Ketika Massenrengpulu Menampik Bugis

Massenrengpulu, komunitas ini secara administratif masuk Kabupaten Enrekang, Propinsi Sulawesi Selatan yang memiliki beberapa kelompok etnis besar seperti Bugis-Makasar, Mandar dan Toraja. Oleh banyak orang, dan dari tulisan-tulisan yang tersebar mengenai komunitas ini, Massenrengpulu kerap kali dikelompokkan sebagai bagian dari Bugis yang sebagian besar mendiami beberapa wilayah seperti Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Pare-pare dan beberapa wilayah lain.

Komunitas Massenrenpulu juga dikenal kaya tradisi budaya, musik maupun tarian. Sebutlah misalnya tari pajaga, tari paroddo, musik ma’bas dan ma’ronggeng, serta nyanyian tradisi lainnya.

Di banyak kesempatan sehari-hari, nyanyian tradisi ini selalu disenandungkan, dipentaskan oleh para warga. Kadang untuk menghibur diri kala senggang, kadang dilantunkan sekadar untuk memperingan beban hidup yang makin berat, kadang pula ditampilkan dalam pesta-pesta keluarga dan perayaan adat komunitas. Iramanya yang syahdu, konon katanya membuat musik dan irama lagunya bikin orang Massenrengpulu di rantau selalu didera rindu kampung halaman. Begitu kira-kira seni tradisi Massenrengpulu tetap bergairah, terus dipertahankan dan tetap hidup di hati masyarakatnya.

Agustus lalu, selama sebulan penuh, lapangan Baraka Enrekang barangkali menjadi saksi kegairahan masyarakat Massenrengpulu. Sebuah semangat yang mungkin lain seperti biasanya, karena kata orang sekitar dua tahun belakangan ini, gairah orang-orang Massenrenpulu mementaskan tradisi mereka lain seperti biasanya. Pentas-pentas seni, semacam gelar budaya daerah, makin ajeg dilakukan serta makin ramai dipertunjukkan. Seperti di lapangan Baraka, empat bulan lalu tepatnya 2-30 Agustus, pertunjukan Seni dan Budaya Massenrengpulu digelar atas sponsor Pemda, mahasiswa, LSM Mabarakka dan Yayasan Cora Bulan. Berbagai nyanyian tradisi dipentaskan, begitu juga tari pajaga, musik ma’bas dan ma’ronggeng yang diakui sebagai tradisi khas Massenrengpulu disuguhkan secara besar-besaran.

Rupanya pertunjukan yang digelar semarak itu bukan unjuk seni budaya biasa. Acara itu mengusung sebuah agenda kultural bermuatan politik yang setidaknya oleh banyak orang mulai gegap gempita disuarakan sejak dua tahunan belakangan ini.

Asrun Tukan, yang juga ketua penyelenggara acara ini, saat ditemui Desantara menuturkan semangat baru ini. “Kami ingin mengangkat Massenrengpulu sebagai salah satu etnis di Sulawesi Selatan, di luar etnis-etnis lain. Kami ingin mereka mengakui keberadaan kami”. Begitu kata Asrun.

Semangat agar diakui lewat pagelaran seni, rupanya bagi masyarakat Massenrengpulu berbarengan dengan keinginan memperlihatkan keberbedaan. Bahwa mereka bukanlah bagian dari Bugis dan tidak pernah secara tradisi menginduk pada Bugis. Dan karenanya berbeda dengan kebugisan.

Dengan begitu bagi warga Massenrengpulu pentas seni dan budaya yang makin marak belakangan ini sekaligus juga pentas politik, seperti diamati oleh Munsi Lampe yang juga budayawan Massenrengpulu. Menurut Munsi, generasi muda Enrekang sejak dua tahun belakangan ini makin giat belajar kesenian daerahnya. Mereka bikin berbagai pertunjukan yang lambat laun ikut memunculkan rasa bangga dihadapan kesenian tradisi lain. Setiap menjelang Ramadhan, kata Munsi, mereka menggelar pertunjukan. “Bahkan mereka mulai menampilkan seni-seni tradisi yang dulu ditinggalkan karena dianggap khurafat,” ujar Munsi yang juga dosen antropologi Universitas Hasanuddin, Makassar.

Dominasi Bugis dan Bentukan Kolonial

Mengapa Massenrengpulu begitu semangat menyuarakan identitasnya lewat pertunjukan-pertunjukan hingga menghidupkan seni tradisi lama?

