Cukup banyak hasil penelitian yang menunjukkan betapa berbagai komunitas lokal sebenarnya telah memiliki sistem pemerintahan sendiri dalam mengatur tata kehidupan sosial mereka. Salah satunya ditunjukkan oleh Prof Rick Erk seorang peneliti Belanda. Dia mengatakan bahwa sebenarnya masyarakat di Sulawesi Selatan telah mengenal mekanisme kontrak sosial dalam pemerintahan, jauh sebelum Montesque menemukan teori tentang kontrak sosial. “Tentu saja berbeda dengan yang dipahami di Barat tapi tepat untuk konteks Sul-sel,” kata Abu Hamid mengomentari temuan Rick Erk.
Menurut sejumlah temuan, kira-kira pada abad 12-13, ketika konsep To Manurung dipakai dalam pemerintahan di Sul-sel, mekanisme perjanjian antara To Manurung (raja yang akan diangkat di suatu kampung) dan rakyat sudah sering berlangsung. Ini misalnya dapat dilihat pada perjanjian antara To Manurung ri Onto Bantaeng dengan rakyatnya.
Saat itu To Manurung mengatakan: “Eroja nuangka anjari Karaeng, tapi nakkepa anging kau leko kayu, nakke je’ne massolong ikau sampara mamanyu (saya mau diangkat menjadi raja pemimpin kalian tapi saya ibarat angin dan kalian adalah ibarat daun, saya air yang mengalir dan kalian adalah kayu yang hanyut ).
Rakyat kemudian membalas; “Kutarimai Pakpalanu tapi kualleko pammajiki tangkualleko pakkodii, Kualleko tambara tangkualleko racung. (saya terima permintaanmu tapi kau hanya kuangkat jadi raja untuk mendatangkan kebaikan dan bukan untuk keburukan, juga engkau kuangkat jadi raja untuk jadi obat dan bukannya racun).
Selain itu, menurut Prof Abu Hamid, di Bugis khususnya di Karampuang dikenal aturan pemerintahan yang berbunyi“rusa taro arung, tenrusa taro ade, rusa taro ade, tenrusa taro anang, rusa taro anang tenrusa taro teu tebbe” artinya batal ketetapan raja, tidak batal ketetapan adat, batal ketetapan adat, tidak batal ketetapan anang, batal ketepan anang tidak batal ketetapan rakyat.
Dalam tradisi Mandar, sejak abad 16 Masehi yaitu sebelum Belanda berkuasa ada satu ungkapan yang terkenal “wai ditisamba’na lebong mane soro naung marandang” (kira-kira artinya adalah Kekuasaan itu berasal dari rakyat dan pemerintah menyalurkan secara baik untuk kepentingan rakyat). Dalam sistem pemerintahannya, di Mandar dikenal pula satu ajaran “tipongngi ullena seidaeng anna seipung diolona elokna tomaeddi, nasaba tomaeddimotu’untuk mapannasa mapute malotonna banua”, artinya pupus segala kehendak kaum raja dan kaum adat manakala berhadapan dengan kehendak orang banyak, karena orang banyaklah yang menentukan hitam putihnya negeri.
Sampai saat ini warga di komunitas Padang Mandar sendiri sebenarnya masih memegang teguh kearifan-kearifan lokal ini, dan sedapat mungkin memasukkan dalam sitem kepemimpinan yang ada. Misalnya dapat dilihat pada syarat-syarat untuk menjabat sebagai pemangku adat. Yang pertama, seseorang harus punya garis keturunan, meski tetap berdasarkan kesepakatan para pemuka adat lainnya. Itu juga yang terjadi pada jabatan-jabatan adat lainnya seperti So’bo, Sando, Tomabubeng, dan seterusnya. Syarat yang kedua, berwibawa. Ketiga, lemah-lembut, cinta kepada rakyat, sayang kepada sesama (to malumu’pa kedona to andian masulu pulu-pulunna). Yang terakhir, sitinaja atau layak.
