Pemikiran para sastrawan melalui karya sastra tidak sedikit memberikan sumbangsih dalam membentuk karakter budaya. Termasuk di dalamnya persoalan-persoalan yang tidak sekadar formalitas, tetapi lebih ke pendalaman implementatif. Khususnya dalam konteks pembentukan harmoni dalam kehidupan bermasyarakat.
Sumbangsih semacam ini muncul pula dari karya-karya sastra yang lahir dari kalangan sastrawan santri. Namun karena keterbatasan sosialisasi dan akses media, karya-karya itu seperti terpinggirkan. Ketua Komunitas Azan, Acep Zamzam Noor didampingi Ketua Desantara Khoiron, menyampaikan hal itu pada pembukaan Silaturahmi Sastrawan Santri “Pluralisme Budaya Dalam Sastra”, di Hotel Surya, Tasikmalaya, Jumat malam (18/3).
Dikatakan Acep, kegairahan melahirkan karya-karya sastra mencuat di kalangan santri. Bahkan pada perkembangannya memunculkan karya-karya yang berakar dari pesantren. Akan tetapi, karena karya-karya tersebut belum dapat dicerap oleh dunia di luar pesantren, apresiasi dan pemaknaannya hanya terbatas kalangan tertentu.Padahal, katanya persoalan-persoalan yang diangkat sangat mewakili kekinian. Bahkan, jika karya-karya itu tersosialisasikan dengan baik, bukan saja akan ikut memperkaya wacana dan khazanah kesusastraan yang selama ini ada. Tetapi juga turut membantu membentuk karakter bangsa dari sisi religiusitas yang berakar dari pesantren.Dicontohkan Acep, sebagai Ketua Komunitas Azan, dirinya sangat sering menerima kiriman-kiriman karya yang ditulis para santri. Baik itu karya sastra berupa cerpen, novel, puisi, ataupun drama. Kualitasnya sangat di luar dugaan. “Ada semacam ‘kegilaan’ berpikir dari para santri ini yang justru memberikan wacana baru,” ujarnya.
Makanya, lanjut Acep, dalam silaturahmi ini, definisi kesantrian pun tidak terbatas bagi mereka yang berlatar belakang dari pesantren atau jebolan/alumni/mukimin pesantren. Tetapi mereka yang pernah aktif di madrasah, masjid, ataupun organisasi keagamaan sehingga ada ruang komunikasi dari proses kreatif yang dilakukannya.“Di tengah moral bangsa sudah sangat carut-marut dan masyaakat kehilangan kepercayaan kepada pemerintah, legislatif, maupun parpol, maka sastrawan santri seperti inilah yang akan menjadi tumpuan untuk dapat menegakkan kembali karakter bangsa yang berbudaya dan beradab.
”Karena seperti juga para sastrawan lainnya, para sastrawan santri dengan karya-karyanya yang merupakan hasil sebuah kontemplasi dari persoalan-persoalan yang ada dan menghadangnya, akan dapat memberikan sebuah ruang pemaknaan baru bagi manusia atas realitas-realitas yang dihadapinya. Walaupun mungkin hanya melalui sebuah puisi,” ujarnya.Sementara itu, disampaikan Ketua Desantara Khoiron, silaturahmi sastrawan santri diselenggarakan tiada lain untuk membangun sebuah jaringan antara sastrawan santri itu sendiri dengan institusi semacam Desantara.
Karena sebelumnya, sering kali terjadi perdebatan antara agamawan dan kebudayawan. Di mana di satu sisi, komunitas agama mengklaim Islam secara lokal keagamaan. Sementara di sisi lain, para santri juga berpendapat persoalan kesantrian tidak mesti diakui sebagai identitas ataupun “baju” tetapi sebuah “kata kerja” untuk berbuat suatu kreativitas yang bermanfaat. (A-148)*** Harian Pikiran Rakyat