M. Yunuswati Baso memperlihatkan motif gejala ini secara umum yang berkembang dalam masyarakat. Budayawan asal Maiwa ini menegaskan, anggapan kalau Massenrengpulu dianggap sebagai subetnis Bugis adalah keliru. Sehingga, invensi kesenian tradisi bisa dianggap bagian dari penolakan masyarakat terhadap klaim itu. “Bahkan sistem pemerintahannya dulu pun berbeda dengan Bugis,” ujar Yunuswati.

Dalam berbagai literatur, di antaranya dari catatan Van Morris dalam Ensiklopedi Sulawesi Selatan dan catatan P. Buapala ditulis bahwa Masserengpulu adalah bagian dari etnis Bugis. Ditulis pula, kata “massenrengpulu” berasal dari istilah Bugis, yaitu “massenre” dan “mbulu” atau “massinring” dan “mbulu” yang artinya daerah berdekatan dengan gunung. Atau dalam cacatatan Van Morris, Massenrengpulu ditegaskan pernah berada di bawah naungan kerajaan Bugis, Bone.

Menurut Yunuswati, konstruksi kebugisan yang dilekatkan pada Massenrengpulu dalam berbagai aspek amat merugikan. Dalam pergulatan politik di Sulawesi Selatan, misalnya, Massenrengpulu hanya dikalkulasi sebagai bagian dari Bugis, sehingga berdampak pada subordinasi dalam bidang-bidang lain.

Senada dengan Yunuswati, Munsi Lampe malah menunjukkan pengaruhnya dalam bidang ekonomi. Katanya, subordinasi identitas itu juga merugikan kepentingan investor dan pariwisata Masserengpulu yang berakibat juga kerugian secara ekonomi.

Selain itu, bagi dua akademisi ini subordinasi Massenrengpulu sebenarnya adalah bagian dari peninggalan administrasi kolonial Belanda yang meletakkan Enrekang sebagai bagian dari Bugis (Kerajaan Bone, tahun 1686). Yang terakhir ini dimaksudkan untuk memudahkan pengawasan dan kontrol kolonial terhadap daerah jajahan.. Keterangan ini juga bisa dilihat dalam tulisan D.F.Van Bramm Morris berjudul Geschiedenis van het Bondgenootschap Massenrempoloe.

Wacana Elit

Di tengah hiruk-pikuk perayaan identitas ini, gejala lain akhir-akhir ini juga mulai tampak. Bersamaan dengan hingar bingar mengangkat identitas Massenrengpulu, gegap gempita dukung-mendukung calon Gubernur Sulawesi Selatan pada Pilkada 2007 mendatang makin kencang saja. Kecurigaan adanya kepentingan politik di balik politik identitas ini pun tak bisa ditolak. Apalagi, baru-baru ini di Enrekang, telah dideklarasikan Barisan Amin Syam (BAS) yang mendukung salah satu calon gubernur Sulsel dan kerap terjun dalam pentas-pentas seni tradisi.

Adakah hubungan langsung politik identitas dengan politik Pilkada 2007, pertanyaan ini memang terus mengemuka di tengah hiruk pikuk tuntutan pengakuan identitas Massenrengpulu.

Namun, pernyataan Yunuswati tampaknya menarik disimak. Orang-orang yang berkepentingan terhadap kesenian Massenrengpulu banyak merubah kesenian tradisi yang ada, dan bikin corak-corak baru. “Kenyataannya, saya pikir tujuannya hanya agar menarik ditonton, tidak ada lagi soal identitas atau etnis Massenrengpulu,” tegasnya.

Begitulah, perayaan identitas atau tuntutan pengakuan identitas melalui reinvensi seni tradisi di Massenrengpulu tampaknya tidak lepas dari target politik tertentu. Memang tak jadi soal, kalau upaya ini memang menjadi bagian dari negosiasi politik komunitas Massenrengpulu guna merebut kembali sumberdaya budaya, ekonomi dan politik guna untuk menyejahterakan warga komunitasnya.

Yang jadi masalah adalah bila politik identitas ini kembali menempatkan komunitas Massenrengpulu menjadi subordinat yang kesekian kalinya. Bukan hanya subordinasi elit Bugis, tetapi juga subordinasi kepentingan segelintir elit politik di dalam komunitas itu sendiri. Kemungkinan yang terakhir ini jelas akan menjadi lampu kuning bagi gegap gempitanya perayaan identitas di Masserengpulu. [Liputan oleh Syamsurijal Adhan]

BAGIKAN: