangat menghargai keberadaan yang lain. Di sekitar sini banyak berdiam orang Islam dan kami tidak pernah ada masalah dengan mereka. Kami saling menghargai dan menghormati. Bahkan kalau kami mengadakan acara, tetangga kami yang muslim dengan ikhlas datang memberikan bantuan. Demikian pula sebaliknya. Kalaupun ada masalah, itu dari luar, dari mereka yang tidak memahami Tolotan. Leluhur kami disini mengajarkan agar kita senantiasa berbuat baik pada orang lain. Kata leluhur kami: Iako nabettaki taue mewaki ada, nabetaki taue asenna lokka decengge, nakalaki. (Kalau orang mendahului menyapa kita, maka kita didahului kepada kebaikan)
Apakah hal itu telah menjadi prinsip masyarakat Towani?
Iya. Kalau pun ada orang-orang tertentu dari komunitas lokal yang tidak melakukan ajaran kemanusiaan seperti yang saya kemukakan tadi, itu sangat sedikit dan itu sifatnya individual. Misalnya mungkin karakter orangnya memang sudah seperti itu.
Bagaimana pandangan orang di luar dalam melihat komunitas Towani-Tolotan ini? Apa betul ada pandangan yang miring (stigma) yang menganggap masyarakat ini telah berlaku khurafat, musyrik dan semacamnya?
Itu berasal dari orang luar yang tidak memahami Tolotan. Umat Islam di sini tidak pernah menganggap kami seperti itu. Dulu di tahun 60-an, kita mendapat stigma yang luar biasa dari luar, bahwa kami ini komunitas yang tidak benar, tidak beragama, bahkan dituduh PKI. Saat itu kami diperangi dalam satu operasi Kodam yang dinamakan mappakainge. Banyak orang-orang tua kami yang ditangkap lalu dibawa ke Kodam. Di sana mereka diancam, dipaksa mengaku sebagai PKI.
Dari kalangan Islam, apa ada yang berpandangan seperti itu?
Ya, ada juga. Tetapi tidak semuanya. Bahkan mungkin lebih banyak yang tidak berpandangan seperti itu. Beberapa hari yang lalu kami kedatangan tamu. Ia kami jamu dengan memotong hewan. Tetapi tamu kami itu (seorang tokoh agama) kelihatan ragu-ragu untuk makan sembelihan kami. Lalu saya katakan, selama ini kalau kami kedatangan tamu selalu kami sembelihkan hewan yang sehat, tidak sakit-sakitan. Tetapi kalau karena masalah kami tidak membaca bismillah Bapak tidak mau makan sembelihan kami, ya….tidak apa-apa.
Menurut Anda kenapa sampai muncul stigma dari luar yang menganggap komunitas lokal seperti ini musyrik atau tidak beragama?
Saya kira karena mereka tidak memahami sejarah dan tradisi. Sejak dulu masyarakat di Sulawesi Selatan ini telah beragama. Bahkan jauh sebelum datangnya Islam, Kristen, Hindu ataupun Budha. Coba kita perhatikan Kitab Lagaligo, atau misalnya disini dulu ada kitab yang bernama Appaunganna Tolotangnge. Di Kajang juga dikenal Pasanga Ri Kajang. Semua itu memberikan bukti bahwa kita semua ini telah mengenal agama sebelum datangnya agama-agama yang kita kenal sekarang.
Selain karena tidak paham sejarah dan tradisi, apakah praktik keagamaan warga Towani Tolotan ini bukan menjadi alasan orang luar menganggap warga ini musyrik?
Ya…. tentu saja. Sebab memang ada hal-hal yang berbeda. Katakanlah misalnya sembahyang kita berbeda dengan cara-cara agama resmi. Di sini resminya kami sembahyang dua kali sehari, pagi dan sore. Menghadapnya searah rumah. Menurut kami sembahyang itu tidak harus diikat dengan tempat dan waktu. Bisa saja saya dalam keadaan begini (dalam kondisi wawancara dengan Redaksi-red) melaksanakan sembahyan. Kapan pun kami bisa sembahyang. Bagi kami yang paling penting adalah yang disembah, bukan cara meyembahnya. Cara-cara inilah mungkin yang mereka anggap musyrik dan semacamnya, karena tidak sama dengan cara sembahyang mereka, pemeluk agama-agama resmi.
Tetapi sekarang hampir semua komunitas lokal telah memeluk agama resmi, bagaimana menurut bapak?
Saya kira hal itu untuk mempermudah melaksanakan ajarannya saja, supaya kita tidak dihalang-halangi dalam beribadah. Sebab di Indonesia ini hanya lima agama saja yang diakui. Misalnya saja kenapa kami warga Tolotan ini dianggap Hindu? Dulu pada tahun 60-an komunitas ini hampir dibubarkan. Saat itu dikenal istilah Panca Tunggal. Kita diwajibkan memilih salah satu diantara lima agama. Lalu kami mulai mengurus ke pusat. Yang mengurus saat itu adalah sepupu saya, seorang pegawai negeri. Ia tinggal di Jakarta selama tiga tahun antara makan dan tidak, sampai ia kurus sekali waktu itu. Karena mengurus masalah ini, ia sampai dipecat dari jabatannya. Tetapi sepupu saya ini memang lebih memilih kepercayaan yang diyakininya daripada kepegawaiannya. Persoalan ini kemudian dibawa ke DPR. Dari DPR dibawa ke Depag. Akhirnya ada satu kesimpulan bahwa Tolotan ini adalah bermazhab Hinduisme, mirip dengan Hindu. Sehingga keluarlah surat keputusan Dirjen Depag Nomor 6/1966, yang mengatakan bahwa pada prinsipnya masyarakat Tolotan adalah bermazhab Hinduisme. Itulah yang terjadi. Sampai sekarang, secara administrasi kami bergabung ke Hindu, tetapi kita tetap melaksanakan apa yang sudah menjadi keyakinan kami disini, yang tentunya berbeda dengan Hindu.
Bagaimana sikap orang Towani-Tolotan sendiri menghadapi pandangan-pandangan miring atau serangan-serangan dari luar?
Tidak ada masalah. Biasa saja. Masyarakat Tolotan punya prinsip kesabaran. Artinya kalau ada orang melakukan sesuatu kita sabar saja. Orang-orang itu pasti akhirnya jenuh juga. Namun kita bersabar dan mengalah bukan untuk meninggalkan keyakinan. Ini hanya bentuk toleransi saja. Di sini pernah ada orang yang kawin dan dikubur secara Islam. Demi kebersamaan, kami setuju sekalipun kami sesungguhnya tidak rela. Saat itu kami setuju, secara simbol dilaksanakan menurut Islam, namun intinya tetap menurut Tolotan.
Bagaimana cara menghindarkan benturan antara komunitas lokal dengan masyarakat luar yang punya keyakinan lain?
Saya kira dengan saling menghargai. Biarkanlah kami melaksanakan apa yang kami yakini. Demikian pula kami menghargai apa yang dilakukan oleh saudara kami yang lain. Kami sendiri masyarakat Towani-Tolotan sudah tidak ingin lagi berdebat. Kami menghindari dialog. Sebab dialog atau debat pada akhirnya meneguhkan bahwa dirinya sendirilah yang paling benar. Desantara