"Geger Tengger" Politik Masa Lalu dalam Cermin Politik Masa Kini

Tak ada yang lebih sibuk saat ini dibandingkan geliat sebagian partai politik untuk mempersiapkan pemilu 2004 mendatang. Beragam persiapan dari kampanye kecil-kecilan, mobilisasi massa, koordinasi masing-masing wilayah sampai penggalian dana partai yang dilakukan melalu berbagai cara telah disusun tahap demi tahap. Tentu saja keramaian ber-euphoria dalam politik semacam ini perlu dianggap sebagai “kemajuan” untuk beberapa sisi. Sepeninggal Orde Baru ruang ekspresi politik masyarakat kita agaknya harus diakui lumayan lebar dibanding masa sebelumnya. Gontok-gontokan antar partai, provokasi menjatuhkan lawan politik melalui isu-isu panas di media massa, semakin menjadi fenomena lumrah (biasa) dalam kehidupan saat ini.

Haruskah hal demikian dapat dinyatakan sebagai kemajuan kita dalam berdemokrasi? Nanti dulu. Sebelum kita menjuruskan kesimpulan dari berbagai fenomena itu, Alfred Stephan, mengingatkan kita supaya membedakan lebih dahulu antara apa yang kini kita sebut sebagai keterbukaan politik (abertura) dengan demokratisasi. Keterbukaan politik bisa meliputi lahirnya beragam suara politik yang dapat diliput oleh media massa. Sementara demokratisasi meliputi lebih dari soal keterbukaan semacam itu. Ia menuntut kualitas kelembagaan politik, system of balance, good governance dan sebagainya. Dua-duanya bisa kita anggap sebagai dua sisi dari satu koin yang sama. Tapi juga dalam beberapa kasus keduanya tidak memiliki hubungan signifikan sama sekali. Untuk pernyataan yang terakhir ini, suara Alfred Stephan, pengamat politik yang banyak meneliti kasus demokratisasi di Amerika Latin ini agaknya perlu kita dengar. Ia mengingatkan sekali lagi jika para politisi sipil tidak segera sadar diri, terperangkap dalam kebisingan berpolemik dalam ruang abertura itu tanpa ujung pangkal, membiarkan rezim militer melakukan konsolidasi internal, tentu masa ber-euphoria itu tidak mungkin berumur panjang, dan pula akan mendapatkan pepesan kosong jika mengharapkan adanya kemajuan demokratisasi.

Sebuah kasus Tengger, salah satu wilayah di Kabupaten Pasuruan Jawa Timur, yang pernah diamati oleh Hefner dengan sangat serius membuktikan sinyalemen Stephan di atas. Robert W. Hefner, yang lebih dikenal sebagai Bob Hefner ini, melalui penelitian panjang yang kemudian dibukukan menjadi, The Political Economy of Mountain Java (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi, Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik (LKIS)), melukiskan perkelahian politik menjelang Pemilihan Umum 1955 sampai tahun 1965 sebagai babak politik yang penuh persaingan dan keterbukaan namun berujung menjadi ironi.

Dalam kasus Tengger itu, kegiatan politik diteriakkan terlampau bersemangat. Betapa tidak, dalam kasus Pasuruan, khususnya Tengger, isu-isu agama begitu mewarnai perkelahian politik menjelang pemilu 1955. Meskipun geografi politik Pasuruan waktu itu relatif sederhana, hanya diwarnai oleh polarisasi antara NU yang mendominasi daerah Bawah, dan daerah golongan nasional yang mendominasi daerah atas (Tengger), namun konflik politik berlangsung seru mengingat isu yang dibawa dalam kampanye itu telah menjurus kepada politisasi agama, sebuah preseden yang kembali berulang di masa kini.

Demikianlah Herbert Feith juga mengamati panggung politik menjelang tahun 1955 itu. Masyumi misalnya menyerang golongan komunis sebagai ateis, sementara Nahdlatul Ulama mengkritik Masyumi sebagai modernis. Meskipun golongan NU waktu itu dilukiskan lebih sengit dengan lawan-lawannya di kubu modernis, namun NU juga tak kalah serunya dalam menyerang agresifitas yang digerakkan orang-orang PKI dalam menggalang kekuatan massa. Isu-isu Landreform yang dilancarkan PKI tentu saja menyinggung sebagian perasaan para kiai pemilik segepok tanah di beberapa wilayah di Pasuruan. Yang tak kalah serunya juga adalah ketegangan diantara kelompok Islam Ortodoks dengan keyakinan orang Tengger yang semakin menjuruskan politisasi agama menjadi komoditas politis yang tak mudah dikesampingkan.

Orang-orang NU yang berada di kubu terbesar dari Islam Ortodoks waktu itu, meminta praktik-praktik ritual di daerah atas (Tengger) supaya dianggap sebagai penyimpangan yang tak bisa dimaafkan oleh agama. Kebetulan sebagian besar orang-orang Tengger berafiliasi kepada partai PNI dan sebagian lagi ke PKI. Dalam kaitan kasus ini Hefner melaporkan, sebelum pemilihan umum 1955, ketegangan mencapai puncaknya ketika sekelompok aktifis muslim (yang secara longgar terkait dengan fraksi radikal NU) menyerbu salah satu tempat yang paling dikenal dihuni dhanyang, yang berlokasi di tengah-tengah reruntuhan pemandian Hindu abad XIV M. Roh-roh yang melindungi tempat keramat itu dihormati oleh orang-orang muslim di daerah lereng tengah dan juga orang-orang Hindu di daerah lereng atas, dan para peziarah dari seluruh kabupaten secara reguler berkumpul di tempat itu Di bawah gelapnya malam, orang-orang militan tersebut memasuki tempat keramat, menghancurkan patung-patung Hindu Kuno dan menurunkan patung itu lalu membuangya di dekat sungai. Berita penyerangan itu menyebarkan teror di seluruh pegunungan, yang menyebabkan perasaan takut di kalangan warga Tengger.

Ketakutan ini boleh jadi sebuah perasaan sadar-diri mereka sebagai kelompok minoritas dibandingkan orang-orang NU yang bisa dengan mudah menggerakkan ribuan umatnya untuk menyerukan “perang suci”. Toh demikian, dalam Laporan Geertz, Hefner maupun Herbert Feith itu, perasaan kecewa menyelimuti sebagian elite-elite NU di level nasional mengingat usaha mereka yang berlebihan untuk merebut suara tak sebanding dengan hasilnya. Pemilu 1955 membuktikan “kejawaan” orang-orang Jawa yang tidak mudah luntur oleh gelombang Islam maupun Komunis. Terbukti PNI, basisnya orang-orang Kejawen mengantongi suara terbesar dalam Pemilihan Umum di tingkat nasional (22,3 persen). Disusul oleh Masyumi (20,9 persen), NU, 18,4 persen dan PKI, 16,4 persen.

Akan tetapi suara perolehan nasional itu tidak mengubah dominasi politik NU di wilayah Pasuruan (61,0 persen). Oleh karena itu, meskipun kawan-kawan orang Tengger yang separtai (PNI) memenagkan suara di tingkat nasional, di tingkat lokal tetap saja suara mereka minoritas, apalagi bagi minoritas Tengger yang lebih berafiliasi ke PKI. Dominasi politik orang-orang NU di pasuruan ini, ditambah oleh “kebringasan” mereka dari sebagian kelompok militannya menjadi ancaman tersendiri bagi orang-orang Tengger. Isu-isu agama yang dilontarkan sebagian orang NU selanjutnya menjadi persoalan serius yang selalu mereka waspadai. Saudara-saudara mereka yang menganut Islam-Kejawen di daerah bawah dan tengah tak banyak menolong dalam memediasi persoalan ini. Menjadi minoritas baik dari segi agama maupun politik sepertinya sebuah dosa turunan, kelak dosa itu harus mereka tebus dengan pengorbanan nyawa.

Isu agama kembali menemukan bentuknya yang paling agresif menjelang tahun 1965. Roda politik yang memposisikan kelompok Komunis dan NU sebagai pemegang suara mayoritas menjadi awal bencana yang membawa preseden buruk bagi masa depan politik berikutnya. Isu kelas yang dimunculkan kalangan elite PKI dengan menggulirkan isu Landreform tidak menghasilkan buah sebagaimana diinginkan. Lawan-lawannya, dari kalangan Islam (NU maupun Masyumi) justru menafsirkan tantangan dari pihak Komunis itu sebagai perlawanan agama. Kampanye-kampanye agresif yang diletupkan kalangan PKI dengan menyerang sikap orang-orang Islam semakin memojokkan PKI sebagai common enemy. Bersamaan dengan itu perpecahan di tubuh militer semakin mengarahkan perkelahian antara partai menjadi perkelahian penuh banjir darah. PKI semakin terbuka untuk diserang dari berbagai arah, mengingat semua kepentingan menjurus (dijuruskan?) kedalam politik “kambing hitam”, dimana PKI harus menjadi korbannya.

Tengger yang sesungguhnya tidak mengerti persoalan antar elite politik itu harus menanggung getahnya. Penyapuan bersih orang-orang Komunis di seluruh Jawa Timur sampai pula ke daerah atas di Tengger. “Geger Tengger” menjadi saksi mata betapa tidak mudahnya menjadi kaum minoritas meskipun di negeri sendiri. Orang-orang yang semula begitu membenci Islam karena berbagai soal menjadi target pembersihan itu, tak peduli apakah ia berafiliasi ke PKI atau tidak. Orang-orang yang dulu dibenci sebagai elite urakan, karena ulahnya yang sedikit menyebalkan sebagian orang-orang Islam juga mudah disapu oleh aksi pembersihan itu. Pendeknya, pertikaian-pertikaian politik yang begitu kompleks menjelang tahun 1955 dan 1965, yang melibatkan persoalan agama, dendam pribadi, konflik elite begitu disederhanakan persoalannya menjadi Islam versus musuh Islam (dimana kategori musuh Islam selalu dijuruskan kepada kelompok Komunis).