Tapi menurut salah satu sesepuh Komunitas Pappuangan, Suani Parolai, syarat itu saja tidak cukup. Yang akan menjadi pemimpin di komunitas adat Padang mesti memahami betul nilai-nilai kepemimpinan sebagaimana yang dipesankan oleh para leluhur Padang tentang apa yang harus dilakukan oleh sang pemimpin. “Setidaknya ada beberapa kalinda’da (puisi tradisional) yang mengisyaratkan tentang hal itu. Misalnya bagaimana seorang pemimpin tak henti-hentinya memikirkan rakyatnya, bijaksana, adil, jujur, cakap,” ujar Suani
Suani lalu mengutip satu kalinda’da (syair di tanah mandar):
Naia ada’ tamatindo di bungi tarrare
Di allo namandandang mata di amamatanna daun ayu
Diamalimbonganna rura diate puanna agama
Diajarianna banne tau. Diamadinginganna lita
Mua marrattaso’o parakara tutuo bali-bali
Sa’bio bali-bali palalo’o bali-bali.
(Pemangku adat tidak tidur di malam hari, tidak tenang di siang hari, memikirkan hijau tanaman, kedalaman sungai, kesempurnaan agama, banyaknya keturunan, dan kesuburan tanah. Kalau memutuskan suatu perkara, harus tertib, bijaksana, adil)
Karena itu, lanjut Suani, ketidakadilan seorang pemimpin akan terlihat oleh tanda-tanda alam dengan tidak suburnya tanaman. Suani lalu mengambil contoh. Tanda-tanda ketidakadilan pemimpin bisa dilihat ketika Sobbo, pemangku adat yang menangani pertanian, memulai masa datangnya musim tanam. Bila sudah tiga kali mencoba tanaman pada tiap lubang dan masih ada yang tidak subur dan tidak hidup, maka dapat dipastikan bahwa ada pemimpin atau pemangku adat yang tidak baik, zalim dan berbuat aniaya.
Jika terjadi hal yang demikian, maka Sobbo harus dikeluarkan dari jabatannya dan diganti berdasarkan kesepakatan seluruh pemangku adat. Kalau tidak diganti akan menghancurkan kehidupan masyarakat. Menurut Suani, ini sudah sesuai pesan leluhur Padang, Marondong duang bongi anna matea mau anau, appo’u da mupajari Pappuangan mua mato’dori kedo-kedona masuang pulu-pulunna salua’ iya mo tu’u manini na ma accur atuo-tuanna pa’banua. (besok lusa jika saya meninggal, walaupun anakku maupun cucuku, jangan dijadikan Papuangan kalau keras kepala, tutur bicaranya keras, tingkah lakunya tidak baik, sebab itu nanti yang akan menghancurkan kehidupan masyarakat. Tanah akan runtuh, tanaman akan rusak di tanah Padang.
Pemimpin juga harus mentaati aturan-aturan kepemimpinan. Dia tidak bisa berbuat seenaknya. Setidaknya ini tergambar dalam salah satu pesan leluhur Padang:
Pellambao di petabung tarra’ba madoro tittingtan dibassi
Apa’ mua bemme’do’ palaka bemme tipasenderdo’o tu’u
(Berjalanlah di pematang yang kuat, lurus,
sekalipun engkau jatuh dan gagal,
maka sesungguhnya itu keberhasilan yang tertunda)
Apabila pemimpin melakukan pelanggaran, maka diberi peringatan. Tapi jika tetap mengabaikan pelanggaran yang ia buat, tetap bertindak sewenang-wenang, tidak memperhatikan rakyat, mengabaikan tugas-tugasnya sebagai pemimpin dan pemuka adat, maka mereka akan kena kutukan tidak akan bisa menjadi pejabat adat lagi sampai tujuh turunan. Seperti dalam pesan para leluhur Padang berikut ini:
Andiammo nadilalanna nadi sambalinmo’o meita tama
Naipaccoriattomo tu’u bae
(Anda tidak akan masuk di dalamnya, anda akan di luar saja,
hanya dapat melihat ke dalam saja dan hanya akan menjadi orang terhina)
Nilai-nilai kepemimpinan inilah yang kini masih dipegang teguh oleh para pemuka adat Padang. Meskipun peran mereka tidak seperti dulu lagi ketika masih jaya-jayanya dua kerajaan besar di Mandar, Pitu Ulunna Salu dan Pitu Babbana Binanga.
Sebenarnya ada banyak hal yang bisa dipelajari oleh para pemimpin negara kita saat ini dari kearifan-kearifan lokal, seperti yang ada d
i Padang Mandar ini, tentang bagaimana sesungguhnya menjadi seorang pemimpin yang baik. Namun sayangnya yang terjadi justru sebaliknya, kearifan lokal itu kini justru semakin terpinggirkan.(jal/mif)