“Kuntulan itu sudah mengarah ke pelanggaran agama dan penyelewengan. Karena sudah jauh diselipi budaya-budaya di luar Islam,” tegas Soecipto, seorang tokoh sebuah tarekat terkenal di Banyuwangi. Ya, Soecipto adalah salah seorang saja. Salah satu agamawan yang berpandangan negatif dan menolak keras keberadaan seni kuntulan di bumi Blambangan ini. Alasannya, pertunjukan kuntulan membawa maksiat, penuh tabu erotisme dan menodai agama.
Pernyataan keras semacam ini memang kembali menguat akhir-akhir ini. Tidak jelas memang sebab musabab derasnya arus kecaman terhadap salah satu kesenian yang paling dinamis di Banyuwangi ini. Padahal kuntulan yang telah mengalami perkembangan pesat terutama setelah mengalami pendadaran (perluasan) oleh para seniman, dan oleh karenanya sering disebut dengan “kundaran” atau kuntulan dadaran, telah diterima oleh para pendukungnya baik para seniman sendiri maupun penikmatnya yakni rakyat Banyuwangi. Bahkan dalam banyak hal fenomena ini seringkali dipandang sebagai kemampuan kuntulan berdialog dengan tradisi lokal lainnya, seperti gandrung. Meski toh kuntulan versi baru ini menuai kontroversi tersendiri.
Tetapi sebagian orang kini mulai menduga, hadirnya beberapa organisasi Islam bergaris keras macam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majlis Mujahidin Indonesia (MMI) dan Front Pembela Islam (FPI) menjadi pemicunya. Sudah mafhum, organ-organ inilah yang belakangan getol mendesakkan penerapan syari’at Islam dalam berbagai segi kehidupan. Apalagi sebagian kalangan pesantren lalu menjadi kawan sehaluan dengan gerakan yang muncul pada awal duaribu-limaan itu. Bila kita merunut sejarah, sebenarnya sikap sinis dan keras yang mewarnai pro-kontra atas perkembangan kuntulan ini berlangsung cukup lama. Sejak perkembangannya di awal 80-an, sudah ada pandangan kalau kuntulan diragukan bakal merepresentasikan Islam. Sebabnya menurut sejumlah agamawan, kuntulan dikreasi oleh seniman biasa yang awam terhadap Islam. Sehingga kuntulan yang dihasilkan tidak sesuai bahkan bertentangan dengan Islam. Sebagai reaksi terhadap perkembangan ini, tak jarang dalam perayaan keagamaan beberapa komposisi kuntulan ditolak oleh penyelenggaranya. Seperti dialami Rawin, pemilik kuntulan dari Kertosari. Katanya, kesan erotis yang ditampilkan penari perempuan telah dihukumi keluar dari agama, sehingga harus dibuang. Seorang seniman bernama Muawanah yang kebetulan bersuamikan kiai dari Desa Badean, juga memperoleh pengalaman pahit. Saat hendak rekaman musik samproh, yang beberapa alunan nadanya mirip musik kuntulan, ia pun lantas dilarang suaminya melanjutkan rekaman, karena musik tarling dianggap tidak bernafaskan Islam.Larangan lewat otoritas keluarga, rupanya belumlah cukup. Di wilayah publik dihadirkan pula cerita mitis. Menurut Hasan Basri yang tokoh Dewan Kesenian Blambangan, beberapa desa seperti Penataban, Lateng, Kemasan dan Tukang Kayu yang dikenal sebagai situs penting pengembangan Islam di Banyuwangi, melarang para seniman menggantung gong. Demi purifikasi, mitologi pun disusun. Disebarkanlah sebuah cerita bahwa pernah ada seorang warga Desa Lukjaj menanggap kesenian dengan memasukkan gong sebagai alat musiknya. Beberapa hari kemudian, penyelenggara hajatan mengalami kelainan fisik, kepalanya terus menggeleng menyerupai gerak gong yang ditabuh.Arus “pengislaman kembali” kuntulan memang sekarang ini terus menguat. Bahkan beberapa kyai yang terlihat akrab dengan kuntulan ternyata juga tidak melepaskan keinginannya untuk mendakwahi atau berharap kuntulan kembali menjadi lebih Islami. KH. Daelami Ahmad yang mengasuh Pondok Pesantren Darul Ahsan, misalnya. Meskipun menghormati kuntulan tapi dia tetap berharap agar kuntulan menguntungkan dakwah Islam. “Secara pribadi, saya sebenarnya kurang menyetujui hadrah kuntulan. Ketidaksetujuan saya itu tidak dalam bentuk tindakan pelarangan, tapi cuma sebatas hati saja. Sebab, saya melihat pada posisi tertentu kuntulan kadang bisa menguntungkan Islam”, katanya. Dalam pandangan Kiai Daelami kuntulan layak ditoleransi karena masih mengajak orang untuk menjalankan tuntunan agama, walau porsinya teramat kecil dalam pentas. Hadirnya lagu tombo ati menjadi himbauan penting yang dapat disampaikan lewat kuntulan, katanya. Kiai Daelami sangat menyadari posisi “ambang” Kuntulan. Di satu sisi kuntulan bisa sangat dekat dengan tradisi Islam, tapi di sisi lain juga menerima budaya lokal yang dalam imajinasinya tidak Islami macam Gandrung. Sama mengambangnya dengan posisi Daelami sendiri, yang dalam ketiada-pengakuannya secara total atas kehidupan kuntulan terlebih lagi atas Gandrung, masih berharap agar bisa jadi alat dakwah Islam. Barangkali bedanya, jika para seniman menganggap kuntulan sebagai entitas yang terbuka dan dinamis, Kiai Daelami menganggap purifikasi kuntulan sebagai tujuan akhir dan mutlak. Meski ada keinginan untuk mereislamisasi kuntulan gaya Kiai Daelami ini, nampaknya upaya-upaya kultural semacam ini tak berumur lama. Kelompok-kelompok Islam puritan akhir-akhir ini menguat kembali. Apalagi kehadiran organisasi radikal macam FPI, HTI dan MMI sangat membuka kemungkinan respon Islam terhadap kuntulan semakin keras. Indikasi yang semakin mendekati kenyataan ini mungkin bisa diukur dengan munculnya insiden di Rogojampi, pertengahan April 2006 lalu. Perayaan Maulid Nabi yang diadakan masyarakat setempat yang dinamakan “endok-edokan” diserbu dan dibubarkan dengan kekerasan oleh FPI, HTI dan MMI yang didukung oleh beberapa kalangan pesantren. Menurut sejumlah informan, insiden ini telah menimbulkan kegelisahan di kalangan pendukung tradisi termasuk kuntulan karena bukan hal yang mustahil kalau ini akan menimpa mereka. Setidaknya ada dua kemungkinan jika beberapa kelompok muslim itu sinergis dan tekanan terhadap kuntulan makin menguat: kuntulan mungkin akan sirna dari bumi Blambangan akibat terkena fatwa haram, atau pertunjukan kuntulan berubah sama sekali menjadi sangat Islami. Dua kemungkinan ini mungkin akan jadi pil pahit bagi kehidupan seni kuntulan di Banyuwangi di masa mendatang jika arus gelombang puritanisme ini dominan. Apalagi menurut obrolan dengan seorang informan, arus puritanisme ini nampaknya akan semakin memperoleh ruang longgar lantaran penguasa Banyuwangi kini makin dekat saja dengan kalangan puritan dan tidak cukup memberi perhatian pada kehidupan kesenian.