Penampilannya sederhana, bahkan terkesan lugu. Sikapnya nampak jauh lebih tua dari usinya yang masih tergolong muda. Seperti kebanyakan penduduk lainnya di kampung itu, lelaki ini juga adalah seorang petani yang ulet. Tiap hari bisanya ia berada di kebun atau di sawahnya. Namun siapa yang menyangka bila lelaki lugu yang tidak pernah mengecap pendidikan formal ini punya pengalaman yang luar biasa. Mungkin kitapun akan kaget bila mendengarkan lelaki ini dengan fasih bagai seorang filosof menceritakan berbagai sejarah dari tradisi masyarakat dan berbagai ajaran-ajaran agama lokal yang dikuasainya dengan baik.
Kanto demikianlah orang-orang memanggilnya. Usianya sendiri tidak di ketahuinya dengan pasti tapi dari ceritanya tetantang kapan ia kanak-kanak dapat diperkirakan usianya sudah melebihi 30 tahun. Anak dari pasangan Gading dan Siarah ini, kini telah beristri dengan dua orang anak. Istrinya yang bernama Bitti sehari-harinya adalah ibu rumah tangga. Terkadang ia ikut membentu suaminya di kebun atau di sawah. “Apalagi musim menanam padi seperti sekarang ini, saya ti dak bisa tinggal di rumah saja, saya mesti ikut dengan suami saya turun ke sawah” tutur Bitti dengan ramah sambil menyajikan minumannya pada saat itu kepada kami.
Di tempatnya di kampung yang bernama Loka desa Tamaona, kecamatan Kindang kabupaten Bulukumba, lelaki yang masih belum terlalu tua ini cukup di kenal. Bukan hanya karena orangnya yang ramah dan rendah hati, tetapi ia juga sering di panggil untuk memanjatkan doa-doa tertentu pada acara-acara selamatan dan juga biasa di panggil untuk mengobati orang yang sakit. Sekalipun demikian ia menolak di katakan orang yang pintar. Ah….apa yang saya lakukan semua orang-kan bisa, kebetulan saja saya yang dipanggil saat ini. Ucapnya dengan bahasa Konjo yang merupakan bahasa sehari-hari masyarakat di tempat itu.
Namun selain itu, satu hal yang membuatnya lebih di kenal bahkan sampai di luar desa tempat tinggalnya adalah kebiasannya naik ke Bawakaraeng. Kanto adalah salah satu dari sekian komunitas haji Bawakaraeng yang jumlah ribuan di Sulawesi-Selatan ini. Kanto juga adaalah salah satu saksi sejarah bagaimana sulitnya mempertahankan tradisi Haji Bawakaraeng di tengah hujatan bahkan ancaman yang datang dari berbagai kalangan.
Kanto sendiri telah naik ke Bawa Karaeng pada saat ia masih kecil, sekalipun ia tidak ingat persis kapan pertama kalinya ia naik (seperti juga ia tidak tahu tanggal dan tahun kelahirannya). Yang jelas menurutnya, setelah naik ke bawa karaeng yang di perkirakan sekitar tahun 1970 ia merasakan kerinduan untuk terus ke bawa karaeng yang di yakini sebagai tanah kesayangan Nabi Muhammad SAW. Disana ia merasakan ke khusyukan bila melakasanakan shalat dan bahkan merasakan satu ketenangan batin. Dan menurutnya perasaan seperti itu bukan hanya dia yang rasakan, tetapi hampir semua orang yang pernah ke Bawakaraeng akan merasakan hal yang serupa.
“Sannang ku sakring pakpisaringingku punna battuma kunjo” .( Perasaan saya saat itu damai dan tenang) ucap Kanto saat itu sambil menghisap rokok lintingannya dalam-dalam.
Itulah sebabnya meskipun ia sering mendapatkan rintangan ia tetap teguh dengan keyakinan dan pemahamannya ini. Menurut Kanto komunitas Bawakaraeng ini tidak sekali-dua kali saja di hujat oleh berbagai kalangan. Ada yang mengatakannya musyrik bahkan ada yang mengatakannya murtad. Di dalam lingkungannya sendiri terkadang masyarakat yang lain meminggirkannya. Kanto sendiri pernah mengalami nasib seperti itu. Ada beberapa orang-orang yang tidak mau makan hasil sembelihannya karena dianggap tidak di sembelih dengan syariat.
Mereka dianggap aneh dan membawa paham yang sesat. Bukan hanya itu mereka terkadang di tangkap dan di bawah ke KODIM.
“Pada tahun 1995 Saya pernah di suruh menghadap ke KODIM, di tuduh menyebarkan ajaran yang sesat, disana saya di periksa macam-macam”. Tutur Kanto menceritakan pengalamannya selama ia meyakini tradisi Bawakaraeng ini. Meskipun akhirnya Kanto di lepas karena ia memang tidak terbukti meyebarkan ajaran apa-apa, namun telah meninggalkan trauma tersendiri bagi pengikut tradisi Bawakaraeng ini. Sekalipun demikian semua itu tidak membuat mereka surut. Keyakinan yang telah terpatri di hati mereka membuat keberanian senantiasa muncul. “Apapun hambatannya yang peting niat kami baik dan mendapat restu dari Tuhan Yang Maha Kuasa maka semua hal itu tidaklah menjadi rintangan”. Tegas Kanto.
Demikianlah memang adanya, sampai saat ini Kanto masih tetap teguh dengan pemahamanya ia masih tetap sering ke puncak Bawakaraeng sekalipun melewati rute yang sangat sulit. Bahkan kadang-kadang ia menjadi pemandu bagi yang lainnya.
Ya….mereka memang tidak boleh dihalangi, apa yang dilakukannya adalah salah satu keyakinan dan bentuk pemahaman mereka terhadap agama. Sudah saatnya kita memberikan tempat kepada orang-orang yang memahami suatu ajaran yang berbeda dengan kita, khususnya ajaran lokal seperti tradisi haji Bawakaraeng ini. Mereka juga adalah orang yang sama dengan kita, ingin mengbdikan dirinya kepada Allah YME. Disamping itu mereka juga adalah warga negara Indonesia yang berhak untuk mendapatkan kebebasan dalam meyakini ajarannya, mungkin hanya caranya saja yang berbeda. Tetapi bukankah perbedaan adalah sunnatullah.
Saat ini masyarakat, khususnya dilingkungan Kanto sendiri juga sudah mulai menerimanya. Ia bahkan di hargai sebagai orang yang memiliki kemampuan dalam memahami hakikat dan rahasia satu peristiwa. Maka saat ini ia bukannya di jauhi oleh masayarakat di sekitar tempat tinggalnya tetapi malah dianggap memiliki kemampuan tersendiri yang tidak di miliki yang lainnya. Kanto saat ini sering diminta petunjuknya dalam hal-hal tertentu, baik acara selamatan maupun untuk mengobati orang yang sakit. Sekalipun demikian Kanto, tetaplah Kanto yang dulu, yang sederhana, lugu dan rendah hati. Dan sampai saat ini ia beserta keluarganya tetaplah penganut Islam yang taat, yang tetap mengerjakan shalat, puasa dan berzakat, sama seperti yang lainnya. Desantara