Akhirnya yang lebih mengejutkan lagi, tragedi 1965 itu ternyata bukan saja menghapus semua memori bangsa Indonesia tentang Komun
isme, melainkan semua kenangan politik yang diwarnai keramaian karena perkelahian dan persaingan politik menjelang tahun 1955, dan tahun 1965. Jika soalnya kita kembalikan kepada sinyalemen Stephan di atas, keterbukaan politik ternyata tak lekas menghasilkan gelombang demokratisasi. Itulah mengapa keterbukaan politik yang seperti ini perlu kita waspadai bersama. Jangan-jangan ia hanya muncul sesaat lalu digantikan oleh sebuah rezim yang relatif sama dengan gaya Orde Baru. Sebuah rezim yang oleh Daniel Dhakidae perwatakannya disebut bersifat Neo-Fasisme.

Celakanya kepongahan Neo-Fasisme Orde Baru itu, bukan saja menyeruak tampil dalam rezim militeristik yang keras dan haus darah, melainkan pula menelusup sebagai rezim pengetahuan (rezim kebenaran) yang direproduksi sebagai gagasan teoritik dan praktik wicara. Kenyataan ini terbentuk sebagai hasil dari kesuksesan Orde Baru. Dalam membangun kekuasaannya Orde Baru bukan saja menyapu bersih tindakan subversib masyarakat yang melawan negara, melainkan menyosialisasikan, mereproduksi pengetahuan-pengetahuan terpilih dan terseleksi sebagai gagasan sejarah, sosiologi, dan politik yang kemudian dianggap sebagai pengetahuan normal dalam pengajaran sekolah, dunia akademik dan dunia penelitian. Dalam konteks semacam ini Cendekiawan yang digambarkan oleh Daniel Dhakiadae dalam, Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Orde Baru (Gramedia, 2003) bukan saja berada dalam ambivalensi menetukan derajat otonomi mereka berhadapan dengan kekuasaan negara, tapi (bahkan) masuk secara total menjadi bagian dari sistem kekuasaan itu sendiri.

Agaknya sinyal kuasa Neo-Fasisme itu mulai mengemuka jika kita sedikit cermat mengamati gelagat politik saat ini. Di Aceh misalnya sebuah politik ala Orde Baru kini dipanggungkan dengan begitu telanjang. Pembasmian militer kepada orang-orang yang dituduh GAM sampai kepada politik gaya litsus, untuk menyeleksi penduduk yang dianggap pro GAM dan tidak. Melalui sosialisasi KTP baru, penyebarluasan intelijen untuk membidik “mata-mata” semakin menciutkan nyali masyarakat sipil di Aceh untuk meneriakkan kebebasan politiknya. Bukan itu saja. Keterbukaan politik yang semakin menciut porsinya bukan saja terjadi di Aceh, tapi juga di Jakarta. Misalnya seorang wartawan Metro TV, dipecat (secara tidak terhormat?) gara-gara menyiarkan pernyataan salah satu menteri soal Aceh yang ternyata mengusik pribadi si menteri tersebut.

Jika semua ini tidak menjadi perhatian masyarakat sipil di Indonesia, boleh jadi nasib euphoria politik ini berujung kepada kegagalan membangun demokrasi. Kegagalan ini sebaliknya bisa menjadi “mimpi buruk” bagi sebagian masyarakat, karena trauma politik kambing hitam di masa lalu bisa muncul dalam masa yang tidak bisa diduga-duga. Oleh karena itu, agaknya bukan persoalan yang teramat genting apakah partai politik kita nanti bertambah jumlahnya atau tidak. Yang krusial diwaspadai saat ini justru sejauh mana isu-isu politik yang dibangun saat ini turut menambah kualitas demokrasi itu; peningkatan good governace, system of balance, pemerataan ekonomi dan sebagainya.

Tapi soalnya makna sejarah Tengger seperti di atas tak pernah dipelajari secara seksama. Meskipun Dwight J. King juga pernah melukiskan sebegitu mirip persaingan politik dalam pemilu kemarin (1999) dengan Pemilu 1955 (dilihat dari perolehan suara yang dikaitkan dengan preferensi politik berdasarkan basis kultural), toh kita tak segera beranjak untuk mencari solusi supaya keramaian politik sebagaimana tahun 1955 itu tidak berujung pada kemacetan yang sama.

BAGIKAN: